Pengadilan Terakhir



Apakah di pengadilan umum, semua dosa seseorang akan dibeberkan kepada semua orang sehingga semua orang akan tahu siapa orang itu sebenarnya? Bagaimana mengerti pengadilan umum dan pengadilan sesudah kematian setiap orang? Apakah terjadi dua kali pengadilan?

Konstanz Aldiantono, Jakarta [Penanya]


Pertama, Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia mati satu kali dan sesudah itu akan langsung diadili (Ibr. 9:27). Pengadilan ini disebut pengadilan khusus atau pengadilan individu. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “berulang kali Perjanjian Baru mengatakan bahwa, langsung sesudah kematiannya, setiap orang diadili sesuai dengan pekerjaan dan imannya” (KGK 1021). Bukan hanya pengadilan, tetapi juga keputusan pengadilan itu diterima secara langsung.

Rasul Paulus mengungkapkan hal ini : “sebab kita semua harus menghadap takhta Pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik atau jahat.” (2 Kor. 5:10; bdk. Flp. 1:23; Ibr. 9:27; 12:23; Rom. 14:12). Katekismus menegaskan lagi, “Pada saat kematian, setiap orang menerima ganjaran abadi dalam jiwanya yang tidak dapat mati. Ini berlangsung dalam satu pengadilan khusus, yang menghubungkan hidupnya dengan Kristus entah masuk ke dalam kebahagiaan surgawi –langsung atau melalui proses penyucian-atau masuk ke dalam kutukan abadi seketika itu juga.” (KGK 1022).

Kedua, Pengadilan Umum atau Pengadilan Terakhir, adalah pengadilan yang dilukiskan Injil Matius dan yang akan terjadi ketika Kristus datang kembali pada akhir zaman dalam kemuliaanNya (Mat. 25:31). Pengadilan ini menyangkut semua orang, segala bangsa, yang pernah hidup di dunia ini.

Pada saat itu, “akan disingkapkan tingkah laku dan isi hati yang paling rahasia dari setiap orang. Lalu ketidakpercayaan orang berdosa, yang telah menolak rahmat yang ditawarkan Allah, akan diadili. Sikap terhadap sesama akan menunjukkan, apakah orang menerima atau menolak tawaran rahmat dan cinta Allah. Yesus akan mengatakan: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk aku” (Mat. 25:40, KGK 678). Pengadilan terakhir ini akan membuktikan bahwa keadilan Allah akan mengalahkan ketidakadilan, dan bahwa cinta Allah lebih besar daripada kematian (bdk. KGK 1040).

Ketiga, apakah ini berarti bahwa setiap orang akan mengalami dua kali pengadilan? Tidak. Setiap orang hanya akan mengalami satu pengadilan. Sesudah kematian, jiwa kita tidak lagi tergantung pada ruang dan waktu, sehingga kita bisa mengatakan bahwa Pengadilan Khusus atau Individu yang berlaku untuk setiap orang berhimpitan persis sama dengan saat Pengadilan Umum.

Keempat, pengadilan khusus atau pengadilan umum tidaklah sama dengan pengadilan duniawi, di mana ada jaksa, hakim, dan terdakwa. Pengadilan surgawi terjadi melalui pencerahan akal budi, yaitu bahwa melalui kuasa Roh Kudus-Nya, Allah akan membuka hati dan pikiran semua orang sehingga setiap dan semua orang akan melihat keadilan dan kerahiman Allah secara amat jelas, dan juga bagaimana setiap individu menanggapi keadilan dan kerahiman Allah itu. Tanpa ada maksud untuk memamerkan atau membeberkan dosa-dosa itu, tetapi benarlah bahwa semua orang akan melihat satu sama lain dan mengenali dirinya dan orang lain secara jelas.

Pada saat itulah kita akan memaklumi arti terdalam dari segala ciptaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam hidup kita sehingga kita mengerti jalan-jalan bagaimana Allah mencintai dan berusaha menyelamatkan kita secara mengagumkan. Katekismus melukiskan hal ini dengan mengatakan bahwa berhadapan dengan kebenaran Kristus, kebenaran setiap relasi manusia dengan Allah dan dengan sesama akan dibukakan. Kita akan melihat segala sesuatu seperti halnya bagaimana Tuhan melihatnya.

Disunting oleh Silvester Detianus Gea

Konsultasi Iman “Majalah Hidup-Mingguan Katolik, 47 tahun ke 71- 19 November 2017” hlm. 18, oleh Petrus Maria Handoko CM, Imam Kongregasi Misi, Doktor Teologi Dogmatik Universitas Gregoriana Roma.

“Wanita” itu Maria


Mengapa pada perkawinan di Kana, Yesus memanggil ibunya dengan sebutan “wanita” (Yoh. 2:4)? Bukankah sebutan demikian itu tidak pantas atau kurang ajar, jika ditujukan kepada seorang ibu kandung? Sebutan “wanita” juga digunakan Yesus untuk wanita Samaria, (Yoh. 4:21) dan untuk wanita yang tertangkap basah berzinah (Yoh. 8:1). Apakah kedua kasus itu mempunyai makna yang sama dengan penyebutan pada Maria?

Theresia Maria Agustyarini, Malang [Penanya]


Pertama, perlu melihat konteks budaya yang bersangkutan untuk dapat menafsirkan makna sebuah sebutan. Pada jaman Yesus, memanggil seorang perempuan dengan sebutan “wanita”, seperti kepada wanita Samaria (Yoh. 4:21) dan wanita yang berzinah (Yoh. 8:1), tidaklah dianggap kurang ajar atau merendahkan atau bermusuhan. Mungkin sebutan “wanita” itu bisa disejajarkan dengan sebutan “ibu” dalam bahasa Indonesia yang ditujukan secara umum untuk wanita, pada usia yang pantas menjadi seorang ibu. Pasti Maria tidak tersinggung atau merasa dilecehkan oleh sebutan Yesus kepadanya. Hal ini nampak dari reaksi Maria yang langsung memberitahu para pelayan, agar melakukan apapun yang diperintahkan Yesus.

Kedua, penyebutan Maria sebagai “wanita’ oleh Yesus pada Yoh. 2:4 bukanlah satu-satunya , sebab ketika tergantung di kayu salib, Yesus sekali lagi menyebut Maria sebagai “wanita”, yaitu ketika menyerahkan Yohanes kepada Maria, “Wanita, inilah anakmu” (Yoh. 19:26). Dalam teks terjemahan LAI-LBI, memang tertulis kata “ibu”, seperti yang ada pada Yoh. 2:4. Keduanya dalam bahasa Yunani adalah gune artinya “wanita”. Penampilan Maria pada awal dan akhir dari karya Yesus di depan umum, membentuk sebuah gaya bahasa biblis yang disebut inklusi. Dengan ini penulis Injil Yohanes hendak mengatakan, bahwa Maria selalu hadir dalam seluruh pelayanan Yesus, mulai awal (dalam perkawinan di Kana) sampai akhir (di bawah kayu salib di Kalvari).

Ketiga, menarik untuk dicermati bahwa Injil Yohanes dibuka dengan ungkapan yang sama dengan Kitab Kejadian, yaitu dengan ungkapan “Pada mulanya.” Seolah-olah Yohanes mengatakan, bahwa kemunculan Yesus dalam Injil itu sejajar dengan kisah penciptaan oleh Allah. Kesejajaran ini membuat pembaca yang mengenal kisah penciptaan untuk langsung membandingkan, inklusi penyebutan Maria sebagai “Wanita” dengan peran Hawa yang diuraikan dalam Kej. 3:15, yaitu “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya…”

Maka, menjadi jelas maksud dari penginjil Yohanes dalam inklusi penyebutan Maria sebagai “wanita” yaitu menunjukkan bahwa Maria itu tak lain adalah “perempuan” atau “wanita” (Yun: gune) yang dimaksud pada protoinjil Kej. 3:15. Hawa adalah mitra kerja Adam, yang telah menyebabkan Adam jatuh ke dalam dosa. Sedangkan Maria adalah Hawa baru, mitra kerja Kristus, yang membuka pintu untuk penebusan dosa seluruh keturunan Adam. Apa yang diikat Hawa dilepaskan oleh Maria.

Keempat,jadi penyebutan Maria sebagai “wanita” pada Injil Yohanes menunjukkan bahwa Maria adalah Hawa baru, ibu dari semua murid yang percaya kepada Yesus, Putranya. Yohanes yang berdiri di bawah kayu salib di Kalvari adalah wakil dari setiap murid Yesus. Maka, Maria menjadi bunda bagi semua murid Yesus. Keibuan Maria terhadap semua murid Yesus, bukan hanya menunjukkan sebuah status, tetapi lebih-lebih menunjuk pada peran Maria sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkan kehadiran Yesus dalam diri kita. Maria sudah memberikan Yesus, Sang Kehidupan Baru kepada kita. Dia pula yang peduli dan berkehendak untuk menumbuhkan kehadiran Yesus itu dalam diri para murid Yesus. Maria hadir sebagai Bunda kita, mulai awal karya Yesus (seperti Kana) sampai pada akhirnya (seperti Kalvari). Maria adalah “wanita,” Bunda Kehidupan baru dalam Kristus.

Di sunting oleh Silvester Detianus Gea

Konsultasi Iman “Majalah Hidup-Mingguan Katolik, 41 tahun ke 71- 08 Oktober 2017” hlm. 18, oleh Petrus Maria Handoko CM, Imam Kongregasi Misi, Doktor Teologi Dogmatik Universitas Gregoriana Roma.

Maria Dikandung Tanpa Dosa


Mengapa Gereja mengajarkan bahwa Maria dikandung tanpa noda dosa, padahal dalam Roma 3:23 dikatakan bahwa “semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah”? Lalu apa artinya kata”semua’?

Yohana Gina, Pontianak [Penanya]

Pertama, perlu dibedakan terlebih dahulu antara dosa asal dan dosa pribadi. Dogma tentang Maria dikandung tanpa noda dosa, yang dinyatakan secara ex-cathedra oleh Paus Pius IX pada 8 Desember 1854, berbicara tentang dosa asal. Di lain pihak, Rom. 3:23 berbicara bukan tentang dosa asal, tetapi tentang dosa pribadi. Pertanyaan tersebut mencampur-adukkan antara dosa asal dan dosa pribadi.

Kedua, berbicara tentang dosa asal, dogma itu nampaknya bertentangan dengan pernyataan Paulus pada Rom. 5:12.18-19 (bukan Rom 3:23!)bahwa semua orang mewarisi dosa Adam. Dogma itu berarti bahwa semua orang seharusnya terkena dosa asal, tetapi dalam hal pribadi Bunda Maria , sengat dosa asal tidak pernah menyentuhnya sejak saat pertama keberadaannya di dunia ini. Maria dibebaskan bukan hanya dari sengat dosa asal, tetapi juga akibat dari dosa asal. Terbebasnya Maria terjadi bukan karena pahala atau kekuatan Maria sendiri, tetapi karena pahala yang masih akan dihasilkan oleh Yesus dalam misteri Paskah-Nya. Dalam hal ini, muncul pertanyaan yang sama, apa artinya “semua orang terkena dosa asal” jika ternyata Maria dinyatakan bebas dari sengat dosa asal.

Ketiga, berkaitan dengan dosa pribadi, Gereja mengajarkan bahwa Maria tetap suci sampai akhir hidupnya. Dalam hal pikiran, perkataan, perbuatan, dan kelalaian, Maria terbebas dosa sampai akhir hidupnya. Jadi, dosa pribadi juga tidak pernah mengenai pribadi Maria. Maria terbebas dari semua dosa pribadi. Ajaran tentang kesucian Maria inilah yang nampaknya bertentangan dengan pernyataan Paulus pada Rom 3:23, bahwa “semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah.” Sekali lagi, muncul pertanyaan tentang apa arti kata “semua.”

Keempat, dalam surat-suratnya, Paulus seringkali menggunakan kata “semua”. Kata “semua” bisa dimengerti dala arti mutlak, numerik, distributive, artinya “semua” mencakup setiap orang yang ada. Kata “semua” juga bisa dimengerti dalam arti kolektif, artinya sebagian besar dari apa yang ada. Misal dalam Roma 5:12.18-19, Paulus menyatakan bahwa semua orang terkena dosa asal. Kata “semua” di sini pasti tidak termasuk Yesus, juga Adam dan Hawa sebelum kejatuhan dalam dosa. Pengertian “semua” dalam arti kolektif ini, juga digunakan dalam Rom 3:9-10, “Kita telah menuduh, baik orang Yahudi maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa, seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar’,seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakalbudi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah”. Sekali lagi kata “semua” di sini pasti tidak termasuk Yesus, Adam dan Hawa sebelum kejatuhan dalam dosa. “semua” di sini harus dimengerti dalam arti kolektif, bukan distributif. Gereja percaya bahwa Maria sebagai Hawa Baru, juga termasuk yang tidak terkena.

Kelima, kesucian Maria sampai akhir hidupnya ditunjukkan oleh Kej 3:15, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya”. Kata permusuhan berarti tidak ada kompromi antara keduanya, atau bahwa ada pertentangan total antara keduanya. Seandainya Maria sudah jatuh ke dalam dosa, pasti permusuhan itu tidak total atau Maria sudah tunduk pada kekuasaan dosa. Demikian pula, sapaan Malaikat pada Maria “yang penuh rahmat” (Luk 1:28; Gratia Plena) menunjukkan bahwa dalam pribadi Maria tidak ada celah sedikitpun untuk dosa. Gelar “yang penuh rahmat” diberikan kepada Maria seolah menjadi gelar khusus Maria yang menunjuk pada kesucian Maria.

Konsultasi Iman “Majalah Hidup-Mingguan Katolik, 42 tahun ke 71- 15 Oktober 2017” hlm. 18, oleh Petrus Maria Handoko CM, Imam Kongregasi Misi, Doktor Teologi Dogmatik Universitas Gregoriana Roma.

Doa untuk Arwah


Pada peringatan arwah tahun lalu, saya sudah mendoakan novena untuk orangtua saya. Apakah tahun ini harus didoakan lagi? bagaimana jika mereka sudah menikmati kebahagiaan kekal? Apakah berada di Api Penyucian itu gembira atau sedih, karena saya beberapa kali mimpi orangtua saya tersenyum?


Vincentia Natalia Lourdes, Parepare [Penanya]

Pertama, doa kita untuk para arwah bertujuan untuk meringankan sisa hukuman dosa yang masih harus dijalani di Api Penyucian oleh para arwah. Pada masa yang lalu, ada teolog-teolog yang berbicara tentang “lamanya” masa penyucian yang harus dijalani, bahkan ada yang berkata, bahwa masa itu berlangsung puluhan tahun. tetapi penetapan lamanya waktu di Api Penyucian yang demikian itu, dirasakan kurang tepat karena sesudah kematian, para arwah tidak tergantung lagi pada ruang dan waktu.

Meskipun tidak bisa ditetapkan dalam kategori waktu seperti yang kita lakukan di dunia ini, tetapi intensitas pemurnian itu pasti berkaitan juga dengan intensitas dosa yang dilakukan semama masih di dunia. Semakin mendalam dan mengakar dosa-dosa yang dilakukan, semakin intensif pula pemurnian yang harus dijalani. Hati yang mengeras bahkan membatu, tertutup rapat, tentu harus dilunakkan dan dibuka, agar dapat terbuka menikmati kasih Allah yang melimpah di surga.

Kedua, apa peran doa-doa kita untuk arwah? Doa-doa kita berguna untuk memperlancar proses “melunakkan” dan “membuka” hati itu. Jika hati kita diibaratkan sebuah pintu, maka doa-doa kita berguna untuk melumasi engsel daun pintu itu sehingga dapat membuka hati selebar mungkin, untuk menerima cinta Allah. Jika doa diibaratkan pelumas, maka tambahan pelumas akan “mempercepat” terbukanya daun pintu hati para arwah.

Ketiga, bagaimana jika mereka sudah berbahagia di surga? Allah yang tidak hidup dalam waktu tetapi dalam kekekalan, melihat doa-doa kita, termasuk doa-doa yang mungkin masih akan didoakan pada waktu yang akan datang. Maka, Allah menerapkan semua doa termasuk Misa yang kita persembahkan itu untuk arwah yang bersangkutan. Semua doa kita itu akan diperhitungkan oleh Allah, dalam proses proses penyempurnaan arwah tersebut dalam kasih. Kita yang masih hidup di dunia dan terkurung dalam waktu, tidak perlu dibingungkan oleh bagaimana keadaan sebenarnya arwah tersebut. Kita mendoakan terus sampai kita sendiri dipanggil Tuhan.

Keempat, perlu diingatkan bahwa mereka yang berada di Api Penyucian ialah mereka yang sudah dipastikan untuk masuk ke surge dan menikmati kebahagiaan kekal dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal Mahakudus, tetapi belum sungguh murni sehingga perlu penyucian. Jadi, keadaan di Api Penyucian bukanlah keadaan menakutkan dan menyedihkan, melainkan keadaan mulai menikmati kebahagiaan. Jika dibandingkan, kebahagiaan mereka hanyalah kalah sedikit, dibandingkan dengan kebahagiaan orang-orang kudus yang sudah ada di surge, karena para arwah di Api Penyucian ini dimurnikan oleh api cinta kasih Allah dan mereka tahu bahwa “tak lama lagi” mereka akan bersatu dengan Allah, Sang Kasih Abadi. Jadi, bisa dikatakan bahwa para arwah, pastilah menyambut gembira untuk masuk ke dalam Api Penyucian.

Ajaran tentang Api Penyucian adalah ajaran yang indah tentang harapan dan solidaritas Kristiani. Ajaran ini mengingatkan kita bahwa relasi kita dengan sesama, tidak diputuskan oleh kematian. Solidaritas yang telah kita tunjukkan selama hidup di dunia ini, lebih dibutuhkan lagi, ketika saudara itu sudah beralih kea lam sana. Kita yang masih berjuang di dunia ini bisa membantu mereka melalui doa dan tindakan-tindakan kasih.

Disunting oleh Silvester Detianus Gea

Konsultasi Iman “Majalah Hidup-Mingguan Katolik, 45 tahun ke 71- 05 November 2017” hlm. 18, oleh Petrus Maria Handoko CM, Imam Kongregasi Misi, Doktor Teologi Dogmatik Universitas Gregoriana Roma.

SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI



Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen

Dr. C. Groenen OFM


Bab IV. Yesus Kristus di Dunia Yunani (abad IV-VI)

1. Menuju Konsili Nikea
Dari kristologi abad I, yang serba majemuk dan karena itu pun kabur, mulai berkembang dan timbul, selama abad II dan awal abad III beberapa garis besar. Dalam pergumulan antara pelbagai pendekatan, seperti adoptionisme, gnostik, doketisme dan monarkianisme, hasil pertemuan warisan jemaah-jemaah Kristen awal dengan alam pikiran Yunani yang serba sinkretis, problematiknya mulai menjadi jelas. Masalah pokok ialah: Bagaimana mempertahankan bahwa Yesus benar-benar manusia (melawan gnosis dan doketisme) dan benar-benar ilahi (melawan adoptianisme), dan serentak mempertahankan monoteisme (monarkianisme). Dan apa yang akhirnya dipertaruhkan dalam pergumulan itu ialah keselamatan manusia, seperti khususnya ditekankan Ireneus.

Hanyalah dalam pergumulan itu kristologi hampir saja secara eksklusif menjadi kristologi dari atas. Dalam pemikiran para cendekiawan Kristen perhatian semakin bergeser dari soteriologi, karya penyelamatan Yesus Kristus (yang tentu selalu menjadi latar belakang) kepada diri Yesus Kristus sendiri. Dan semuanya berlangsung dalam alam pikiran Yunani, yang semakin, sadar atau tidak sadar, dipakai. Dalam alam pikiran itu problem yang paling penting ialah: Siapa sebenarnya Yesus Kristus, apa itu Yesus Kristus? Guna menjernihkan duduknya perkara semakin dirnanfaatkan filsafat yang berpancar dari Plato (platonisme) dan Zenon (Stoa) yang sendiri bercampur. Semakin tajam problematik sekitar Yesus Kristus, Firman Allah (logos, yang berasal dari Kristologi Yoh), "nous" ilahi, dalam kepra-adaan-Nya. Bagaimana relasi Firman, logos ilahi itu dengan Allah yang mahaesa? Dan masalah yang tidak kurang pelik ialah: bagaimana relasi Firman ilahi, Anak Allah yang pra-existen itu dengan manusia Yesus, orang Nazareth? Kristologi menjadi semakin spekulatif dan abstrak.

Meskipun mulai timbul beberapa garis besar dalam kristologi, namun refleksi atas fenomena Yesus dalam rangka pemikiran Yunani toh masih juga simpang siur. Buktinya Hippolytus dari Roma (± 235). Sama seperti Ireneus, Hippolytus bergulat dengan apa yang dinilainya sebagai "haeresis," bidaah, penyelewengan dari iman benar (buktinya ialah karya Hippolytus: Philosophoumena, ialah Refutatio omnium haeresium; Syntagma). Dalam kristologinya Hippolytus menyalurkan tradisi dan pemikiran pendahulu-pendahulunya (antara lain Yustinus, Athenagoras, Ireneus). Namun demikian, Hippolytus sampai berkata bahwa Firman Allah sebagai "pribadi" tidak kekal. Pada saat tertentu Firman itu keluar dari Allah dan menjadi manusia. Dan pada waktu menjadi manusia Firman itu barulah menjadi Anak Allah. Dan tidak hanya Allah dapat menjadi manusia, tetapi juga seorang manusia oleh Allah dapat dijadikan Allah. Maka tidak jelas lagi apakah logos itu benar-benar ilahi atau makhluk saja, Allah kedua oleh karena dijadikan Allah. Pikiran Novatianus (± 250) dalam karyanya De Trinitate (Mengenai Tritunggal) mirip dengan pikiran Hippolytus dan kristologinya jelas subordinasionis: Logos yang mandiri tidak kekal (bandingkan dengan Contra Haer. Noet. 10.11.15).

Selama abad II berkembanglah beberapa sarana untuk menentukan mana iman kepercayaan Kristen yang benar. Dan sarana utamanya, bahkan satu-satunya sarana ialah "tradisi" yang berpangkal pada Yesus dan para rasul. Tradisi itu disalurkan oleh jemaah-jemaah di bawah pimpinan seorang uskup, khususnya uskup-uskup jemaah-jemaah rasuli. Hanya sudah menjadi jelas pula bahwa uskup-uskup itu sendiri kadang-kadang bingung dan tidak dapat dipercaya. Maka tradisi sejati itu pun disalurkan melalui "regula fidei" (kaidah iman), yakni ringkasan pokok-pokok inti iman kepercayaan Kristen yang umum diterima oleh jemaah-jemaah. Regula fidei mulai menjurus ke suatu "Syahadat." Misalnya suatu ringkasan yang tersusun sekitar th. 150 (DS 1) berbunyi sebagai berikut: "(Aku percaya) kepada Bapa, Penguasa segala sesuatu, dan kepada Yesus Kristus, Juru Selamat kita, dan kepada Roh Kudus, Parakletus, dan kepada Gereja dan kepada pelepasan dosa-dosa." Selanjutnya ditetapkan karangan-karangan mana termasuk ke dalam Kitab Suci (Perjanjian Baru). Kanon Kitab Suci mulai ditentukan. Kriteriumnya: Apakah karangan-karangan tertentu umum dipakai oleh jemaah-jemaah Kristen sebagai berasal dari masa rasuli?

Jadi "kaidah iman" tersebut serta Kitab Suci menjadi pegangan bagi iman kepercayaan umat secara menyeluruh. Itulah yang menjadi tolok ukur bagi pewartaan iman. Dan dalam ibadat yang juga semakin berkembang (khususnya Baptisan dan Ekaristi) iman itu dihayati (saksinya: Yustinus dan Hippolytus). Dengan jalan itu iman kepercayaan Kristen diteruskan. Hanyalah iman itu kurang tegas terungkap secara konsepsual dan linguistik. Kecuali itu, juga ibadat umat (yang belum seragam juga) terpengaruh oleh alam religius Yunani yang serba sinkretis. Tidak sedikit unsur-unsur dari religi Yunani itu menyusup ke dalam ibadat umat Kristen. Refleksi atas iman kepercayaan Kristen, teristimewanya sekitar Yesus Kristus, selama abad III meneruskan jalur yang mulai ditempuh selama abad II. Dan selama abad III refleksi itu menjadi ilmiah. Selama abad II para pemikir Kristen (seperti Athenagoras, Yustinus) agak curiga terhadap ilmu, khususnya filsafat Yunani (meskipun mereka sendiri memanfaatkannya). Tetapi selama abad III, waktu umat Kristen juga secara sosio-politik menjadi unsur penting dalam masyarakat Yunani-Romawi, sikap itu berubah. Para pemikir Kristen mengambil sikap positif terhadap ilmu filsafat Yunani dan dengan senang hati memanfaatkannya untuk memperdalam, menjernihkan dan mengungkapkan Iman kepercayaan Kristen. Dalam hal itu mereka amat tertolong oleh suatu pandangan yang sudah berkembang pada orang-orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani. Orang Yahudi itu sudah memperkenalkan iman kepercayaan Yahudi (Perjanjian Lama) sebagai suatu "filsafat/hikmat," bahkan sebagai filsafat yang tertua, lebih tua daripada filsafat/hikmat Yunani. Filsuf-filsuf Yunani yang tersohor berguru pada filsafat Yahudi. Maka filsafat/hikmat Yunani boleh juga dipakai untuk mengungkapkan iman kepercayaan Yahudi dan Kristen.

Dalam suasana itu muncullah "perguruan tinggi" teologi Kristen. Dengan sengaja dan secara sistematik iman kepercayaan Kristen di sana dikelola dan diajarkan untuk mendidik "teolog." Berkembanglah dua "perguruan tinggi teologi" (kategese) macam itu, yang masing-masing masih ada cabangnya juga. Dua-duanya berkembang di kawasan timur negara Roma. Dan itulah yang menyebabkan bahwa teologi, khususnya kristologi, selama abad III-IV berkembang terutama di kawasan timur itu. Di kawasan barat tidak ada sesuatu yang sebanding. Tetapi adanya kedua perguruan tinggi itu pun menyebabkan bahwa muncullah dua "mazhab" dalam teologi, khususnya dalam kristologi. Selama abad III-IV kedua mazhab itu bersaingan dan berusaha saling mengalahkan.

Perguruan tinggi pertama dan terpenting didirikan di kota Aleksandria di Mesir. Sejak hari jadinya (oleh Aleksander Agung th. 331 SM) kota itu menjadi pusat ilmu dan kebudayaan, baik pada umumnya maupun bagi orang-orang Yahudi dan kemudian bagi orang-orang Kristen. Pada th. 180 M sudah ada perguruan tinggi teologi yang dikelola oleh Patenus. Sesudahnya dipimpin oleh Klemens dari Aleksandria (± th. 215) dan terutama oleh Origenes (± th. 253). Origenes pada th. 232 membuka perguruan serupa di Kaisarea, Palestina. Sejumlah besar tokoh teologi (dan gerejani) keluaran perguruan di Aleksandria itu (antara lain Dionysius, Pierius, Petrus dari Aleksandria, Didymus, (Cyrillus). Mazhab Aleksandria itu bergerak dalam alam pikiran filsafat yang berpangkal Plato dan terpengaruh oleh gnosis Yunani. Dalam menafsirkan Kitab Suci mazhab ini meneruskan eksegcse allegorik yang sudah dimanfaatkan para filsuf untuk mengartikan mitos-mitos dan para ahli Yahudi - misalnya Filo - untuk mengartikan Perjanjian Lama.

Perguruan tinggi teologi Kristen yang kedua berkembang di Antiokhia di Siria. Kota ini pun sudah lama menjadi pusat ilmu, filsafat dan kebudayaan Yunani. Perguruan tinggi teologi Kristen itu didirikan pada tahun 260 oleh Lucianus dari Samosata (± th. 312). Perguruan tinggi ini mempunyai cabangnya di kota Edesa di Mesopotamia. Tokoh teologi yang besar seperti Diodorus dari Tarsus, Meletius dari Antiokhia, Johanes Khrisostomus, Theodorus dari Mopsuestia, Nestorius dan Teodoretus dari Sirus dan Efraim orang Siria adalah wakil mazhab Antiokhia itu. Mazhab ini pun bergerak dalam alam pikiran Yunani, tetapi terlebih terpengaruh oleh ilmu dan filsafat Arestoteles, bersifat positives, kurang mistik dan lebih rasionalis daripada mazhab Aleksandria. Dalam eksegese mazhab Antiokhia menekankan segi historik dan harafiah Kitab Suci dan kurang gemar akan allegorese.

Wakil pertama yang berbobot dari mazhab Aleksandria ialah Ktemens dari Aleksandria (± th. 1225). Pemikirannya tentang fenomena Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya, meneruskan dan mengembangkan pemikiran Yustinus dan (kurang) Ireneus. Klemenslah yang menentukan arah perkembangan mazhab Aleksandria selanjutnya. Ia mempunyai hati yang lebar-lebar terbuka bagi alam pikiran Yunani dan berusaha mengkristenkan filsafat Plato dan gnosis Yunani. Bau gnostik misalnya tercium dalam ucapan Klemens ini: "Mengenal dirinya ialah mengenal Allah" (Paed. 3,1. 1.1). Dengan pendekatan positif Klemens berusaha melampaui penyelewengan dalam iman Kristen yang tercetus oleh alam pikiran Yunani (gnosis, doketisme, monarkianisme). Pikiran-pikirannya tercantum dalam karya-karya utamanya ialah Pendidik (Paedagogus) dan Permadani (Stromata).

Kristologi Klemens tentu saja bertitik tolak Firman Allah (logos ilahi) dalam kepra-adaan-Nya. Firman itu ialah Anak Allah dan gambar Allah. Ia kekal abadi dan dengan-Nya segala sesuatu dijadikan. Menurut Klemens, sesuai dengan filsafat Plato dan Stoa, Firman itu meresap ke dalam segala sesuatu, mengatur dan memimpin jagat raya sebagai akal dan jiwanya. Semua manusia, khususnya para filsuf, menjadi peserta dalam Firman ilahi itu (Protr 6.68.2). Pada saat tertentu Firman atau Anak Allah itu menjadi nampak bagi manusia oleh karena menjadi manusia. Dengan demikian Firman/Anak Allah serentak ilahi dan manusiawi (Protr 1,7.1). Allah dalam manusia dan manusia dalam Allah (Paed 3,2.1) ialah Yesus Kristus. Kalau Klemens menyebut Yesus Kristus "Allah," maka sebutan itu belum banyak artinya. Sebab menurutnya setiap orang yang dengannya Firman ilahi diam bersama mendapat rupa "Firman" dan menjadi Allah (Paed 3.1.2.5). Yesus Kristus, ialah Firman Allah yang menjadi manusia, merupakan penyambung antara umat manusia dan Allah (Paed 10,110.1). Allah-manusia yang satu itu benar-benar menderita dan mati (Strom 5,16.5).

Firman dan Anak Allah yang terbungkus dalam manusia dari darah dan daging (Quis Dives 37,3) dalam seluruh eksistensi-Nya di dunia berperan sebagai "Pendidik" dan "guru" (Paed 3,12.99.2). Dengan pendekatannya itu Klemens mengkristenkan suatu gagasan yang amat penting dalam alam pikiran Yunani dan sudah dipakai oleh Tit 2:11-12. Gagasan itu ialah "pendidikan" (paideial). Pendidikan dalam pendekatan Yunani ialah suatu jalan dan sarana penyelamatan, sebab memberi "pengetahuan," gnosis, seperti juga diusahakan para gnostik. Menurut Klemens dosa dasar manusia, yakni Adam, ialah: meluputkan diri dari pendidikan ilahi oleh Firman Allah) (Protr 11,111; Strom 6,12.96) dan manusia-manusia lain dalam hal itu mencontoh Adam saja. Maka Firman Allah menjadi manusia guna kembali mendidik manusia, mengajar mereka, memberi gnosis/pengetahuan eksistential, tentang Allah. Tentu saja - ini pun cocok dengan pikiran Yunani - Allah tetap tidak tercapai, juga oleh Firman/Logos yang menjadi manusia tidak. Barang siapa menerima pendidikan dan pengetahuan itu disempurnakan dalam penyerupaan asli dengan Allah, diilahikan dan akhirnya memandang Allah. Sesuai dengan misalnya Ireneus, Klemens dapat berkata bahwa Allah (Firman/Anak Allah) menjadi manusia, supaya manusia menjadi Allah, ilahi dan Anak Allah. Tetapi maksud Klemens lain. Firman yang menjadi manusia "mengajar" manusia bagaimana ia dapat menjadi Allah (Protr 1,8. 4). Semuanya itu berbau gnosis Yunani yang dikristenkan.

Klemens dari Aleksandria yang tentu saja mau meneruskan tradisi mewartakan seorang Yesus Kristus Yunani. Ia menonjolkan ciri ilahi Yesus Kristus sedemikian rupa, sehingga ciri manusiawinya yang secara formal dipertahankan nyatanya diserap oleh ciri ilahi. Klemens misalnya dapat berkata (Strom 6,9.91.2) bahwa Yesus Kristus makan dan minum bukanlah oleh karena membutuhkannya, sebab daya penyangga Yesus ialah logos ilahi. Yesus hanya makan dan minum supaya orang sekitarnya tidak mendapat kesan bahwa kejasmanian-Nya hanya bayangan (phantasma) saja. Menurut Klemens manusia Yesus sebenarnya bebas sama sekali dari segala nafsu. Itulah cita-cita askese Yunani, apatheia.

Sehaluan dengan Klemens tetapi jauh melampauinya sebagai teolog ialah Origenes, seorang imam dari Aleksandria (± 253/25). Dari semua tokoh teologi dalam sejarah hanyalah Agustinus yang sebanding dengan Origenes. Dan meskipun di kemudian hari dikutuk sebagai "tersesat" (secara resmi barulah pada th. 543), namun pengaruh Origenes atas pemikiran dan kehidupan umat Kristen besar dan luas sekali dan berlangsung sampai dengan hari ini, tidak hanya di bagian timur kekristenan, tetapi juga di bagian barat. Sebagai teolog Origenes memang seorang "allround." Ia seorang filsuf (platonis), seorang ahli kitab dan ahli bahasa, seorang teolog dan seorang mistikus. Mungkin karena kebesaran dan keunggulannya Origenes sejak awal menjadi tokoh kontroversial.

Mula-mula Origenes, sebagai pengganti Klemens, menjadi pemimpin perguruan tinggi teologi di Aleksandria. Tetapi olen karena tidak disenangi uskupnya dan dipecat, maka Origenes membuka perguruan serupa di Kaisarea, Palestina, dengan dukungan uskup setempat (th. 230). Menjelang akhir hidupnya oleh pemerintah (Decius) Origenes dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa dengan ngeri. Dan itu menyebabkan kematiannya.

Pikirannya dituangkan ke dalam sejumlah besar tulisan (konon sekitar 2000!) dan untuk kerjanya Origenes menggunakan suatu staf besar (7 stenograf, 1 penulis, sejumlah putri yang merias tulisannya). Ada karya raksasa di bidang perkitabsucian yang disebut "Hexapla" dan di samping itu sejumlah besar komentar atas Kitab Suci, yang bermacam-macam jenisnya. Teologi sistematiknya terurai dalam karya besar "Mengenai pokok-pokok utama" (iman kepercayaan Kristen) (Peri Arkhon/De Principiis) dan sebuah karya apologetis "Melawan Celsus" (seorang filsuf Yunani yang menyerang kekristenan dalam karyanya "Alethinos Logos," pikiran yang benar).

Seperti ditegaskannya dalam kata pendahuluan karya "Peri Arkhon Origenes mau setia pada tradisi, apa yang diistilahkannya sebagai "pewartaan/praedicatio Gereja." Ia sendiri mengumpulkan ajaran yang umum diterima (semacam syahadat), tetapi sekaligus mencatat di mana ajaran tegas tidak ada, belum ada. Hanya tradisi itulah mau dipikirkan Origenes dengan hati-hati. Dengan maksud yang sama Origenes berusaha menentukan mana teks Kitab Suci yang dapat dipercaya (Hexapla) dan kitab-kitab mana yang umum diterima sebagai Kitab Suci (kanon Kitab Suci). Memang Origenes dapat tahu mana ajaran Gereja dan mana kitab-kitab yang umum diterima. Ia membuat banyak perjalanan; ke Roma, Atena, Antiokhia, Kapadosia, Palestina.

Hanya Origenes seorang teolog kreatif yang bernafas dan hidup dalam suasana intelektual Yunani yang - juga secara populer - menyerap filsafat Plato dan penerus-penerusnya. Dan suasana itu justru paling intensif di Aleksandria. Di sana orang-orang Yahudi sudah lama menyerap alam pikiran itu. Karya-karya Filo dari Aleksandria dikenal Origenes. Maka sama seperti dan malah lebih dari Klemens, Origenes secara spontan terbuka bagi Pengaruh Yunani itu. Tendensi yang sudah lama ada itu menjadi matang dalam pemikiran Origenes. Ia berusaha dengan tuntas mengungkapkan iman-kepercayaan tradisional dalam alam pikiran Yunani.

Untuk dapat mengikuti pikiran Origenes orang mesti ingat akan latar belakang Yunani itu. Platonisme (dan Stoa) mempunyai pandangannya sendiri terhadap dunia dan terhadap manusia. Ada suatu kosmologi dan suatu antropologi khusus, yang di masa itu memang tersebar luas.

Secara statik-vertikal dunia dipikirkan terdiri atas beberapa tingkat. Tingkat paling atas ialah tingkat ilahi (Yang Ilahi, Allah) yang oleh manusia tidak tercapai. Dari padanya berasallah (dipikirkan dengan pelbagai cara) tingkat tengah. Dan dari situ datanglah dunia materiil yang diamati. Khususnya Plato dan penerusnya memikirkan halnya lebih kurang sebagai berikut: Pada yang Ilahi ada "akal" (logos, nous) yang secara ideal, berupa cita-cita,, mengandung seluruh realitas. Cita-cita yang masih satu itu tercermin dalam suatu dunia rohani intelektual. Dalam dunia rohani itu cita-cita tersebut mengenai seluruh realitas menjadi terpisah dan tersendiri. Akhirnya cita-cita itu secara terbatas dan tidak sempurna tercermin dalam dunia yang didiami manusia.

Manusia dipikirkan terdiri atas tiga (atau dua) unsur tersendiri (bandingkan dengan 1Tes 5:23). Bersama-sama unsur itu membentuk manusia seadanya. Ada akal (logos, nous, pneuma) manusia, yang merupakan manusia yang sebenarnya, peserta dalam logos/nous ilahi. Unsur kedua ialah "jiwa (psykhe) prinsip hidup jasmani. Dengan jiwa itu akal bergabung. Dan akhirnya ada badan yang merupakan unsur rendah dalam manusia dan yang membatasinya. Badan itu sebenarnya hanya beban saja bagi akal/logos, pneuma. Akal (ataupun jiwa) sudah ada sebelum bergabung dengan badan, jadi sebenarnya termasuk tingkat kedua, dunia rohani tersebut.

Baiklah diingat kosmologi dan antropologi Yunani secara mendasar berbeda dengan kosmologi dan antropologi yang melatarbelakangi Kitab Suci Perjanjian Lama (kecuali Keb) dan, pada umumnya, Perjanjian Baru. Dunia yang diciptakan Allah dilihat oleh Kitab Suci sebagai serangkaian kejadian dan manusia dilihat sebagai suatu kesatuan yang tentu ada berbagai seginya, tetapi bukanlah sebuah "kemajemukan," yang terbentuk dengan pelbagai unsur yang berdiri sendiri.

Adapun Origenes, dalam rangka pikiran Yunani tersebut ia merefleksikan ajaran tradisional mengenai Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya. Kosmologi dan antropologi Yunani diadaptasikan pada kepercayaan Kristen tentang penciptaan. Origenes tidak menerima bahwa dunia dan manusia, entah bagaimana, kekal dan abadi. Dan Allah bagaimanapun juga tidak termasuk jagat raya. Origenes menolak emanasi, seolah-olah segalanya akhirnya semacam cetusan dari yang ilahi. Tentu saja ajaran khas Origenes mengenai "apokataiasis panton" (pemutihan segala sesualu) mirip dengan pandangan Yunani bahwa segala sesuatu akhirnya dipulihkan menjadi satu kembali. Tetapi Origenes mengartikan pandangan itu secara soteriologis. Semua orang (termasuk Iblis) akhirnya akan selamat. Kemudian mulailah lingkaran berikut. Sebab - ini sesuai dengan Plato - menurut Origenes, dunia (lingkaran) yang sekarang ada bukanlah yang pertama dan bukanlah yang terakhir. Tetapi semuanya tidak kekal dan ciptaan Allah.

Pemikiran Origenes bertitik tolak Firman ilahi, seperti sudah lazim dalam tradisi Kristen-Yunani. Firman Allah dan Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya disamakan dengan Hikmat ilahi (In Yoh 1,20). Firman/Hikmat ilahi itu sezat dengan Allah yang satu dan esa. Tidak terlalu jelas bagaimana Origenes memikirkan relasi antara Firman/Hikmat ilahi dan Allah. Allah (Bapa) dan Anak dikatakan dua "benda" (pragmata) oleh karena ada Diri (Contra Celsum 8,12). Anak disebut "sezat, sehakikat (homo-ousios) dengan Allah (Adamantius 1,2). Origenes untuk pertama kalinya dalam rangka kristologi memakai istilah "homo-ousios" itu, yang sudah lama ada, khususnya di kalangan para gnostik. Maka Origenes dapat menyebut Firman itu sebagai Allah (De Princ. 1 Praef 4). Namun demikian rupanya Origenes dengan istilah itu mau mengatakan bahwa Firman itu sejenis dengan Allah, dengan arti itu "Allah" berarti "ilahi." Tetapi Firman itu rupanya tidak setingkat dengan Allah dan satu dengan Allah. Rupanya Firman itu dipikirkan sebagai semacam "emanasi" (kekal) dari Allah (Theognostus 1,2). Dan itulah kiranya sebabnya mengapa Origenes menyebut Firman Allah itu sebagai "Allah Kedua" (Contra Celsum 5,39), sama seperti Yustinus. Pemikiran Origenes subordinaionis." Firman itu "lahir" dari zat (ousia) Bapa (Theognostus), sehingga ada "dua benda" (pragmata), dua "diri" (hypostasis) yang mandiri. (Contra Cels 8,12).

Dengan Firman/Hikmat itu Allah menciptakan segala sesuatu. Tetapi penciptaan itu terjadi dalam dua tahap. Firman Allah, ialah Hikmat dan gambaran-Nya mengandung di dalam diri-Nya segala cita-cita makhluk (In Yoh 1:29.22). Dan dengan arti itu dunia sama kekal dengan Firman dan Allah sendiri (De Princ. 1,2.10). Lalu dalam langkah pertama diciptakan dunia rohani, yang terdiri atas cita-cita, gambaran-gambaran, bagan segala makhluk. Itulah tingkat tengah kosmos. Akhirnya menurut gambaran-gambaran itu tingkat bawah dijadikan.

Firman/Anak Allah yang pra-existen itu benar-benar menjadi manusia, secara utuh-lengkap, serupa dengan manusia lain (Dep Princ. 2,6.2). Origenes menekankan bahwa pada Yesus Kristus ada "dua kodrat," yang ilahi dan yang manusiawi (Contra Celsum 3,28). Kedua kodrat itu dipersatukan oleh Firman/Anak Allah itu. Dengan demikian Firman/Anak Allah "menghampakan diri" dan Ia serentak Allah (Ilahi) dan manusia. Dan berdasarkan dua "kodrat" itu pada Yesus Kristus ada juga dua rangkaian hal ihwal/perbuatan, yaitu ilahi dan yang insani (Contra Celsum, 7,17; 4,15). Dan kedua itu bersatu (Contra Celsum 1,66; 2,9; 6,41) sedemikian rupa, sehingga yang ilahi dapat dikatakan mengenai manusia dan yang insani dapat dikatakan tentang Allah (Anak/Firman) (De Princ. 2,6.6). Origenes menerima apa yang diistilahkan sebagai "communicatio ideomalum," artinya: dua rangkaian ciri (ilahi dan insani) tergabung dalam satu subjek sehingga subjek itu dapat bergilir ganti disebut menurut ciri-ciri yang berbeda itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai subjek yang sama. Misalnya: Allah (ilahi) menderita (insani) dan: manusia (insani) menciptakan (ilahi). Adapun sebabnya ialah: pelaku/subjek dua rangkaian perbuatan/ciri itu satu dan sama. Hanyalah pada Origenes halnya belum seluruhnya jelas, yaitu: Apakah menurut Origenes subjek/pelaku benar satu dan sama, meskipun ada dua rangkaian ciri? Sebab kadang-kadang orang mendapat kesan bahwa Origenes memikirkan halnya seolah-olah semacam campuran (Contra Celsum 1,66). Tapi bagaimanapun juga Origenes menekankan bahwa Yesus Kristus, Firman/Anak Allah benar-benar menderita, mati dan bangkit (Contra Celsum 2,16).

Menurut pendekatan Origenes Firman/Anak menjadi manusia dalam dua tahap. Terlebih dahulu Firman/Anak Allah bergabung dengan "jiwa" (akal/nous) yang sudah ada sebelum berbadan (bandingkan dengan De Princ. 3,3.5). Penggabungan Firman dengan "jiwa" itu terjadi pada saat jiwa itu dijadi-kan oleh Firman menurut "gambaran Allah" ialah Firman ilu sendiri. Jiwa Kristus selalu melekat pada Firman dan setia pada-Nya tanpa kekurangan apa saja. Origenes menegaskan bahwa jiwa itu selalu tertanam dalam Allah (melalui Firman), sehingga segala apa yang dibuat, dilihat dan dirasakan jiwa itu menjadi ilahi. Ia bersatu dengan Firman itu, seperti besi yang dile-takkan ke dalam api bersatu dengan api itu. Dan itulah sebabnya mengapa jiwa itu tidak berbalik dan tidak berubah (De Princ. 2,6.6). Jiwa dan Firman itu menjadi satu "roh" (pneuma) (De Princ. 4,4.4; 2,6.6). Dalam lang-kah kedua jiwa yang bergabung dengan Firman itu, bergabung dengan badan (De Princ. 2,6.3). Dengan demikian Firman/Anak Allah menjadi se-nasib dengan manusia yang malang dan berdosa. Itulah penghampaan diri Firman dan Anak Allah (De Princ. 1 Praef 4). Menurut Origenes kebaikan (dan kasih) Kristus paling nampak ilahi dan unggul ketika Ia merendahkan diri dalam ketaatan sampai mati, sampai mati di salib. Di situ lebih nampak daripada seandainya kesetaraan Anak dengan Allah dianggap tidak dapat ditinggalkan atau seandainya Kristus menolak menjadi Hamba demi kesela-matan dunia (In Yoh 1:32). Oleh karena jiwa Kristus tetap lekat seerat-erat-nya pada Firman, maka badan pun diikutsertakan dalam ciri ilahi Firman melalui persatuan dan pencampuran. Maka badan pun berubah menjadi ilahi (Contra Cels 3,41). Maka titik sambungan Anak dan Firman Allah ialah jiwa Yesus Kristus.

Dalam rangka yang sama Origenes memikirkan lebih lanjut karya pe-nyelamatan Kristus yang diwartakan tradisi. Manusia nyatanya ada dalam keadaan malang. Dan sebabnya ialah semua jiwa dalam kepra-adaan-nya bersalah (De Princ 1,8.1), entah bagaimana, dengan pelbagai tingkat (De princ 2,9.2). Sebab itu tidak semua manusia sama malangnya. Sebagai hukuman jiwa menjadi terkurung dalam badan. Dan badan dan jiwa tetap bermusuhan satu sama lain (De Princ. 3,4.1). Satu-satunya jiwa yang tidak berdosa dan selalu melekat pada Allah ialah jiwa Kristus (De Princ. 2,6.5). Hanya karena kasih-Nya kepada jiwa-jiwa lain Firman/Anak/Gambar Allah (bandingkan dengan Contra Cels 8,12) menjadikan diri-Nya senasib dengan manusia yang paling malang, yaitu dengan benar-benar mengalami kematian di salib.

Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia, menyelamatkan seluruh manusia. Origenes mengulang dan memperuncing prinsip karya pe-nyelamatan yang menegaskan: Apa yang tidak dipersatukan dengan Firman, tidak diselamatkan pula (Dial. Her. 7). Namun demikian jelas bahwa dalam pendekatan Origenes jiwa manusia dibebaskan dari badan (seada-nya). Sesuai dengan tradisi Origenes mempertahankan kebangkitan badan. Tetapi segera ia menambah: Badan kebangkitan itu lain sama sekali dengan badan sekarang (De Princ. 3,6.6; Contra Celsum 5,23).

Dalam rangka komentarnya atas Rm (3:8) Origenes dengan panjang le-bar menguraikan tradisi yang mengartikan kematian Yesus di salib sebagai korban pemulihan dan penyilih dosa, korban pendamaian. Dosa-dosa manusia menuntut penyilihan dan pemulihan. Dan Kristus dengan rela dan sebagai pengganti orang berdosa dan Imam besar (In Yoh 6.53.273-274) menawarkan diri menjadi korban pendamaian. Hanya mesti diakui bahwa dalam pendekatannya ini Origenes menyatakan diri lebih setia pada tradisi daripada pada pemikirannya sendiri. Dalam kerangka pemikirannya sendiri gagasan "korban Kristus" itu tidak terlalu cocok.

Origenes juga mengambil alih suatu pikiran yang sudah ada (Yustinus) dan yang di kemudian hari menjadi laku sekali (Ambrosius), khususnya dalam rangka khotbah. Pikiran itu sangat mendramatisasikan kematian Yesus "demi untuk dosa kita" sebagai (uang) tebusan. Manusia (jiwa) karena dosanya menjadi budak dan milik Iblis. Iblis mendapat hak milik atas manusia. Adapun Kristus Ia "menebus" manusia dengan membayar sebagai uang tebusan darah-Nya (kematian-Nya) kepada Iblis, sehingga manusia menjadi bebas dari genggaman Iblis. Hanyalah Kristus sendiri diluput-Kan dari genggaman Iblis dan Maut melalui kebangkitan. Iblis sedikit banyak merasa dirinya tertipu. Sebab seandainya Iblis tahu bahwa Yesus Kristus (sebab Allah) akan bangkit, pasti tidak menerima bayaran itu. Ha-nya boleh dipertanyakan sejauh mana "drama" itu oleh Origenes dinilai se-bagai "teologi" atau sebagai retorik belaka. Pikiran dasar sebenarnya ialah: Dengan kematian-Nya Yesus Kristus yang kuasa mengalahkan kuasa Iblis dan Maut (In Yoh 1,32.233; 6,53.273-275). Itu merupakan suatu pra-andaian untuk proses penyelamatan yang direalisasikan Yesus Kristus.

Proses itu oleh Origenes dipikirkan lebih kurang sebagai berikut: Dengan men-jadi manusia Firman/Anak Allah pada dasarnya sudah mengilahikan manusia. Tetapi serentak Ia membuka jalan penyelamatan bagi manusia. Dalam hal itu Origenes meneruskan pikiran Klemens tentang Yesus Kristus sebagai pendidik dan guru. Dalam hal ihwalnya sebagai manusia Yesus Kristus, gambar Bapa, memperlihatkan kesempurnaan Bapa kepada manusia. Ia menjadi "contoh," model manusia yang langkah demi langkah diilahikan (Contra Celsum 8,17). Manusia yang percaya kepada Kristus menjadi peserta Kristus dalam kekuasaan, kekuatan Allah, dalam Firman dan hidup Allah. Berkat penyertaan tersebut dan pengetahuan tentangnya manusia naik kepada Bapa (Contra Celsum 6,68). Maka penyelamatan merupakan suatu proses yang maju dan berkembang, baik untuk tiap-tiap orang maupun untuk seluruh umat manusia, yang langkah demi langkah menuju penyelesaiannya (De Princ. 3,6.6).

Jelaslah kristologi dan soteriologi Origenes benar-nenar Yunani. Secara formal dan devosional Origenes mempertahankan realitas historis Yesus dan realitas kemanusiaan-Nya. Bagaimana tidak, mengingat Origenes menulis komentar-komentar atas Injil-injil sinoptik. Ia pun mempertahankan bahwa keselamatan mencakup seluruh manu.sia. Namun demikian Origenes begitu menekankan keilahian Yesus Kristus, sehingga - seperti pada Yoh - keilahian itu terus-menerus menembus kemanusiaan. Kemanusiaan merupakan semacam kaca yang sedikit memadamkan sinar cahaya keilahian, sehingga dapat dipandang mata manusia. Dalam pendekatan Origenes manusia Yesus, Orang Nazareth, akhirnya diserap oleh Anak/Firman Allah (In Yoh 32,25.325). Juga keselamatan oleh Origenes terutama dipikirkan sebagai "keselamatan jiwa," keselamatan rohani. Origenes memang tidak menjunjung tinggi badan manusia. Ia misalnya hanya melihat jiwa (pra-existen) sebagai "gambar Allah'', seperti juga hanya Firman pra-existen menjadi gambar Allah. Dan dunia materiil oleh Origenes bisa disebut sebagai "kakus." Kendati kesetiaannya pada tradisi, Origenes akhirnya toh amat jauh dari Yesus, orang Nazareth, dan hidup-Nya di dunia ini di tengah-tengah manusia.

Usaha besar para teolog (dari Aleksandria), khususnya Origenes, belum juga berhasil menjernihkan suasana pemikiran sekitar Yesus Kristus. Belum ada suatu kesepakatan tuntas, kendati kemajuan yang tercapai. Bahkan pemikiran menjadi semakin simpang siur, Memang ada semacam kesepakatan dasar dalam kristologi. Kistologi dari atas sudah lama menjadi lazim. Pusat perhatian ialah Anak Allah, Firman Allah dalam kepra-adaan-Nya. Umum diterima bahwa Anak, Firman Allah, mempunyai ciri ilahi. Ia sezat, sehakikat (homo-ousios), berarti: sejenis, dengan Bapa, yaitu Allah yang Mahaesa. Baiklah disadari bahwa yang di masa itu disebut Bapa, ialah Allah yang esa dan tunggal. Dan itu sesuai dengan pikiran Yunani yang sudah biasa menyebut Yang Ilahi, Allah, sebagai Bapa. Hanya sebutan Yunani itu kurang cocok dengan pandangan Alkitab. Dalam tradisi alkitabiah (Perjanjian Lama) Allah yang esa ('elohim) tidak begitu saja dapat disamakan dengan Yahwe, Bapa Israel, raja, orang benar. Umum diterima pula bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia. Doketisme sudah diatasi. Tetapi tetap tinggal masalah: Bagaimana relasi antara Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan Allah yang mahaesa? Sejauh mana, dengan arti mana, Ia mesti disebut "sezat," "sehakikat" (homo-ousios) dengan Allah, ialah Bapa? Jika Yesus Kristus disebut "Allah" (theos = ilahi; Yesus tidak disebut "ho theos"), maka bagaimana keesaan Allah dapat dipertahankan? Dan selanjutnya, masih tetap tinggal masalah ini: Bagaimana relasi Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan manusia Yesus, sehingga Yesus Kristus tetap hanya satu dan sama, tidak dua tokoh.

Dan pemecahan lama atas masalah-masalah tersebut, kecuali doketisme, masih tersebar luas. Monarkianisme (Noetus, Praexeas, Sabellius), bahkan dalam bentuk dinamik-adopsianis masih juga mendapat pembela. Itu terbukti oleh kasus Paulus dari Samosata, uskup di Antiokhia (± th. 270). Sejauh masih dapat diketahui, pikirannya lebih kurang sebagai berikut: Firman Allah, Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya memang "sezat/sehakikat" (homo-ousios) dengan Bapa, ialah Allah yang mahaesa. Tetapi Ia bukan suatu "pribadi" (hypostasis) yang mandiri, melainkan berupa suatu kekuatan ilahi, hikmat ilahi, firman dengan arti: perintah yang berdaya. Pada suatu saat kekuatan/hikmat ilahi itu turun atas Yesus, seorang manusia yang suci dan secara luar biasa dikurniai. Berkat kekuatan ilahi yang ada pada-Nya, di dalam-Nya, Yesus Kristus diangkat menjadi Anak Allah. Versi monarkianisme (modalis), seperti disebarluaskan Sabellius (± th. 210) masih tetap laku juga. Anak Allah, Firman Allah hanya rupa, bentuk dari Allah yang mahaesa. Dalam Yesus Kristus Allah mendapat rupa manusia dan nampak di bumi. Dan itulah yang disebut "Anak Allah" atau "Firman Allah." "Bapa" hanyalah nama bagi Allah Pencipta, "Anak" nama bagi Allah yang nampak sebagai manusia dan "Roh Kudus" ialah nama Allah yang menguduskan (rahmat).

Modalisme dalam kasus Paulus dari Samosata berbentrokan dengan pendekatan yang didukung oleh pemikiran Origenes. Origenes memang mati-matian menolak monarkianisme, sehaluan dengan Tertullianus, Hippolytus dan Novatianus. Anak Allah, Firman Allah yang sezat/sehakikat dengan Allah (Bapa) sejak kekal ada, bukan sebagai kekuatan saja, melainkan secara mandiri, berbeda dengan Bapa, sebagai "hypostasis" dan "ousia" (kedua istilah ''hypostasis" dan "ousia" biasanya searti). Meskipun demikian Anak Allah, Firman Allah berasal dari Allah, yang karena itu disebut Bapa-Nya. Maka Anak Allah, Firman Allah memang ilahi, tetapi tidak setingkat dengan Bapa (Allah yang mahaesa). Ia disebut "Allah kedua," Pendekatan Origenes disuarakan oleh seorang imam dari Aleksandria, Malkhion, murid Origenes, pada suatu sinode uskup-uskup di Antiokhia (th. 268), yang menolak ajaran Paulus dari Samosata, oleh karena menyeleweng dari iman kepercayaan sejati, dari tradisi.

Tetapi bentrokan di Antiokhia tersebut sekaligus menyingkapkan suatu kelemahan yang ada pada kristologi Origenes. Terbawa oleh kosmologi dan antropologi Yunani (platonis) Origenes memikirkan inkarnasi dalam dua tahap. Firman Allah, Anak Allah yang sejak kekal ada dan sezat dengan Bapa bergabung dengan jiwa (nous, akal) Kristus, kemudian melalui jiwa Anak Allah itu bergabung dengan badan yang sebenarnya hanya semacam bungkus, penjara bagi jiwa (dan Anak Allah, Firman Allah). Pikiran Origenes tentang jiwa yang pra-existen itu umum ditolak, juga oleh pengikut-pengikut pikiran Origenes. Maka Malkhion (dan orang yang sehaluan, seperti Hymeneus, uskup Yerusalem) melompati saja langkah tengah tersebut. Mereka melihat hubungan antara Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan manusia Yesus seperti hubungan antara jiwa (nous, akal) dan badan. Pada Yesus Kristus jiwa (nous) manusiawi diganti dengan Firman Allah yang pra-existen. Logika pikiran itu tidak dapat disangkal. Dalam antropologi Yunani (Plato, Stoa) akal (nous, logos) manusia merupakan penyertaan dalam akal (nous, logos) ilahi. Kalau logos sendiri menjadi manusia (seperti pada Yesus Kristus), mengapa masih mesti ada suatu "penyertaan" dalam "logos" yang sama? Badan Yesus hanya menjadi sarana, alat untuk Firman Allah, sehingga pelaku, subjek, hal ihwal dan perbuatan Yesus tidak lain kecuali Firman Allah. Dengan cara demikian nampaknya secara tuntas dipertahankan tradisi yang berkata bahwa Yesus Kristus satu dan sama, bukan dua tokoh, subjek. Tetapi jelaslah keutuhan kemanusiaan Yesus Kristus dikorbankan, malah apa yang dikorbankan justru unsur yang dalam antropologi Yunani membuat manusia menjadi manusia. Apa yang akhirnya muncul hanyalah suatu doketisme, versi baru. Namun demikian pemikiran Malkhion dan kawan-kawannya tidak boleh dikatakan kurang konsisten dalam rangka antropologi Yunani itu.

Maka tidak mengherankan bahwa kristologi seperti dipaparkan Malkhion menjadi kristologi yang dianut banyak pengikut Origenes, dan malah oleh mereka yang cukup tegas mengecam pikiran Origenes, seperti Eusebius, uskup Kaisarea, dan Methodius dan Olimpus. Eusebius (± th. 339) misalnya berkata (De eccl, Theol. 1,20.90) bahwa Firman Allah berada dalam daging dan menggerakkannya, selaku jiwa, dan daging menjadi alat bagi Firman. Pada saat Yesus mati Firman itu meninggalkan daging (dan turun ke dunia orang mati) (Dem.evang. 3,4.108). Apa yang dalam Alkitab dikatakan mengenai jiwa Yesus sebenarnya mengenai Firman Allah (Dem. evang. 10,8.503-504). Senada dengan penegasan Eusebius Methodius dari Olimpus (± th. 311) berkata bahwa Yesus seorang manusia yang penuh dengan Allah (Firman Allah) yang terbungkus dalam kemanusiaan. Daging merupakan sarana bagi Firman (Sympos. 3,4; 3,7). Yesus Kristus terdiri atas dua unsur (seperti manusia terdiri atas dua unsur), yaitu Firman dan daging (De res. 2,18).

Kristologi macam itu diistilahkan sebagai kristologi "logos-sarks" (Firman-daging). Rumus itu diambil dari Yoh 1:14 (Firman menjadi daging). Tentu saja Yoh 1:14 (yang barangkali berpolemik dengan doketisme) lain sekali maksudnya. "Daging" pada Yoh 1:14 berarti: eksistensi historis manusiawi yang sungguh-sungguh. "Daging" justru menekankan keutuhan eksistensi manusiawi Yesus Kristus. Yoh 1:14 tidak berkata tentang "kemanusiaan" dengan arti "kodrat," seperti yang dipikirkan filsafat Yunani, apa pula tentang "daging" sebagai satu unsur "kodrat" itu. Dan bukan Origenes yang melontarkan kristologi logos-sarks itu. Namun demikian pemikirannya sedikit membuka pintu ke arah itu.

Masalah yang pada sinode di Antiokhia tahun 263 diperdebatkan, yaitu: hubungan antara Firman Allah dan manusia konkret Yesus, orang Nazareth, tidak sampai dijernihkan secara tuntas. Masalah hanya ditangguhkan saja. Untuk sementara waktu pandangan Malkhion, yang sehaluan dengan arah pikiran Origenes, menjadi laku. Masalah tidak dipikirkan lebih lanjut, oleh karena perhatian para pemikir bergeser kepada soal lain, yaitu hubungan Firman Allah, Anak Allah yang pra-existen, dengan Bapa ialah Allah yang mahaesa. Untuk waktu yang lama justru soal itu menjadi hangat dan masalah-masalah lain hilang dari perhatian dan penjernihannya ditangguhkan.

Biang keladi pergumulan dan bentrokan baru itu ialah Arius (± th. 336) terdukung oleh seseorang yang mahir dalam filsafat Yunani (sofis) bernama Asterius. Arius seorang imam di Aleksandria, tetapi berasal dari Antiokhia dan di sana berguru pada Lucianus dari Antiokhia, pendiri perguruan tinggi teologi (katekese). Rupanya Arius juga berkenalan dengan Paulus dari Samosata. Maka bentrokan yang terjadi sekaligus bentrokan antara mazhab Aleksandria dan mazhab Antiokhia, yang bersifat rasionalis-positivis. Pun pula bentrokan di Antiokhia pada tahun 268 sudah diwarnai oleh dua aliran besar dalam teologi Kristen di masa itu.

Suatu unsur lain yang berperan besar dalam bentrokan yang dicetuskan Arius dan berlangsung lama itu ialah unsur politik. Menjelang akhir abad III dan awal abad IV umat Kristen oleh kaisar-kaisar Roma (Diokletianus, Decius, Valerianus) dilawan dengan kekerasan. Tetapi pada tahun 312 Kaisar Konstantinus berubah haluan dan malah mulai mendukung agama Kristen. Kaisar itu menyadari bahwa agama itulah yang mempunyai masa depan. Agama Kristen oleh Konstantinus dinilai sebagai unsur pemersatu negara. Itulah sebabnya Kaisar, yang menganggap dirinya sebagai "Imam Besar," tidak segan campur tangan dalam pertikaian panas pada umat Kristen, khususnya sekitar Yesus Kristus. Umat Kristen, pertama-tama para uskup, tidak menolak campur tangan kaisar serta "pertolongannya" itu. Maklumlah pada umat Kristen belum ada sebuah instansi pusat yang sungguh-sungguh berkewibawaan dan berwewenang, kalaupun peranan uskup Roma semakin tampil ke depan.

Pertikaian pada umat Kristen tersebut memperlihatkan juga bahwa pemikiran para umat Kristen agak kabur, simpang siur dan tidak menentu. Sekaligus pertikaian yang tercetus oleh Arius itu memperlihatkan bahwa kerangka pemikiran Yunani (platonisme) yang sudah lama dipakai pemikir Kristen kurang memadai untuk mengkonsepsualkan dan secara linguistik merumuskan iman kepercayaan Kristen. Adaptasi iman kepercayaan Kristen pada alam pikiran Yunani menempuh saat krisisnya yang parah, jalan buntu.

Bagaimana persis pikiran Arius sendiri kurang diketahui dengan pasti. Semua tulisannya (yang hanya sedikit), khususnya "Thalia/Perjamuan" hilang. Hanya kepingan-kepingan terpelihara melalui kutipan-kutipan pada orang-orang lain yang menolak pendekatan Arius, khususnya Athanasius. Agaknya pikiran Arius lebih kurang sebagai berikut: Allah/Yang ilahi secara mutlak esa, tunggal, transenden, tak tercapai oleh manusia, dan menjadi asal usul segala sesuatu (Surat kepada Aleksander, 16). Sesuai dengan kosmologi Yunani Arius mengatakan bahwa Allah yang esa dan transenden itu menciptakan segala sesuatu secara bertahap (sebab tidak dapat langsung berhubung dengan dunia material) (Thai. 5). Ciptaan pertama dan utama ialah Firman Allah (yang tidak termasuk dunia ilahi dan pun pula tidak termasuk dunia jasmani) dan secara metafor Firman itu boleh disebut "Anak Allah" (Thai. 6). Firman itu tidak "sezat/sehakikat (homo-ousios) dengan Allah (Thai. 6), tidak secara langsung mengenal Allah, tidak sama dengan firman dan hikmat yang ada pada Allah (imanen) (Thai. 5). Firman tercipta itu tidak kekal dan abadi, meskipun ada sebelum dunia (dan waktu), dan dijadikan dari ketidakadaan, seperti makhluk-makhluk lain. Firman itu seluruhnya tidak mirip (an-homoios) dengan Allah. Pokoknya Firman itu ada awalnya, sehingga ada pernahnya Firman itu tidak ada (Thai. 5). Selanjutnya Firman, makhluk utama dan utama, sebagai "demiurg" dan penengah antara Allah dan jagat raya menciptakan dunia. Rupanya Arius juga menjelaskan inkarnasi Firman itu sebagai berikut: Firman itu bergabung dengan manusia Yesus Kristus begitu rupa sehingga mengganti jiwa (akal, nous, logos) manusiawi dan menjadi penggerak (subjek) kemanusiaan (daging) Yesus. Jadi Arius menjadi penganut kristologi Logos-sarks.

Jelaslah dalam pikiran Arius tersebut tergabung berbagai unsur yang sudah lama ada dalam alam pikiran Yunani dan sudah menyusup ke dalam pikiran Kristen sekitar fenomena Yesus. Keesaan dan transendensi mutlak Allah yang tidak dapat diketahui makhluk mana pun juga sudah menjadi pikiran lebih kurang umum. Itulah "Theologia Negativa" yang terkenal itu. Gnosis sudah lama menekankan bahwa tidak ada hubungan langsung antara Allah/Yang ilahi dan dunia/manusia. Mesti ada (beberapa) penengah antara Allah dan dunia. Gagasan bahwa jiwa (nous, logos) manusiawi pada Yesus Kristus diganti Logos ilahi, sudah lazim di kalangan para pengikut Origenes. Arius menjadi paling radikal dengan penegasannya bahwa Firman Allah, Anak Allah, adalah sebuah makhluk, ciptaan, dan tidak kekal-abadi. Dengan cara itu Arius secara "mendasar memisahkan Allah dari dunia dan manusia. Akibatnya: keselamatan sebagaimana secara tradisional diterima iman kepercayaan Kristen ditiadakan. Tetapi radikalisme Arius itu hanya memperuncing suatu pendekatan yang sudah lama tersebar luas pada umat Kristen, yaitu apa yang diistilahkan sebagai "subordinasionisme." Firman Allah/Anak Allah memang sezat/sehakikat dengan Allah yang esa sehingga benar-benar "ilahi." Namun demikian Firman tidak setingkat dengan Allah. Tetapi kalau demikian duduknya perkara, Firman itu masih boleh dikatakan Allah? Dalam pikiran Arius tidak ada pilihan lain kecuali mengatakan Firman itu adalah ciptaan, makhluk, sesuatu di tengah Allah dan makhluk-makhluk lain.

Memang pikiran Arius itu tidak serba baru. Ada perintisnya, meskipun belum begitu jelas dan tuntas. Dionysius (± th. 264), uskup Aleksandria dan pengikut Origenes, dalam melawan modalisme (Sabellius) pernah merumuskan pikirannya (ada tiga hypostaseis yang mandiri pada Allah yang mahaesa) begitu rupa, sehingga memancing reaksi. Orang berkesan bahwa Dionysius menyangkal kekekalan Anak Allah, bahwa memisahkan Anak dari Bapa dan menyatakan Anak sebuah makhluk yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan ciptaan-ciptaan lain. Cepat-cepat Dionysius, antara lain atas desakan uskup Roma, Dionysius (± th. 268), membetulkan perumusannya. Dionysius dari Aleksandria, sehaluan dengan pikiran Origenes, sangat menekankan bahwa sejak kekal ada tiga (Bapak, Anak, Roh) hypostaseis yang mandiri yang memang sezat/sehakikat (homo-ousios). Tetapi "ousia" (zat/hakikat) itu oleh Dionysius disamakan dengan Allah yang mahaesa. Maka pertanyaannya ialah: Apakah Dionysius tidak memperbanyak Allah yang mahaesa, sehingga ada dua (tiga) Allah serentak? Paling tidak uskup Roma, Dionysius (bandingkan dengan DS 112), merasa prihatin dan curiga terhadap pikiran Dionysius dari Aleksandria. Uskup Roma dalam hal ini jelas berguru pada Novatianus yang menekankan keesaan Allah dan uskup Roma kuatir kalau-kalau keesaan Allah dikurangi oleh pikiran uskup Aleksandria. Dan memang justru dalam hal ini nampak perbedaan pendekatan Barat/Latin dengan pendekatan Timur/Aleksandria. Barat menekankan keesaan Allah, sehingga mesti dijelaskan bagaimana kesamaan Anak, Bapa (dan Roh Kudus) dengan Allah tidak mengurangi kemandirian Bapa, Anak dan Roh itu secara modalis. Sebaliknya Timur menekankan kemandirian dan perbedaan Allah (Bapa) dengan Anak (dan Roh), sehingga tinggal dijernihkan bagaimana ketiga itu tetap satu dan Allah yang mahaesa tidak diperbanyak menjadi tiga Allah. Uskup Roma tentu saja, sesuai dengan tradisi, mempertahankan bahwa Allah adalah esa dan Anak (serta Roh Kudus) yang mandiri selalu bersatu dengan Allah. Tetapi ia pun tidak berhasil secara tuntas menjernihkan duduknya perkara, Sebab keterangannya bahwa ketigaan ilahi seolah-olah dipadatkan dan dikumpulkan dalam Allah yang mahaesa sebagai puncaknya tidak amat jelas.

Adapun Arius, ia secara radikal memecahkan masalah. Secara mutlak ia mempertahankan keesaan Allah, yang bagaimanapun juga tidak dapat diperbanyak atau dibagi-bagi. Konsekuensinya: Anak (dan Roh) bukan Allah, melainkan makhluk. Pikiran Arius sangat rasional dan jelas. Rahasia menjadi jernih, berarti: kepercayaan Kristen menjadi pikiran murni, cocok sama sekali dengan kosmologi dan antropologi Yunani. soteriologi tidak atau kurang merepotkan Arius. Justru karena jernihnya itu tidak mengherankan bahwa pikiran Arius amat menarik.

Memang sampai dua kali Arius dinyatakan menyeleweng dari iman kepercayaan Kristen yang benar. Yaitu oleh suatu sinode uskup-uskup di Aleksandria (th. 318/320) dan di Antiokhia (th. 325). Sinode di Antiokhia itu diketuai Uskup Hosius dari Corduba, penasihat rohani Kaisar Konstantinus. Itu membuktikan keprihatinan Kaisar. Uskup, atasan Arius sendiri, yaitu Aleksander dari Aleksandria (± th. 326) yang oleh Arius diserang sebagai modalis (Sabellius), memimpin perlawanan. Aleksander sendiri termasuk mazhab Aleksandria dan menganut pikiran Origenes. Menurutnya Yesus Kristus, gambar Allah, Anak Allah, kekuatan, Firman dan hikmat Allah yang pra-existen, merupakan suatu "pribadi" (hypostasis) dan "kodrat" (physis) mandiri, berbeda dengan Bapa dan sehakikat dengan Bapa (bandingkan dengan Ep. ad Alex. Constant. 4; 9; 7; 12). Firman itu (sejak kekal) berasal dari Bapa, lahir dari-Nya. Tetapi belum jelas pula bagaimana hubungan Firman Allah dengan Allah yang mahaesa (Bapa). Sehaluan dengan Origenes Aleksander tetap subordinasionis. Anak Allah ditempatkan antara Allah yang Mahaesa dan ciptaan (Epist.ad Alex, Const 11), tetapi bukan di pihak ciptaan melainkan di pihak Allah.

Arius yang di Aleksandria dan Antiokhia ditolak, mendapat dukungan pada uskup-uskup lain, khususnya pada Eusebius, uskup Nikomedia (± th. 341) di Asia Depan, dan Eusebius (th. 320), uskup di Kaesarea, Palestina. Oleh sebuah sinode uskup-uskup di Nikomedia dan suatu sinode uskup di Kaisarea Arius "direhabilitasikan." Eusebius, uskup Kaisarea, menjadi pemimpin kelompok uskup-uskup yang mendukung Arius. Dan pandangannya tentang Yesus Kristus memang cukup senada. Menurutnya Allah secara mutlak esa dan tunggal dan tidak ada apa saja yang setingkat (De eccl. theol. 2,14). Yesus Kristus Gambar, Firman dan Anak Allah memang pra-existen (De eccl. theol 2,14) dan menjadi penengah dalam penciptaan jagat raya (De eccl. theol. 1,13.1). Firman itu pantulan cahaya abadi (Allah) dan sebagai gambar Allah boleh disebut Allah (ilahi), tegasnya: Allah kedua. Namun demikian Ia bukan Allah sesungguhnya, bukan "sezat/sehakikat" (homo-ousios) dengan Allah (Bapa) dan tidak sekekal (Dem.ev. 4,3.7; 5,1.29; 4,3.5). Pada ketika tertentu Ia berada berkat kehendak Allah yang khusus (Dem.ev. 4,3.7), meskipun tidak dijadikan dari yang tidak ada (nihilo) seperti makhluk-makhluk. Kalau Yesus Kristus dikatakan "satu" dengan Bapa (Allah) (Yoh 10:30) maka artinya ialah: Anak menjadi peserta dalam kemuliaan Bapa, mirip dengan orang-orang suci lainnya(De eccl.theol. 3,19).

Maka sekitar tahun 325 di kawasan timur negara Roma ada dua kelompok uskup (sekeliling Aleksander dari Aleksandria dan sekitar Eusebius dari Kaisarea) yang bertikai satu sama lain, saling menuduh dan saling mengutuk, Selanjutnya Kaisar Konstantinus yang memprihatinkan kesatuan negara mengumpulkan semua uskup (atas beaya negara) untuk mengadakan suatu sinode menyeluruh di kola Nikea, Asia Depan. Itulah konsili ekumenik yang pertama datam sejarah. Pada saat itu tentu saja belum dinilai secara demikian. Untuk pertama kalinya Gereja sebagai suatu kesatuan dan dengan seluruh kewibawaannya mencoba secara konsepsual dan linguistik mengungkapkan secara tegas iman kepercayaan tentang (salah satu segi) Yesus Kristus.

Biasanya konsili Nikea dihubungkan dengan dogma mengenai Allah Tritunggal. Tetapi itu sebenarnya kurang tepat. Yang dipertaruhkan dan diperdebatkan bukan Allah Tritunggal, melainkan Yesus Kristus. Dogma Allah Tritunggal belum ada di masa itu, meskipun kepercayaan itu sejak awal dihayati. Konsili Nikea suatu konsili kristologis. Hanya konsili itu agak terbatas dalam pendekatannya. Sebab apa yang ditentukan ialah hubungan Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan Allah. Tentu saja tidak lepas dari Yesus Kristus secara menyeluruh. Hanya satu segi saja yang disoroti. Hubungan Anak Allah, Firman Allah dengan manusia Yesus tidak sampai dijernihkan, apa pula arti dan makna penyelamatan hal ihwal, penderitaan dan kematian Yesus. Dalam hal itu tradisi saja yang diteruskan tanpa dipikirkan lebih lanjut. Tentu saja ada kesadaran bahwa dalam seluruh debat dan pertikaian yang mau diakhiri konsili itu, keselamatan manusialah yang dipertaruhkan. Tetapi segi itu tidak dipertegas. Maksud konsili Nikea ialah menyaring dari kekaburan dan perbedaan pendapat yang berkecamuk, apa yang sebenarnya sejak awal (tradisi) diimani umat Kristen dan dalam praktek (khususnya ibadat baptisan) dihayati dan diakui. Memang syahadat yang dipakai dalam ibadat bukan teologi melainkan homologi. Hanya iman itulah mau diungkapkan dan dirumuskan konsili Nikea demi persatuan umat dalam iman. Tetapi oleh karena bergerak dalam alam pikiran Yunani (Plato, Arestoteles, Stoa), maka iman kepercayaan tradisional - dan dengan demikian Yesus Kristus sendiri - dirumuskan dalam alam pikiran itu dan dengan istilah teologis yang dipinjam dari alam pikiran Yunani itu, meskipun arti dan isi istilah itu diubah seperlunya.

2. Dari konsili Nikea (th. 325) ke konsili Efese (th. 431)
Sinode negara (konsili Nikea) menghimpun k.l. 300 uskup. Kaisar Konstantinus menganggap sidang itu begitu penting, sehingga ia sendiri secara pribadi hadir. Meskipun kaisar tidak mengetuai konsili, namun sebagai dalang mempunyai peranan yang besar. Kaisar nekad. Rapat itu mesti meredakan ketegangan dan menghentikan pertikaian serta menghasilkan sesuatu, semacam "asas tunggal" yang harus diterima semua partai yang berselisih. Oleh karena pertikaian itu terutama melanda kawasan timur negara maka hampir semua uskup yang berkumpul berasal dari kawasan itu. Bagian barat diwakili oleh suatu delegasi yang dikirim uskup Roma, Silvester (± th. 335). Delegasi itu terdiri atas uskup Hosius dari Corduba (± th. 357), penasihat "rohani" kaisar, dan dua imam pembantu, Vitus dan Vincentius. Maksud kaisar jelas dari tindak lanjut konsili. Keputusan konsili menjadi hukum negara. Arius serta uskup-uskup pembangkang dipecat dan dibuang ke pedalaman. Tulisan-tulisan Arius dibakar dan siapa yang mempunyai tapi tidak menyerahkannya terancam hukuman mati.

Dalam suasana politik tersebut dan dengan tekanan dari pihak kaisar para uskup (kecuali lima) toh menghasilkan suatu penegasan dogmatis yang meringkaskan dan memadatkan dalam suatu syahadat, iman kepercayaan Kristen tradisional, khususnya mengenai Yesus Kristus.

Penegasan dogmatis itu sebenarnya syahadat iman yang di kota Kaisarea (Palestina) dipakai dalam upacara baptisan, tetapi diolah seperlunya. Bunyinya sebagai berikut:

"Terkutuklah oleh Gereja Katolik dan apostolik mereka yang berkata: Ada pernahnya Ia (yaitu Anak Allah) tidak ada, dan: sebelum dilahirkan/lahir Ia tidak ada dan dijadikan dari apa yang tidak ada atau dari zat/hakikat (ousia/hypostasis) lain (dari Allah), sambil mereka membualkan bahwa Anak Allah berubah dan dapat menjadi lain".

Semua ungkapan tersebut diangkat dari tulisan-tulisan Arius dan pendukungnya. Semua blak-blakan ditolak. Secara negatif ditegaskan bahwa Anak Allah (ialah Yesus Kristus) bukan sebuah makhluk, tidak terkurung dalam waktu (seperti makhluk-makhluk) dan tidak berubah-ubah. Secara positif hal yang sama (secara minimal) tertuang dalam penjelasan yang disisipkan ke dalam syahadat yang sudah ada dan yang berbunyi sebagai berikut (tambahan kami beri berkurung):

"Kami percaya kepada Allah yang satu, Bapa Yang mahakuasa, Pembuat segalanya, yang kelihatan dan yang tak kelihatan; dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah, tunggal lahir dari Bapa (ialah: dari zat/hakikat - ousia - Bapa, Allah dari Allah, cahaya dari cahaya, Allah benar/sejati dari Allah benar/sejati, dilahirkan, tidak dibuat, sezat/hakikat - homo-ousios - dengan Bapa),

yang oleh-Nya segalanya dijadikan, yang ada di surga dan di bumi, yang karena kita manusia dan karena keselamatan kita datang dari atas menjadi daging, menjadi manusia, menderita dan pada hari ketiga bangkit, pergi ke atas ke surga, datang mengadili orang hidup dan mati, dan kepada Roh Kudus" (DS 126.125).

Susunan syahadat itu jelas trinitaris. Itu terdiri atas tiga butir. Yang pertama mengenai Allah, Bapa; yang kedua mengenai Tuhan Yesus Kristus dan yang ketiga mengenai Roh Kudus.

Kalau dalam butir pertama Allah yang esa disebut Bapa, maka konsili, berlawanan dengan modalisme, mau menekankan bahwa Allah yang esa (entah dari Perjanjian Lama, entah dari spekulasi Yunani ala Arius) sejak kekal-abadi Bapa (ialah Bapa Anak). Itu termasuk ke dalam hakikat Allah yang esa. Ia tidak menjadi Bapa dengan menciptakan alam semesta atau dengan tampilnya Yesus Kristus. "Kebapaan" bukanlah sesuatu yang menyusul keesaan. Menurut kepercayaan sejati dan benar umat Kristen, Allah yang esa tidak menjadi Bapa, melainkan adalah Bapa, berarti: secara hakiki mempunyai suatu relasi (dengan Anak). Allah yang esa dalam hakikat-Nya - lepas dari dunia ciptaan - merupakan asas, prinsip, asal-usul sesuatu (Anak). Dan Bapa itulah Yang Mahakuasa (pantokrator), sehingga kemahakuasaan itu mempunyai ciri kebapaan. Bapa itulah pembuat segala sesuatunya. Dengan keterangan itu tata penciptaan dikaitkan dengan tata penyelamatan yang diuraikan dalam butir kedua syahadat (mulai dengan: yang karena kita ...). Tata penciptaan terarah kepada tata penyelamatan (ekonomia).

Butir ketiga syahadat, yang serba singkat, mengenai Roh Kudus. Memang selama abad III (awal abad IV) Roh Kudus belum banyak dipikirkan. Diteruskan saja apa yang tercantum dalam karangan-karangan Perjanjian Baru (dan tradisi). Kata sifat "kudus" tentu saja menunjuk ciri ilahi Roh itu. Tetapi apa, siapa Roh Kudus, bagaimana relasinya dengan Allah (Bapa) dan dengan Tuhan Yesus Kristus belum diperincikan. Sesudah konsili Nikea barulah teologi sekitar Roh Kudus mulai berkembang dan perkembangan itu agak sejalan dengan perkembangan teologi sekitar Anak Allah/Firman Allah.

Butir kedua syahadat, mengenai Tuhan kita Yesus Kristus, paling terinci. Menarik perhatian bahwa seluruhnya mengenai Tuhan Yesus Kristus, berarti manusia Yesus Kristus, sasaran iman kepercayaan Kristen. Jadi konsili berpikir secara konkret dan melihat Yesus Kristus sebagai satu yang mencakup segala apa yang dikatakan tentang-Nya. Tidak terbedakan apa yang di kemudian hari disebutkan Yesus historik dan Kristus kepercayaan. Yesus Kristus sekaligus dilihat dalam kepraadaan-Nya dan dalam eksistensi keduniaan-Nya.

Tentang Yesus Kristus itulah syahadat berkata bahwa Dia itu Anak Allah, tunggal dilahirkan/lahir dari Bapa. Jelaslah Allah yang esa disamakan dengan Bapa Yesus Kristus, yang merupakan "Tuhan," ialah penguasa, penentu, pengatur, Raja jemaah yang percaya (kita). Antara Allah yang esa dan Yesus Kristus ada relasi khusus dan unik, seperti terungkap dalam kata "tunggal" dilahirkan. Istilah "dilahirkan/lahir" hanya mau menyatakan bahwa Yesus Kristus berasal dari Allah. Kaisar Konstantinus dalam konsili Nikea menjelaskan bahwa halnya tidak boleh dipikirkan secara biologis, seolah-olah Yesus Kristus "Anak Allah" mirip dengan anak-anak dewa/dewi dalam mitologi Yunani.

Justru oleh karena relasi khusus Yesus Kristus, Anak Allah, dengan Allah (yang esa) sudah lama menjadi pokok pertikaian dan perselisihan (adoptianisme, monarkianisme) dan secara tuntas dijelaskan oleh Arius (Firman Allah adalah makhluk khusus, yang secara metafor boleh disebut Anak Allah), maka konsili Nikea lebih lanjut menjelaskan relasi itu dengan sebuah sisipan ke dalam syahadat (ialah = tout' estin).

Dalam sisipan itu "dilahirkan/lahir" diperlawankan dengan "dibuat," seperti yang dikatakan Arius. Yesus Kristus pada dasarnya bukanlah sebuah makhluk. Jelaslah konsili kini berkata tentang Yesus Kristus dalam kepraadaan-Nya. "Manusia" Yesus Kristus tentu saja "dibuat," sebuah makhluk. Relasi Anak Allah dengan Bapa diperincikan dengan setumpuk ungkapan: Allah dari Allah, cahaya dari cahaya, Allah benar/sejati dari Allah benar/sejati. Ungkapan terakhir ini berlawanan dengan ungkapan "Allah kedua," seperti sering diistilahkan sebelum konsili, khususnya oleh mazhab Aleksandria. Tumpukan ungkapan itu di satu pihak mau menempatkan Yesus Kristus di pihak Allah dan tidak di pihak ciptaan, seperti yang dibuat oleh Arius. Di lain pihak Yesus Kristus toh bukan pangkal dan prinsip terakhir. Ia berasal dari Allah yang esa, bergantung pada Bapa.

Relasi khusus itu akhirnya secara padat diungkapkan dengan istilah 'homo-ousios," sehakikat/sezat dengan Bapa. Istilah itu dimasukkan atas desakan kaisar Konstantinus dan penasihatnya Hosius. Oleh Hosius istilah itu dimengerti sebagai terjemahan istilah latin con-substantialis, yang sejak Tertullianus tradisional dalam teologi latin. Hanya sejarah selanjutnya membuktikan bahwa istilah itu serba kabur dan dipahami dengan peibagai cara. Pada masa konsili Nikea istilah "ousia" masih searti dengan istilah "hypostasis," seperti ternyata dalam tambahan pada syahadat Nikea (dari "ousia" atau "Hypostasis" lain). Adapun istilah "ousia" dapat berarti: realitas yang secara utuh lengkap mandiri. Tetapi, khususnya dalam filsafat Plato, "ousia" berarti: realitas rohani/ilahi yang berulang kali direalisasikan (secara terbatas), "kodrat" abstrak. Maka istilah "homo-ousios" dengan Bapa dapat dimengerti: ousia (keilahian) yang satu dan sama (numerik satu) terdapat pada Anak Allah (Yesus Kristus) dan pada Bapa. Tetapi tambahan "homo" (sama) sekaligus mengungkapkan bahwa Anak Allah, Yesus Kristus, toh tidak satu dan sama saja dengan Allah yang esa (Bapa), sehingga Anak Allah dengan satu dan lain cara toh mandiri (melawan modaiisme). Tetapi "homo-ousios" juga dapat dipahami sebagai "sejenis" dengan Bapa, semacam "kopi," cap, realisasi kedua dari keilahian yang terealisasikan dalam Allah Bapa, Yang Mahaesa. Dan rupanya kebanyakan bapak konsili Nikea mengertinya secara demikian: Anak Allah, Yesus Kristus, sejenis dengan Allah (Bapa). Anak Allah merupakan tera, gambar, ekspresi utuh lengkap dari Allah. Dan itu dapat berarti bahwa relasi Anak Allah (Yesus Kristus) dengan Allah dipikirkan secara subordinasionis, seperti sesuai dengan mazhab Aleksandria (Klemens, Origenes Aleksander).

Meskipun konsili Nikea belum berhasil secara konsepsual menjernihkan relasi Yesus Kristus dalam kepraadaan-Nya dengan Allah, namun tanpa ambivalensi apa pun konsili menempatkan Yesus Kristus di pihak Allah yang keesaan-Nya dalam butir pertama syahadat dipertahankan. Tidak ada dua Allah. Dan Yesus Kristus, bagaimanapun juga, ada di pihak Allah, bukan di pihak ciptaan saja, entah kelihatan entah tak kelihatan. Dan Yesus Kristus itulah yang berperan (oleh-Nya) dalam penciptaan segala sesuatu dan Ia tidak termasuk ke dalamnya.

Kemudian tentang Tuhan Kita Yesus Kristus, seperti dirincikan dalam sisipan tersebut oleh syahadat dikatakan bahwa "datang dari atas" (turun), menjadi daging, manusia, dan menempuh sengsara (sampai mati), lalu bangkit dan pergi (naik) ke surga (Allah) dan menjadi hakim orang hidup dan mati. Itulah kristologi = soteriologi tradisional yang jelas terinspirasi oleh kristologi Yohanes.

Kalau pun sisipan, yang ditambahkan oleh konsili Nikea pada syahadat tradisional, terpengaruh oleh alam pikiran Yunani yang statik-abstrak namun ciri historik dan dinamik terus dipertahankan justru melalui syahadat tradisional itu. Eksistensi keduniaan Yesus Kristus dan makna penyelamatannya {untuk kita manusia, demi untuk penyelamatan kita) tidak seluruhnya hilang darinya. Dengan cara demikian dinyatakan bahwa relasi Yesus Kristus dengan Allah, seperti dirincikan dalam sisipan itu, menjadi mendasar bagi keselamatan, mempunyai ciri soteriologis. Maka sisipan itu bukanlah suatu spekulasi Yunani terlepas, yang hanya ingin tahu duduknya perkara. Konsili Nikea bukan sebuah kongres para teolog, melainkan sidang gembala umat yang merasa diri bertanggung jawab atas identitas iman kepercayaan Kristen demi keselamatan kita, manusia.

Syahadat konsili Nikea oleh kaisar Konstatinus dimaksudkan sebagai "asas tunggal." Semua hadirin mesti menandatanganinya. Yang membangkang dibuang. Tetapi kaisar yang bukan teolog kurang mengerti bahwa kata kunci "homo-ousios" (sehakikat/sezat) agak dwiarti. Jelaslah Yesus Kristus ada di pihak Allah. Tetapi bagaimana halnya mesti dipikirkan dan secara konsepsual dijelaskan belum juga jernih. Itulah sebabnya mengapa konsili Nikea tidak mengakhiri pertikaian. Sebaliknya, pertikaian semakin berkobar dan berlangsung sampai konsili Konstantinopel(th. 381).

Sebagian besar pertikaian itu disebabkan salah paham, justru sekitar kata "homo-ousios." Terdukung oleh bagian barat Gereja (yang mengerti istilah "homo-ousios" sebagai searti dengan ungkapan Latin "unius substantiae") ada pemikir Kristen (timur) yang memahami "ousia" sebagai "kodrat" dan sebagai searti dengan "hypostasis." Maka pada Anak dan Bapa ada satu "ousia," kodrat yang secara numerik satu dan juga hanya ada satu hypostasis. Tetapi lain-lain pemikir mengerti "ousia" (zat, hakikat) sebagai "kodrat abstrak" (real) yang terwujud baik dalam Bapa maupun dalam Anak. Maka pihak yang satu (mazhab Aleksandria) menuduh pihak yang lain, bahwa memperbanyak Allah menjadi dua, Tetapi tuduhan itu oleh pihak yang lain dibalas dengan berkata bahwa mazhab Aleksandria (dan barat) tidak menerima adanya perbedaan antara Bapa dan Anak, sehingga Anak hanya rupa lain dari Bapa, jadi monarkianisme Sabellius versi baru. Mazhab Aleksandria dan barat menekankan bahwa Allah hanya satu dan esa, sedangkan timur menekankan bahwa ada dua, Bapa dan Anak, atau tiga (Bapa, Anak, Roh). Mazhab Aleksandria dan barat sukar secara konsepsual menjelaskan bagaimana Yang satu itu adalah Dua (Tiga). Timur susah menjernihkan bagaimana Dua (Tiga) adalah Satu. Maka mazhab Aleksandria dan barat mati-matian mempertahakan "homo-ousios" sebagai tolok ukur orthodoksia. Tetapi timur mati-matian menolak "homo-ousios" sebagai haeresis Sabellius.

Dan daya tarik pikiran Arius masih ada juga. Untuk sementara waktu - selama kaisar Konstantinus hidup - para penganut Arius disumbat mulutnya, tetapi tidak mati. Slogan mereka ialah: Yesus Kristus, Firman Allah "an-homoios" (tidaklah sama bagaimanapun juga) dengan Allah (Bapa). Ada juga yang dengan jalan samping mau memenangkan kristologi Arius. Karena itu mereka tidak berkata bahwa Yesus Kristus "an-homoios" dengan Allah/Bapa. Yesus Kristus hanya "homoios" (serupa) dengan Allah/Bapa. Itu tidak dijelaskan lebih lanjut dan istilah itu tanpa keberatan dapat diterima oleh para penganut Arius.

Akhirnya ada juga yang mencari jalan tengah dan ingin memperdamaikan pendekatan-pendekatan yang berbeda-beda. Aliran moderat itu menolak "Homo Ousios" yang ditetapkan konsili Nikea, sebab dalam pertikaian hanya menyebabkan salah paham. Mereka mengusulkan istilah: Anak "homoi-ousios" dengan Bapa, serupa, mirip "kodrat" ataupun "homoios katapanta" (serupa, mirip dalam segala-galanya).

Pokoknya habis konsili Nikea suasana serba kacau. Seolah-olah semua (uskup) melawan semua. Bisa dipahami bahwa keadaan itu menjengkelkan pemerintah (kaisar). Dan sikap kaisarlah yang menentukan partai mana di atas angin. Selama Konstantinus hidup (± th. 337) syahadat Nikea secara formal diterima (homo-ousios), menjadi keramat dan tak tersentuh. Tetapi uskup Eusebius dari Nikomedia, teman sehaluan dengan Arius, besar pengaruhnya pada kaisar dan menjadi penasihatnya. Demikian pun Eusebius, uskup Kaisarea (± th. 339), yang tidak menyetujui kata kunci Nikea "homo-ousios" seperti diartikan mazhab Aleksandria dan Barat, melalui liku-liku politik membungkamkan pembela-pembela gigih kata "homo-ousios," antara lain Athanasius, Marcellus, uskup Ancyra, Eusthatius, uskup Antiokhia.

Setelah Konstantinus mangkat Konstantius menjadi kaisar di kawasan timur (th. 337-350) dan Konstans di kawasan barat (th. 337-350). Kaisar Konstantius mendukung para penganut Arius yang murni. Dalam tiga sinode (uskup) pengikut-pengikut Arius menyusun syahadat-syahadat yang nampaknya "netral" dengan menghilangkan baik kata "homo-ousios" maupun "homoios." Begitu jalan terbuka bagi pengikut-pengikut Arius. Tetapi kaisar Konstans di barat mendukung pembela Nikea (homo-ousios), seperti dipahami di barat. Akibatnya: kawasan barat pun secara mendalam menjadi terlibat dalam pertikaian itu.

Pada masa Konstantius menjadi kaisar tunggal (th. 350-361) para pengikut Arius di atas angin sama sekali. Pembela-pembela Nikea dibungkamkan. Melalui sinode (uskup) III di Sirmium (th. 357), di Nikea (th. 357) dan Konstantinopolis (th. 360) para pengikut Arius memaksakan syahadat mereka yang secara tegas mengatakan bahwa Yesus Kristus tidaklah sama (an-homoios) dengan Bapa. Kemenangan itu juga menyangkut kawasan barat (sinode uskup di Aries dan Milano). Kemenangan itu mengejutkan mereka yang mempertahankan bahwa Yesus Kristus benar-benar ilahi, tetapi berkeberatan terhadap istilah "homo-ousios" konsili Nikea. Dipimpin oleh Basilius, uskup Ancyra, mereka berkumpul dengan semboyan: "homoi-ousios' (atau: homoios kata panta) yang maksudnya sama dengan "homo-ousios".

Setelah kaisar Konstantius meninggal dan Julianus, yang murtad dan berusaha menghidupkan kembali kekafiran Roma kuno, memerintah (th. 361-363), para pengikut Arius langkah demi langkah mundur. Terdukung oleh kaisar Gratianus (± th. 364) dan Theodosius I (± th. 395) para pembela Nikea secara definitif mengalahkan Arianisme pada konsili Konstantinopelis I (th. 381). Secara definitif istilah Nikea "homo-ousios" menurut tafsiran jelas umum diterima. "Ousia" (kodrat, keilahian) Bapa dan Anak (dan Roh Kudus) satu dan sama (numerik) dan ada dua (tiga) hypostasis atau prosopon (diri, persona).

Oleh karena agak sukar melihat bagaimana duduknya perkara dalam pertikaian yang menyusul konsili Nikea, maka cukuplah kiranya dibahas sedikit pendekatan mendasar dan tokoh-tokoh paling penting dari aliran masing-masing.

Sebagai wakil Arianisme versi baru boleh disebutkan Aetius, uskup Antiokhia (± th. 366), dan Eumomius, uskup Cyzikus (± th. 399). Mereka nyatanya rasionalis dan terpengaruh oleh filsafat Arestoteles dan logikanya. Menurutnya ciri hakiki Allah ialah: tidak dilahirkan, tanpa prinsip. Oleh karena Anak Allah, Yesus Kristus, menurut tradisi dilahirkan/lahir dari Allah Bapa, maka Anak itu bukan Allah melainkan makhluk, tidak sezat/sehakikat dengan Allah Bapa dan tidak serupa. Ia berasal dari zat/hakikat lain. Allah tentu saja dapat memberikan kekuatan, daya kerja-Nya kepada makhluk. Dengan arti demikian Anak Allah (Yesus Kristus) patut disebut Allah. Dan daya kekuatan Allah itu pada Yesus mengganti jiwa (nous, akal, logos) manusiawi-Nya. Maka Aetius dan Eunomius menganut semacam adoptianisme, tetapi menyangkal baik keilahian maupun kemanusiaan Yesus Kristus.

Seorang wakil tegas aliran tengah, yang menolak baik istilah "homo-ousios" konsili Nikea, maupun ajaran pengikut Arius ialah Basilius, uskup Ancyra (± th. 364). Ia pun menjadi sebuah contoh salah paham sekitar istilah yang dipakai. Atas nama sejumlah uskup (dan orang) yang sehaluan Basilius menyusun sebuah keterangan resmi tentang pendirian mereka, ialah "Paenerios" (Kotak Obat). Melawan Arius ditegaskan bahwa Anak Allah bukan makhluk. Anak pun bukan daya kekuatan Allah. Sebaliknya Anak itu suatu zat (ousia) seperti Bapa. "Ousia" berarti: mandiri, pribadi. Ia benar-benar Anak Allah, seperti tidak ada satu makhluk pun. Oleh karena Anak suatu zat (ousia) lain dari zat (ousia) Bapa, maka orang tidak boleh berkata "sezat/sehakikat" (homo-ousios) dengan Bapa atau sama hakikat (ton autou ousiou) dengan Bapa. Juga Cyrillus, uskup Yerusalem (± th. 386) tidak menerima istilah "homo-ousios" yang tercantum dalam syahadat Nikea. Ia merasa bahwa di dalamnya tersembunyi monarkianisme ala Sabellius. Namun apa yang menurut pengartian pembela istilah itu dimaksudkan sama dengan pendirian Cyrillus sendiri. Itu terbukti oleh keterangan Cyrillus ini (Catech 4,7): "Percayalah pula kepada Anak Allah, satu-satunya dan tunggal, Allah yang lahir dari Allah, hidup yang lahir dari hidup, cahaya yang lahir dari cahaya, dalam segala-galanya serupa (homoios kata panta) dengan yang melahirkan. Ia tidak mendapat adanya dalam waktu, tetapi sebelum segala abad, kekal, dengan cara yang tak terkatakan dilahirkan dari Bapa. Hikmat Allah dan kekuatan dan kebenaran (dikaiosyne) yang mandiri (hypostaton), yang sebelum segala abad duduk di sebelah kanan Bapa."

Di antara mereka yang membela syahadat Nikea ada yang memberi makan kepada rasa curiga pada lawan Nikea. Boleh disebutkan Marcellus, uskup Ancyra (± th. 374). Pikiran dan maksudnya barangkali baik, tetapi caranya ia mengutarakan pikirannya (dalam karyanya: Melawan Asterius) memang menjurus ke monarkhianisme. Menurutnya Allah secara mutlak satu (monas) dan tidak terbagi-bagi, sebab hanya satu diri (prosopon, rupanya searti dengan ousia). Sebelum segala abad Firman ada dalam Allah sebagai "akal-Nya," tetapi tidak berbeda dengan Allah. Firman itu bukan suatu zat (ousia) atau diri (hypostasis, searti dengan ousia dan prosopon). Maka Firman itu tidak pra-existen dan tidak dilahirkan. Hanya waktu menjadi manusia Ia boleh disebutkan Anak Allah. Firman yang di dalam Allah dan satu dengan Allah, sebagai kekuasaan (dynamis) keluar - menggembung - sebagai daya kekuatan (energeia) Allah demi untuk penciptaan dan penyataan. Sebab segala apa yang dikerjakan Allah diberi-Nya adanya dengan Firman-Nya. Dan Firman berbeda dengan Bapa justru sebagai penyataan dan pekerjaan Bapa. Pada akhir zaman diserap kembali oleh Bapa, Allah yang satu. Begitulah Firman berbeda dengan Bapa yang berfirman. Pokoknya pikiran Marcellus kabur. Tidak jelas kalau-kalau Firman/Anak berbeda atau sama dengan Allah Bapa. Tetapi justru pikiran kabur Marcellus yang hadir pada konsili Nikea, membuktikan bahwa keterangan Nikea mengenai Anak yang sehakikat dengan Bapa kabur pula.

Jago Konsili Nikea (homo-ousios) ialah Athanasius, uskup/batrik Aleksandria (± th. 373). Dalam perjuangannya melawan Arianisme dalam segala variannya Athanasius hampir saja seorang diri, baik berhadapan dengan teman-teman uskup maupun dengan kuasa politik (kaisar). Arianisme oleh Athanasius dengan tepat dinilai sebagai kematian iman kepercayaan Kristen sendiri. Berulang kali ia dipecat, dibuang atau melarikan diri (4 x). Perjuangan Athanasius membuktikan baik daya tahannya maupun kekuatan keyakinannya. Akhirnya pendirian Athanasius menjadi pemenang dan ajaran Gereja Kristus sampai dengan hari ini. Apa yang dibela dan dipertahankannya ialah: Yesus Kristus sungguh ilahi. Athanasius senang dengan istilah "homo-ousios" oleh karena dirasakannya paling cocok. Tetapi ia tersedia melepaskan istilah, asal Yesus Kristus tetap sungguh-sungguh ilahi. Athanasius mengerti bahwa semua istilah sangat relatif dan tidak dapat mengungkapkan seluruh realitas yang diimani. Athanasius menuangkan pikirannya dalam sejumlah karangan dan karya yang penting. Kecuali sejumlah surat edaran boleh disebutkan: "Orationes contra Arianos" dan "De Incarnatione et contra Arianos" serta "Epistola de decretis Nicaenae Syonodis" (tentunya semua dalam bahasa Yunani).

Sejak awal Athanasius terlibat dalam pertikaian yang tercetus oleh pikiran Arius. Sebagai Diakon Athanasius menemani uskupnya, Aleksander, pada konsili Nikea. Sejak menjadi uskup/batrik Aleksandria (th. 328) Athanasius memimpin perlawanan terhadap ajaran Arius, yang semakin tersebar luas, juga di kalangan para uskup. Dalam perjuangan itu pemikiran Athanasius sekitar Yesus Kristus, khususnya mengenai relasi-Nya dalam kepraadaan-Nya sebagai Anak/Firman dengan Allah menjadi matang.

Kristologi Athanasius dari segi relasi Anak Allah dengan Allah Bapa sepenuhnya terungkap dalam karya "Orationes contra Arianos" 3,4. Bunyinya sebagai berikut: "Mereka (ialah Anak dan Bapa) adalah satu. Tetapi bukanlah seolah-olah yang satu terbagi-bagi menjadi dua bagian. Mereka hanyalah satu. Bukanlah seolah-olah yang sama kadang-kadang dua kali dinamakan, sehingga yang sama kadang-kadang dinamakan Bapa dan kadang-kadang dinamakan Anak-Nya. Oleh karena Sabellius berpendapat demikian, maka ia dihukum. Memanglah mereka (Bapa dan Anak) adalah dua. Sebab Bapa adalah Bapa dan Dia itu bukanlah Anak. Dan Anak adalah Anak dan Dia itu bukanlah Bapa. Tetapi hanya ada satu kodrat (physis). Sebab bukan tidak serupalah (an-homoios) yang dilahirkan dari yang melahirkan. Sebab Ia adalah Gambar-Nya dan segalanya yang ada pada Bapa ada juga pada Anak. Maka Anak itu bukanlah lain, sebab tidak di luar dipikirkan. Kalau demikian, maka ada banyak (Allah), yaitu kalau di samping Bapa masih dipikirkan keilahian lain. Meskipun Anak adalah lain sebagai yang dilahirkan, namun sebagai Allah Ia adalah sama. Maka Dia dan Bapa adalah satu dengan ciri-corak dan sifat kodrat itu dan pun pula dengan keidentikan keilahian yang satu".

Persatuan Bapa dan Anak yang saling meresapi sudah dijelaskan (Contra Arianos 3,3) sebagai berikut: "Sebab Anak adalah di dalam Bapa, sejauh dapat dipahami, oleh karena apa saja yang menjadi milik Anak merupakan milik khusus kodrat (ousia) Bapa, sama seperti dari cahaya keluarlah pantulannya dan dari sumber keluarlah sungai. Maka barang siapa melihat Anak melihat apa yang (menjadi milik) khusus Bapa dan ia pun mengerti bahwa adanya Anak (berasal) dari Bapa, sehingga Ia satu dengan Bapa. Tetapi Bapa pun berada dalam Anak, sebab Anak adalah apa yang khusus dari Bapa, seperti matahari berada dalam semaraknya dan akal (logos) dalam kata dan sumber dalam sungai. Maka siapa yang memandang Anak memandang apa yang khusus pada kodrat (ousia) Bapa. Dan ia pun mengerti bahwa Bapa berada dalam Anak, Oleh karena apa yang adalah rupa dan keilahian Bapa dan justru itulah adanya Anak, maka akibatnya ialah: Anak ada dalam Bapa dan Bapa dalam Anak ... Itu (Yoh 10:30) menunjuk keidentikan keilahian dan kesatuan kodrat (ousia)".

Ada tiga hal yang hendak dijelaskan Athanasius, yaitu: Bapa dan Anak tidaklah sama saja, ada perbedaan, namun keduanya saling meresapi. Secara teknik itu diistilahkan sebagai "peri-khoresis" (circumincessio, cercum-insessio). Dan dasarnya ialah kesatuan/keidentikan kodrat (ousia, physis) ialah keilahian (theotétés). Athanasius menekankan kesatuan dan keidentikan itu justru oleh karena terhadap Arius membela bahwa Anak (Yesus Kristus) sungguh-sungguh dan sepenuh-penuhnya ilahi. Allah (ialah keilahian) tidak dapat dibagi-bagikan, dipotong-potong, sebab esa dan tunggal. Maka orang mesti memilih: Keilahian ada pada Anak atau tidak ada pada Anak. Athanasius memilih yang pertama. Anak Allah benar-benar Allah (ilahi).

Teman seperjuangan Athanasius, senasib dan sehaluan ialah Hilarius, uskup Poitiers di Prancis (± th. 367). Di kawasan barat Hilarius membela ajaran konsili Nikea seperti diartikan oleh Athanasius melawan para penganut ajaran Arius yang juga di barat di atas angin (Saturninus, uskup Aries, Auxentius, uskup Milano) dan didukung oleh kaisar. Selama beberapa tahun dalam pembuangan di kawasan timur Hilarius menulis karya utamanya "De Trinitate" (pakai bahasa Latin). Pikirannya pada dasarnya sama dengan pikiran Athanasius.

Pertimbangan yang menjiwai seluruh pendirian Athanasius (dan Hilarius) ialah soteriologi. Dalam pertikaian sekitar Arius orang sedikit banyak melupakan mana pertaruhannya. Pertaruhan itu bukanlah Anak Allah/Firman Allah yang pra-existen, melainkan Yesus Kristus, Juru Selamat manusia. Dan menurut Athanasius (dan yang sehaluan) Yesus Kristus bukan juru Selamat manusia, jika Ia hanya makhluk, entah betapa luhurnya, dan bukan Allah sendiri. Hanya Allahlah yang dapat menggabungkan Allah dengan manusia. Seperti ditegaskan Athanasius (Contra Arianos 2,60) dan sering dengan pelbagai variasi diulanginya "Jikalau Anak adalah makhluk, manusia tetap teruntuk bagi maut (thétos, mortalis). Sebab apa yang merupakan ciptaan tidak dapat menggabungkan ciptaan-ciptaan lain dengan Allah, sebab ciptaan itu sendiri masih mencari apa yang menggabungkan".

Dengan demikian Athanasius kembali menempatkan seluruh debat pada jalur tepat. Seluruh kesulitan yang meruncing dalam pikiran Arius berasal dari yang berikut ini. Sudah lama (Yustinus) Yesus Kristus sebagai Firman Allah dalam kepraadaan-Nya disamakan dengan firman (logos) yang berperan dalam kosmologi Yunani. Allah yang transenden tidak dapat langsung berhubungan dengan dunia ciptaan. Mesti ada penengah yang berdiri antara keduanya itu. Dan penengah itu ialah firman/logos. Lama sekali pemikir-pemikir Kristen berpegang pada tradisi yang menempatkan Yesus Kristus di pihak Allah. Tetapi relasi dengan Allah dipikirkan secara subordinasionis. Yesus Kristus, Firman Allah dan Anak Allah adalah Allah kedua, tidak sama dengan Allah pertama (Bapa). Arius akhirnya menarik kesimpulan: Kalau Anak/Firman Allah tidaklah sama dengari Allah, Ia mesti ciptaan.

Athanasius mendobrak skema kosmologik itu. Allah tidak membutuhkan penengah macam itu (Contra Arianos 2,24.25). Kalau nyatanya Firman turut menciptakan segala sesuatu, maka sebabnya ialah: Penciptaan Allah dan penciptaan Firman satu dan sama, identik sama sekali. Hanya ada satu tindakan saja. Tindakan Allah dan tindakan Firman satu dan sama. Itu hanya suatu transposi dinamik dari kesatuan statik, kesatuan "kodrat," seperti yang ditekankan Athanasius. Pemikiran Athanasius tidak dipasang dalam kerangka kosmologi Yunani. Logos/Firman baginya bukan penengah dalam menciptakan, melainkan Anak Allah, Juru Selamat manusia.

Maka apa yang menentukan kristologi Athanasius ialah soteriologi. Menurut Athanasius manusia, sebagai ciptaan Allah, secara wajar mesti mati. Keadaan awal manusia oleh Athanasius dibayangkan secara Yunani sebagai berikut: Manusia awal oleh Allah dikurniai dengan gambar Firman Allah (pencipta) yang sendiri gambar Allah. Menurut Athanasius hanya "jiwa" manusia gambar Firman. Dengan demikian manusia menjadi peserta dalam Firman Allah. Dan itulah yang membuat manusia (awal) menjadi baka (tidak mati) dan bebas dari pembusukan wajar. Selebihnya manusia (melalui Firman) dapat mengenal Allah. Untuk mempertahankan di dalam dirinya gambar dan penyerupaan Allah, manusia mesti terus-menerus memandang Firman Allah itu. Tetapi dosa manusia (awal) justru: berbalik dari Firman kepada makhluk. Akibatnya ialah: manusia kehilangan gambar dan penyerupaan Allah, kehilangan kebakaan dan ketidakbusukan. Ia jatuh kembali ke dalam keadaan wajar: ia mesti mati. Dan keadaan itu semakin parah. Dalam "De Incarnatione, 5" Athanasius menulis sebagai berikut: "Allah tidak hanya menciptakan kita dari ketidakadaan, tetapi juga memberi kita hidup menurut Allah berkat kasih karunia Firman. Tetapi manusia berbalik dari yang abadi dan memalingkan diri kepada hal-hal yang kena pembusukan atas bujukan Iblis. Dan dengan demikian manusia menjadi penyebab pembusukan dalam kematian. Seperti telah kukatakan: secara wajar mereka mesti mati, tetapi berkat kasih karunia mereka menjadi peserta dalam Firman dan pasti terluput dari keadaan wajar, seandainya mereka tetap baik. Sebab oleh karena Firman yang berada bersama mereka, pembusukan wajar tidak mendekati mereka".

Dalam pandangannya itu Athanasius mengandaikan adanya solidaritas, kesetiakawanan antara manusia awal dan segenap keturunannya. Itu sudah dikemukakan Paulus dan dimanfaatkan Ireneus. Semua manusia terlibat dalam nasib manusia awal. Athanasius tidak sampai menjelaskan bagaimananya. Ia (Contra Arianos 1,15) hanya mengatakan bahwa pelanggaran Adam beralih kepada semua manusia. Apa yang beralih ialah: akibat pelanggaran itu, bukan salahnya sendiri. Meskipun Athanasius tidak berpendapat bahwa dosa manusia pertama beralih kepada keturunannya, namun keturunan itu jelas terlibat dalam akibatnya, ialah: kehilangan kasih karunia, gambaran Allah, kebakaan dan ketidakbusukan, dihalaukannya dari "firdaus" (bandingkan dengan De Incarnatione 14; Contra Gentes 34).

Adapun Firman Allah, Anak Allah, menjadi manusia untuk memulihkan dan malah meningkatkan keadaan semula. Athanasius mengangkat kembali gagasan Ireneus tentang "pertukaran ajaib" antara umat manusia dan Firman/Allah. Athanasius menegaskan prinsip dasar seluruh soteriologinya sebagai berikut: "Dia itu menjadi manusia, supaya kita dijadikan Allah. Dia itu mempertunjukkan diri-Nya, keilahian-Nya, melalui badan, supaya kita mendapat pengetahuan tentang Bapa yang tak kelihatan. Dia itu menanggung penghinaan yang didatangkan manusia, supaya kita menjadi ahli waris kebakaan (athanasia) (De Incarnatione 54).

Jelaslah betapa paham keselamatan pada Athanasius terpengaruh oleh apa yang dicita-citakan orang Yunani. Keselamatan pada intinya ialah "pengetahuan" mistik, kontemplasi tentang Allah dan menjadi peserta dalam kebakaan ilahi. Dan dua-duanya tercapai melalui penggabungan manusia dengan Allah, suatu "pengilahian manusia." Gagasan Ireneus tentang "recapitulatio" kurang dimanfaatkan Athanasius. Pendekatan dinamik-historik Ireneus pada Athanasius menjadi statis.

Keadaan semula hanya dapat dipulihkan dan dimantapkan oleh Allah saja, seperti semula dikurniakan oleh Allah. Tetapi jika keadaan semula hanya dipulihkan, maka dapat hilang lagi. Sebab hanya secara lahiriah manusia digabungkan dengan Allah. Untuk memulihkan keadaan semula secara definitif perlulah Allah menjadi manusia, secara definitif bergabung dengan manusia. Maka manusia secara mantap menjadi baka dan bebas dari pembusukan (Contra Arianos 2,68.69).

Maka Yesus Kristus yang oleh tradisi Kristen diakui sebagai Anak Allah dan Juru Selamat haruslah Allah, Firman Allah, yang sehakikat (numerik) dengan Bapa, menjadi manusia. Athanasius meletakkan tekanan pada inkarnasi sendiri, penggabungan Firman Allah dengan manusia konkret, Yesus, orang Nazareth dan begitu dengan umat manusia. Itulah yang secara definitif meletakkan dasar untuk keselamatan manusia. Tentu saja Athanasius mengulang tradisi yang berkata bahwa Yesus Kristus mati untuk dosa manusia. Kematian Yesus oleh Athanasius diartikan sebagai berikut: Yesus menawarkan tubuh-Nya kepada maut untuk manusia yang telah dihukum mati. Dengan kematian Yesus Kristus hukuman itu sudah dilaksanakan untuk semua. Tetapi pada intinya karya penyelamatan terletak dalam inkarnasi sendiri. "Sebab setelah Firman mengenakan daging ... pagutan ular seluruhnya dicabut oleh-Nya dan apa yang buruk yang tumbuh dari gerakan-gerakan daging dibabat seluruhnya" (Contra Arianes 2,69).

Sesuai dengan tradisi yang diperuncing oleh Ireneus, Athanasius memperlawankan Yesus Kristus, Adam baru, dengan Adam lama. Adam baru itu membalikkan situasi yang disebabkan Adam yang lama bagi semua manusia. Athanasius merumuskan sebagai berikut: "Oleh karena Adam pertama berubah dan sebagai akibat dosa maut masuk ke dunia, maka seharusnya Adam yang baru tidak dapat berubah, supaya ... penipuan (Ular) menjadi gagal. Oleh karena Tuhan sama sekali tidak dapat berubah, maka semua usaha terhadap siapa pun tidak berdaya sama sekali... Setelah Tuhan menjadi manusia ular dikalahkan-Nya dan kekuatan itu tetap tinggal pada semua orang ... Maka selayaknyalah Tuhan yang kekal dan menurut kodrat tidak dapat berubah ..., yang ada dan tetap tinggal sama ... mengambil daging dan dalam daging itu menjatuhkan hukuman atas dosa dan membebaskan daging itu (Contra Arianos 1,51).

Dalam kutipan tersebut pikiran Athanasius tentang inkarnasi tampil. Ia menekankan bahwa Tuhan (Firman Allah, Anak Allah) tidak dapat berubah (bandingkan dengan Epist.de Decretis 11), seolah-olah inkarnasi tidak menyentuh Firman sendiri. Ia hanya "mengambil daging." Dan Athanasius, yang tidak segan memakai kata kerja: menjadi manusia, biasanya berkata tentang "daging." Anak Allah menjadi daging atau badan. "Badan" itu disebut (De Incarnatione 9) Bait Firman Allah dan "alat," sarana Firman itu, alat badaniah-Nya. Firman itu "berdiam" dalam badan.

Keterangan-keterangan macam itu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana Athanasius memikirkan relasi Firman Allah, yang sungguh-sungguh Allah, sehakikat dengan Bapa dan pra-existen, dengan manusia Yesus Kristus? Apakah Athanasius menganut "logos-sarks" kristologi, seperti di Aleksandria memang terbiasa?

Mesti diakui bahwa pikiran Athanasius tidak serba jelas. Mati-matian ia mempertahankan bahwa Yesus Kristus satu dan sama, hanya satu tokoh, bukan dua. Dan subjek dan dua rangkaian ciri dan tindakan (ilahi-manusiawi) hanya satu (Contra Arianos 3,5). Tetapi kurang jelas bagaimana Athanasius memikirkan kesatuan Yesus Kristus itu. Ia menganut antropologi Yunani, khususnya Stoa. Menurut antropologi itu manusia terdiri atas dua (tiga) unsur: Badan dan jiwa (atau: jiwa dan akal, nous, logos). Akal/logos itu merupakan penyertaan dalam akal/logos ilahi yang meresap ke dalam seluruh jagat raya. Soalnya ialah: Apakah Athanasius memikirkan halnya sedemikian rupa, sehingga pada Yesus Kristus, yang menurut badan termasuk jagat raya, akal (logos, nous) diganti dengan Firman (Logos) ilahi sendiri? Pendekatan macam itu memang sesuai dengan antropologi Yunani. Tetapi tidak jelas kalau-kalau Athanasius sendiri mengambil kesimpulan itu.

Hanyalah pendirian Apollinaris, uskup Laodikea (± th. 390), semakin jelas. Apollinaris itu teman seperjuangan Athanasius dan sahabat pribadi. Bersama dengan Athanasius ia melawan para pengikut Arius dan ia sehaluan dengan pikiran Athanasius. Hendak menjelaskan bagaimana Yesus Kristus hanya satu tokoh dan bukan dua yang hanya bergabung, Apollinaris melihat Yesus Kristus sebagai terdiri atas dua unsur (mirip dengan manusia). Kedua unsur itu ialah: badan/daging Yesus Kristus (yang berjiwa) dan Firman Allah yang mengganti akal (nous) manusiawi Yesus. Argumentasinya begini: Dua benda utuh lengkap (manusia mandiri dan Firman Allah) tidak dapat benar-benar menjadi satu. Kecuali itu, jika pada Yesus terdapat akal (nous) manusiawi, maka Ia dapat berdosa, sebab akal melandaskan kebebasan. Dan dengan demikian keselamatan manusia tidak aman dan terjamin, Dalam peristilahan Apollinaris "diri" (yang mandiri) dan "kodrat" (ousia/physis) sama artinya. Maka Yesus Kristus hanya ada satu "kodrat" (physis), berarti, menurut Apollinaris, hanya satu "diri" (subsistens). Apollinaris termasuk mazhab Antokhia yang umumnya - menurut filsafat Arestoteles - mengerti "ousia" dan "physis" (seperti hypostasis) sebagai "apa yang mandiri." Perbedaan yang dibuat Athanasius antara "ousio" dan "hypostasis" ternyata belum biasa dan lazim. Maka, guna mempertahankan kesatuan Yesus Kristus, Apollinaris mengertinya sedemikian rupa, sehingga Yesus Kristus - mirip dengan manusia yang terdiri atas badan dan jiwa - terdiri atas badan dan Firman ilahi. Begitu toh hanya ada satu "kodrat" (miaphysis) dan satu "diri" (miaprosopon). Dan Firman ilahilah yang menjadi penggerak, subjek, segala sesuatu pada Yesus Kristus.

Bersama dengan Athanasius, Apollinaris secara konsepsual menjernihkan relasi Anak Allah dalam kepraadaan-Nya dengan Allah-Bapa. Secara numerik Ia sehakikat dengan Allah (Bapa). Tetapi dalam menjelaskan relasi Anak Allah dengan Yesus, orang Nazareth, keutuhan manusia Yesus dikorbankan demi untuk kesatuan subjek.

Pendekatan Apollinaris tersebut oleh sebuah sinode uskup di Aleksandria (th, 362) ditolak sebagai penyelewengan dari iman kepercayaan Kristen. Dan pendapat yang selanjutnya umum ialah: Pada Yesus ada manusia yang lengkap dan utuh (Gregorius dari Nazianzene, Gregorius dari Nissa, Didymus dari Aleksandria dll.). Namun demikian Apollinaris menyentuh suatu masalah yang sudah lama bersembunyi dan perlu dijernihkan. Yaitu: Bagaimana relasi antara manusia Yesus dan Anak Allah yang sehakikat dengan Bapa? Soal memeruncing dalam masalah: Bagaimana kesatuan Yesus Kristus yang diakui sebagai Allah dan manusia Yesus mesti dikonsepsualkan? Sekitar masalah itulah tercetus pertikaian teologis/kristologis baru. Dalam pertikaian itu langsung berhadapan satu sama lain mazhab Aleksandria dan mazhab Antiokhia. Bentrokan itu masih dipersengit oleh saingan antara Aleksandria (kebatrikan) dan Konstantinopolis.

Bentrokan meledak sekitar Nestorius, batrik Konstantinopolis (± th. 441). Dan lawannya yang tanpa kasihan ialah Cyrillus, batrik Aleksandria (± th. 444). Bentrokan itu sudah lama dipersiapkan. Eusthatius, uskup Antiokhia (± th. 340), pendukung konsili Nikea, tidak hanya melawan Arius oleh karena ia menganggap Firman suatu ciptaan, tetapi juga oleh karena menurut Arius Firman (ciptaan) itu pada Yesus mengganti akal (nous) manusiawinya. Dalam hal terakhir ini Arius sebenarnya sehaluan dengan mazhab Aleksandria (Malkhion, Athanasius, Apollinaris). Eusthatius justru menekankan bahwa Firman menjadi manusia seutuhnya, termasuk jiwa/akal. Dengan cara demikian Eusthatius dapat menampung keterangan-keterangan Kitab Suci mengenai hal-hal manusiawi Yesus Kristus (tidak tahu, gelisah, takut, sedih dan sebagainya), yang dalam mazhab Aleksandria menjadi kesulitan sehubungan dengan keilahian Yesus Kristus. Eusthatius tegas membedakan dalam Yesus Kristus dua "kodrat" (physis/ousia) dan dalam pemahaman Eusthatius dua-duanya lengkap utuh dan mandiri. Sesuai dengan tradisi Eusthatius mempertahankan bahwa Yesus Kristus adalah satu. Tetapi ia kurang berhasil menjernihkan duduknya perkara: bagaimana dua "kodrat" mandiri menjadi satu?

Masalahnya lebih lanjut dipikirkan oleh Diodorus, uskup Tarsus (± th. 394) dan Theodorus, uskup Mopsuestia (± th. 428). Pikiran kedua tokoh itu menjadi sasaran begitu banyak kritik, kutukan dan fitnahan dari pihak mazhab Aleksandria, sehingga karya-karya mereka sendiri hilang dan isinya hanya diketahui melalui kutipan-kutipan para lawan dan musuh mereka. Rupanya mereka meneruskan jalur yang mulai ditempuh Eusthatius tersebut. Dua-duanya melawan pendapat Apollinaris dan mempertahankan keutuhan manusia Yesus. Pada-Nya ada dua kodrat (physis, ousia, hypostasis) utuh lengkap. Kedua itu tentunya bergabung, tetapi tidak bercampur, seperti lazimnya dikatakan oleh mazhab Aleksandria. Firman Allah yang sekakikat dengan Bapa mengenakan manusia lengkap. Begitu muncul apa yang diistilahkan sebagai "Logos-anthropos" kristologi, kristologi "homo assumptus," Firman-manusia, yang berlawanan dengan Logos-sarks kristologi. Persatuan antara kedua "kodrat" utuh lengkap itu dipikirkan cukup dangkal. Firman berdiam di dalam manusia, seperti di dalam sebuah rumah, baitullah. Pada Yesus Kristus ada dua kodrat yang tetap berbeda dan terpisah dan yang dua-duanya mandiri, seperti ada juga dua rangkaian ciri/tindakan (manusiawi-ilahi) tersendiri. Yang ilahi (Firman) tidak tersentuh oleh yang manusiawi, jangan-jangan yang ilahi terkena oleh yang manusiawi belaka, yang kudus oleh yang najis. Firman mengambil manusia; ada yang mengenakan dan ada yang dikenakan. Yesus Kristus bukan hanya manusia saja dan bukan pula Allah saja. Ia adalah baik Allah maupun manusia, Firman yang mengenakan dan manusia yang dikenakan. Sebab Dia yang mengenakan ialah Allah dan Dia yang dikenakan (ialah seorang manusia.) ialah seorang manusia (Theodorus Mops. Horn.Catech. 8,1).

Dalam pemikiran semacam itu pada Yesus Kristus tampil dua subjek, pelaku, yang masing-masing mengerjakan apa yang sesuai dengannya. Yang satu tidak boleh dipindahkan kepada yang lain. "Communicatio ideomatum" tidak diterima. Tidak hanya ada dua "benda" (kodrat), tetapi dua orang/tokoh. Maka Dia yang lahir dari Allah lain dari dia yang lahir dari Maria. Mazhab Antiokhia yang diwakili Diodorus dan terutama Theodorus dari Mopsuestia mati-matian membela manusia Yesus, seperti ahli Kitab yang berwatak positivis dan historik itu membacanya dalam Injil-injil sinoptik. Mereka tidak dapat mengikuti mazhab Aleksandria, yang secara ekstrim diwakili oleh Apollinaris, yang sebenarnya "merohanikan" dan mengilahikan manusia Yesus, orang Nazareth. Ia menjadi semacam campuran, satu "hypostasis," ialah satu "ousia." Hanyalah mazhab Antiokhia sukar menjelaskan dan menjernihkan bagaimana Yesus, orang Nazareth yang serentak Allah itu hanya satu tokoh, benar-benar satu seperti dikatakan tradisi yang mantap.

Khususnya Theodorus, meskipun berusaha menghindarkan masalah itu, bergumul dengan soal itu. Dengan pelbagai cara ia mengungkapkan kesatuan Yesus Kristus. Ia dapat berkata bahwa hanya ada satu "prosopon." Tetapi istilah itu belum jelas. Apakah "prosopon" berarti "topeng" (itu memang arti asli kata itu) lahiriah yang secara lahiriah mempersatukan dua yang mandiri dan tersendiri? Memang Theodorus juga dapat berkata bahwa Firman diam dalam manusia, bahwa Firman mengenakan manusia sebagai pakaian kebesaran. Ia pun berkata: hanya ada satu Anak, yaitu Anak Allah. Manusia Yesus menjadi peserta dalam keanakan ilahi itu dan dengan demikian menjadi kudus. Dan itu pun tidak dengan cara yang sama seperti manusia lain menjadi anak Allah. Persatuan Allah dan manusia dalam Yesus Kristus dapat dibandingkan dengan persatuan antara suami dan istri, yang menjadi satu "daging." Maka tetap tinggal soal apakah persatuan, betapapun eratnya, toh tidak hanya suatu persatuan lahiriah saja, hanya berbeda tingkatnya dengan persatuan yang terjalin (berkat rahmat) antara Allah dan manusia lain yang menjadi anak-Nya, peserta dalam kehidupan ilahi? Dalam karyanya tentang Inkarnasi (De incarnatione 8.15) Theodorus menulis sebagai berikut: "Bila kami membedakan kodrat-kodrat (physeis), maka kami maksudkan baik kodrat lengkap Allah-Firman maupun rupa (prosopon) lengkap. Sebab sesuatu yang mandiri (hypostasis) tidak ada tanpa rupa (prosopon). Tetapi juga kodrat lengkap manusia serta rupa (prosopon) itu pula. Adapun, bila kami mempertahankan penggabungan, maka kami menyebutkannya suatu rupa (prosopon). " Penegasan tersebut dilengkapi dengan keterangan dalam sepucuk surat Theodorus kepada Domnum, sebagai berikut: "Adapun cara pemersatuan menurut perkenanan (eudokia) itu mempertahankan kodrat-kodrat itu tak tercampur dan memperlihatkan satu rupa (prosopon) tak terbagi-bagi, milik kedua-duanya, dan satu kehendak dan satu pekerjaan (energeia) bersama dengan wewenang dan kuasa yang bersangkutan".

Adapun Nestorius, yang pernah berguru pada Theodorus serta menyerap pikiran dan peristilahannya (mazhab Antiokhia), oleh kaisar Theodotius II tahun 428 diangkat menjadi batrik Konstantinopolis. Mati-matian Nestorius membela konsili Nikea dan secara tegas, malah fanatik, mengejar penganut-penganut ajaran Arius dan segala macam "bidaah" lain. Meskipun di kemudian hari Nestorius sendiri menjadi dikutuk sebagai "bidaah" (konsili Efese), dipecat dan dibuang, namun sampai akhir hayatnya Nestorius yakin bahwa dalam pemikirannya setia pada tradisi dan iman kepercayaan Kristen sejati. Itu terbukti oleh karangan pembelaan diri yang ditulis Nestorius (Liber Heraclidis). Kecuali karya itu tidak banyak dari tulisan-tulisan Nestorius sampai terpelihara. Ada sejumlah (kepingan) khotbah, sepucuk surat kepada uskup Roma, Caelestinus I, dan dua surat kepada Cyrillus, batrik Aleksandria.

Memang Nestorius dianggap biang keladi bidaah "nestorian." Namun itu kurang tepat. Biasanya dikatakan - meskipun mungkin juga kurang tepat - bahwa para nestorian mengajar bahwa pada Yesus Kristus ada dua "tokoh" (pribadi, subjek), yaitu seorang tokoh manusia dan Firman/Anak Allah. Kedua "pribadi" itu hanya secara lahiriah bergabung. Maka ada dua "Anak" (Anak Allah, anak manusia) dan dengan demikian Yesus Kristus dibagi menjadi dua. Pandangan itu pasti bertentangan dengan seluruh tradisi Kristen dan pasti bukan pikiran Nestorius. Pikiran Nestorius sendiri agak sukar ditangkap secara tuntas.

Sebagai batrik Konstantinopolis Nestorius membawa pikiran mazhab Antiokhia sekitar Yesus Kristus (Diodorus, Theodorus) ke hadapan umum melalui serangkaian khotbah di Konstantinopolis. Di sana sudah berkecamuklah suatu debat sengit sekitar gelar Maria sebagai "Bunda Allah" (theo-tokos). Ada orang (yang berhaluan mazhab Aleksandria) yang membela gelar itu, yang memang sudah tradisional dan digemari umat. Tetapi mereka yang berhaluan mazhab Antiokhia menolak gelar itu. Maria bukan Bunda Allah (theo-tokos), melainkan bunda manusia Yesus saja (anthropo-tokos). Nestorius ingin meredakan pertikaian itu. Dalam khotbah-khotbahnya ia menjelaskan bahwa Maria sebaik-baiknya tidak disebut "Bunda Allah." Gelar macam itu terlalu mengingatkan kepada dewi-dewi kafir yang menjadi ibu dewa-dewa lain. Maria jangan dijadikan dewi macam itu. Kecuali itu tidak tepat mengatakan bahwa Allah lahir dari seorang manusia. Allah memang tidak ada "ibu-Nya." Tetapi juga kurang tepat menyebut Maria ibu manusia saja. Gelar yang paling tepat ialah bunda Kristus (christo-tokos).

Jelaslah bahwa masalahnya bukanlah soal mariologi, melainkan soal kristologi. Masalahnya begini: Bagaimana Yesus Kristus yang menurut konsili Nikea sehakikat (numerik) dengan Bapa dan benar-benar Allah dan yang menurut tradisi, khususnya tradisi mazhab Antiokhia, benar-benar manusia utuh lengkap (dengan badan, jiwa serta akal manusiawi) toh tetap satu tokoh, pribadi. Begitulah Yesus Kristus kan tampil dalam Kitab Suci. Nestorius blak-blakan menolak adoptianisme, monarkianisme dan Apollinarisme. Ia mencoba menjelaskan duduknya perkara dengan caranya sendiri.

Sebagai ahli Kitab dan penganut mazhab Antiokhia Nestorius bertitik tolak Yesus Kristus sebagaimana tampil dalam Kitab Suci. Ia memang hanya satu tokoh saja dan benar-benar manusia. Nestorius mati-matian membela kemanusiaan historis Yesus Kristus, yang benar-benar menderita dan mati. Itu semacam "kristologi dari bawah." Apa yang dikatakan Injil-injil tentang Yesus yang tidak tahu, yang sedih, terharu dan sebagainya mesti diterima secara serius, jangan-jangan disembunyikan atau "dirohanikan." Di lain pihak Yesus Kristus juga Allah, sejak awal eksistensi-Nya di dunia. Ia Allah-Firman, tidak terkena oleh yang manusiawi, tidak dapat menderita dan mati, tidak berubah dan menjadi lain.

Maka Nestorius mesti menjelaskan dan mengkonsepsualkan sedikit bagaimana Yesus Kristus tetap satu tokoh, meskipun sepenuh-penuhnya Allah dan sepenuh-penuhnya manusia. Nestorius mencoba menjelaskannya lebih kurang sebagai berikut: Pada Yesus Kristus ada "kodrat" (physis) ilahi yang lengkap dan ada kodrat (physis) manusiawi yang lengkap. Dalam tradisi mazhab Antiokhia filsafat Arestoteles berpengaruh. Dalam filsafat itu "kodrat" (physis) berarti: keseluruhan ciri-corak dan sifat-sifat sesuatu. Supaya "kodrat" itu real, benar-benar ada, mesti ada juga suatu "rupa" (prosopon), yang memberi kodrat itu realitasnya. Kodrat (physis) tanpa "rupa" (prosopon) tidak ada. Maka pada Yesus ada dua kodrat (physis) dengan masing-masing "rupa" (prosopon)-nya sendiri. Dalam Yesus Kristus kedua kodrat serta rupanya bergabung (synapheia) dan mendapat satu rupa (prosopon), yaitu rupa (prosopon) Kristus. Begitulah, menurut Nestorius, kesatuan Yesus Kristus terjamin. Persatuan kedua kodrat itu dalam satu rupa, bukanlah suatu persatuan dangkal dan lahiriah saja atau hanya kesatuan, kesejalanan kehendak melulu. Persatuan itu dalam istilah Nestorius ialah persatuan menurut "eudokia," perkenanan. Itu berarti: Firman Allah memberikan diri (keilahian-Nya) kepada kemanusiaan real (physis serta prosoponnya) dan kemanusiaan itu dengan bebas menerima tawaran itu, sehingga seerat-eratnya berpaut pada Firman Allah. Maka persatuan itu suatu "pemberian," suatu karunia dan kebebasan manusiawi Yesus Kristus jangan dikurangi. Begitu terjadinya bahwa ada suatu pertukaran rupa (prosopon) antara Allah dan manusia. Allah memakai rupa (prosopon) manusia dan manusia memakai rupa (prosopon) Allah. Dalam peristilahan Nestorius itu berarti: Allah memakai realitas (adanya) manusiawi dan manusia memakai realitas (adanya) ilahi. Kedua itu tanpa tercampur bergabung menjadi satu dan begitu nampak dalam "rupa" (prosopon) Yesus Kristus.

Maka tokoh (prosopon ialah realitas yang nampak) yang tampil dalam Injil-injil adalah satu saja. Ia terbentuk oleh karena keilahian dan kemanusiaan yang berbeda-beda saling menggunakan realitas konkret (prosopon) masing-masing. Nestorius merumuskan pikirannya sebagai berikut (Sermo 12): "Ada perbedaan antara keilahian dan kemanusiaan. Tetapi Kristus sebagai Kristus tidak terbagi-bagi. Anak sebagai Anak pun tidak terbagi-bagi. Kami tidak menerima dua Kristus atau dua Anak. Pada kami tidak ada seorang Kristus pertama dan seorang Kristus kedua; tidak ada (tokoh) yang satu dan (tokoh) yang lain; tidak ada pula Anak yang satu dan Anak yang lain. Tetapi yang satu dan sama itu adalah rangkap dua, bukanlah menurut penghormatan (saja), tetapi menurut kodrat (physis)." Untuk membela diri dan menjernihkan pikirannya Nestorius dalam Liber Heraclidis (1,3) menulis sebagai berikut: "Berkat penggabungan pemersatuan keilahian dan kemanusiaan terjadilah satu Kristus, bukan Allah-Firman, sebab Firman itu kekal. Maka Kristuslah rupa (prosopon) pemersatuan itu; bukanlah Allah-Firman adalah rupa (prosopon) pemersatuan, tetapi rupa (prosopon) kodrat-Nya sendiri." Dan ditambah (2,1): "Tetapi (kedua) kodrat itu berada dalam rupa (prosopon) masing-masing, baik dalam kodrat-kodrat itu maupun dalam rupa (prosopon) pemersatuan. Hanya rupa (prosopon) kodrat yang satu dipakai oleh yang lain berkat pemersatuan itu. Dengan demikian ada satu rupa (prosopon) (milik) kedua kodrat. Rupa zat (ousia) yang satu memakai rupa zat yang lain. Keilahian memakai rupa (prosopon) kemanusiaan dan kemanusiaan memakai rupa (prosopon) keilahian. Itulah sebabnya mengapa kami berkata tentang satu rupa (prosopon) milik kedua-duanya".

Pikiran Nestorius memang sangat spekulatif, tetapi dengan itu Nestorius mau melayani keprihatinan soteriologis. Menurutnya Anak Allah mesti sungguh-sungguh Allah demi keselamatan manusia. Tetapi keilahian - dan itu sesuai dengan seluruh tradisi Yunani - tidak terkena oleh yang manusiawi. Dan kemanusiaan Yesus Kristus mesti juga real manusiawi dan historis. Kalau tidak, manusia belum juga diselamatkan. Tetapi kendati maksud baiknya Nestorius, yang menekankan perbedaan antara keilahian dan kemanusiaan, yang dua-duanya utuh lengkap dan real, tidak berhasil menghilangkan kesan bahwa Yesus Kristus bukan sungguh-sungguh satu subjek. Tetap tinggal suatu dualisme pada Yesus Kristus. Persatuan yang dikemukakan Nestorius nampaknya toh cukup dangkal dan lahiriah, semacam bungkus (prosopon) yang mencakup dua subjek tindakan dan hal ihwal. Nestorius sukar menerima bahwa Anak dan Firman Allah dapat dikatakan: menderita dan mati. Yang menderita ialah Kristus dalam realitas manusiawi saja. Nestorius memang cukup segan terhadap "communicatio ideomatum''.

Dan justru kesatuan subjek itulah yang diperhatikan Cyriltus, batrik Aleksandria (± th. 444). Pikiran Cyrillus tertuang dalam sejumlah tulisan yang tersimpan. Ada sejumlah tafsiran atas Kitab Suci, tetapi yang dalam rangka ulasan-ulasan ini paling penting ialah tulisan-tulisan yang langsung berpolemik dengan Nestorius. Ada sekumpulan risalat (De recta fide) yang teralamatkan kepada kaisar serta permaisuri-permaisuri. Ada XII Anathematatismi serta pembelaannya (Apologiae); ada karya "Melawan hujat Nestorius (Contra Nestorii Blasphemias)," serta suatu pembelaan diri (Apologeticus ad Imperatorem). Suatu karya khusus membahas inkarnasi (Scholia da incernatione Unigeniti). Karya lain ialah mengenai kesatuan Kristus (Quod unus sit Kristus) dan suatu polemik dengan Diodorus dan Theodorus (Contra Diodorum et Theodorum). Masih tersedia juga beberapa surat mengenai soal yang sama (kepada para rahib di Konstantinopolis, kepada Nestorius, kepada Caelestinus, uskup Roma). Cyrillus juga masih berpolemik dengan Arianisme (Thesaurus de sancta et consubstantiali Trinitate; De sancta et consubstantiali Trinitate dialogi) dan suatu polemik dengan Kaisar Julianus (Adversus libros athei Juliani).






Sesuai dengan tradisi mazhab Aleksandria Cyrillus melawan Nestorius menekankan kesatuan Yesus Kristus. Ia hanya satu (subjek). Dan yang satu (subjek) itu ialah Firman/Anak Allah pra-existen, yang sehakikat (numerik) dengan Bapa. Demi keselamatan manusia haruslah Allah sendiri (Anak Allah) menjadi subjek, pelaku seluruh karya penyelamatan: kelahiran, penderitaan, kematian, kebangkitan. Suatu rupa (prosopon) lahiriah yang mencakup dua yang secara radikal terpisah - begitu Cyrillus mengerti pendekatan Nestorius - tidak cukup. Manusia dan Allah belum benar-benar bersatu. Kalau Yesus Kristus sebagai Adam baru benar-benar awal suatu umat manusia baru yang selamat, haruslah Adam baru itu seluruhnya baru dan tidak hanya setengah-setengah atau secara lahiriah saja. Pembaharuan itu hanya terjamin jika Firman Allah menjadi subjek kemanusiaan dan segenap hal ihwalnya. Jadi, sama seperti pada Nestorius, pada Cyrillus pun apa yang dipertaruhkan ialah keselamatan manusia.

Dalam soteriologinya Cyrillus melanjutkan pikiran Athanasius, yang dilengkapi seperlunya. Maksud inkarnasi ialah: Firman Allah menjadi manusia, daging, supaya membebaskan manusia dari pembusukan dan kematian serta memberi kebakaan-Nya sendiri kepada manusia (bandingkan dengan Homil. Pascalis 17). Dengan melanjutkan pikiran yang sudah dilontarkan Ireneus, Cyrillus menegaskan bahwa dengan mengambil kodrat manusia Firman Allah mengilahikan manusia. Cyrillus menganggap "kodrat" itu suatu realitas yang terdapat pada setiap manusia. Maka semua manusia terdapat dalam kodrat manusiawi Firman Allah (In Epist. ad Romanus 6,6). Dengan mempersatukan "daging" dengan diri-Nya, maka Firman Allah memuat di dalam diri-Nya semua manusia (Contra Nestorium 1). Kita sekalian berada secara real dalam Kristus. Maka "hypostasis" (searti dengan physis, kodrat) bersama seluruh umat manusia menjadi hidup kembali dalam Dia (seperti mati dalam Adam lama) (Contra Nestorium 1). Meskipun peristiwa inkarnasi menjadi amat penting bagi Cyrillus, namun - dan dalam hal ini Cyrillus melengkapi Athanasius - makna penyelamatan khusus kematian dan kebangkitan Yesus dipertahankan. "Inkarnasi" mencakup seluruh eksistensi Kristus dan tidak hanya awalnya. Pada saat Yesus menumpahkan darah-Nya Ia membinasakan Maut dan pembusukan. Kalau Ia tidak mati bagi kita, kita tidak selamat (Glaph. in Exodum 2). Kematian Yesus oleh Cyrillus diartikan sebagai korban yang tak bercela, korban penyilih dosa manusia (In Jon. 1,29). Tetapi Cyrillus menekankan keilahian Yesus Kristus sedemikian rupa, sehingga penderitaan dan kematian seolah-olah tidak benar-benar menyentuh diri Kristus, Firman Allah (bandingkan dengan In Luc. Commen-tarius 22,42).

Pikirannya tentang Firman Allah sebagai Juru Selamat dan awal umat manusia baru oleh Cyrillus secara padat dirumuskan sebagai berikut: "Bukankah amat nyata bahwa Yang tunggal lahir itu membuat diri-Nya serupa dengan kita, ialah manusia lengkap, dengan maksud membebaskan badan duniawi kita dari pembusukan yang merasuki kita ... Itulah sebabnya mengapa Ia merendah menjadi sama dengan kita ... dan mengambil jiwa manusiawi, sehingga jiwa menjadi mampu mengalahkan dosa dan seolah-olah diwarnai dengan cet kebakaan-Nya sendiri ... Maka boleh dikatakan bahwa Ia menjadi akar dan buah bungaran mereka semua yang dalam Roh Kudus dipulihkan bagi kehidupan baru" (Scholia de Incarnatione Unigeniti). Maka demi keselamatan umat manusia Cyrillus mati-matian membela kesatuan Yesus Kristus. Kesatuan itu pun perlu demi arti dan makna Ekaristi. Sebab Ekaristi bukan sumber kehidupan ilahi jika hanya kemanusiaan Yesus Kristus dimakan oleh orang beriman. Menurut Cyrillus, itulah yang dikatakan Nestorius.

Tetapi dalam polemiknya dengan Nestorius Cyrillus kurang mengerti istilah yang dipakai Nestorius (mazhab Antiokhia) dan sebaliknya. Dalam peristilahan Nestorius "kodrat" (physis) berarti: sesuatu yang real dan konkret yang mencakup berbagai ciri-corak dan sifat dan selalu pada kodrat ada suatu "prosopon" (rupa). Maka, demi realitas keilahian dan kemanusiaan-Nya, pada Kristus ada dua kodrat semacam itu. Tetapi dalam peristilahan Cyrillus "physis" (kodrat, searti dengan ousia dan hypostasis) berarti: Realitas konkret, "benda" nyata. Physis ialah suatu individu konkret yang ada. Maka pada Kristus hanya ada satu "kodrat" (physis), sebab Ia memang satu individu konkret. Kalau Nestorius berkata bahwa pada Kristus ada dua kodrat (physeis), maka Cyrillus mengerti: dua individu. Kalau Cyrillus berkata bahwa pada Kristus hanya ada satu "kodrat" (physis), maka Nestorius mengerti: keilahian dan kemanusiaan melebur menjadi sesuatu yang baru.

Jika Nestorius bertitik tolak Kristus yang tampil dalam Kitab Suci, maka Cyrillus bertitik tolak Anak/Firman Allah pra-existen. Firman itu menempuh dua keadaan berturut-turut, yaitu keadaan-Nya sebagai Firman Allah yang tidak berubah dan keadaan-Nya sebagai manusia, yang lahir, menderita, mati dan bangkit. Yang dahulu berada dalam keadaan "murni" ilahi, kini sekaligus berada juga dalam keadaan daging. Maka - menurut istilah Cyrillus - pada Yesus Kristus hanya ada satu "kodrat" (physis) dan satu "hypostasis," berarti: satu individu, satu subjek dan satu pelaku. Memang Cyrillus - sesuai dengan mazhab Aleksandria - menganut "Logos-sarks" kristologi, sedangkan Nestorius - sesuai dengan mazhab Antiokhia - menganut "Logos-anthropos" kristologi.

Mesti diakui bahwa pikiran-pikiran Cyrillus tetap tinggal sedikit kabur dan cara bicaranya tidak tanpa alasan menimbulkan rasa curiga pada Nestorius serta teman-temannya. Dengan menekankan bahwa pada Yesus hanya ada satu kodrat" (physis) (ungkapan itu berasal dari Apollinaris, meskipun Cyrillus menganggapnya ungkapan Athanasius) Cyrillus menimbulkan kesan bahwa meneruskan ajaran Apollinaris. Kesan itu diperkuat Cyrillus dengan membandingkan persatuan Kristus dengan persatuan jiwa dan badan pada manusia, seolah-olah pada Yesus Kristus keilahian dan kemanusiaan membentuk satu "kodrat" baru. Perbedaan antara keilahian dan kemanusiaan seolah-olah hilang.

Tentu saja, khususnya dalam polemik dengan Nestorius, pikiran Cyrillus mematang. Melawan Apollinaris ia menekankan bahwa "daging" Yesus adalah "daging berjiwa." Hanyalah bukan "jiwa" melainkan "akal" (nous) yang dipersoalkan. Mula-mula memang tidak jelas kalau-kalau Cyrillus menerima bahwa pada Yesus ada "akal" manusiawi (dan kehendak manusiawi yang bebas, seperti ditekankan Nestorius). Akhirnya Cyrillus menerima bahwa "daging" Yesus memang daging berjiwa, yang berakal manusiawi. Namun demikian mana peranan jiwa dan akal itu pada Yesus kurang nampak. Sebab dalam pendekatan Cyrillus Firman Allah langsung menjadi subjek/pelaku, sehingga rupanya bagi jiwa/akal sebagai subjek tidak ada tempatnya. Dalam suratnya kepada para rahib di kota Konstantinopolis (yang berhaluan mazhab Aleksandria) Cyrillus pada tahun 428 merumuskan pikirannya sebagai berikut: Ia membela gelar Maria sebagai Bunda Allah, lalu menjelaskan: "Tetapi engkau barangkali berkata: Apakah perawan itu menjadi ibu keallahan? Kami menjawab: Tanpa bantahan kami katakan bahwa Firman-Nya yang hidup dan berada sebagai mandiri lahir dari hakikat (ousia) Allah dan Bapa. Ia mempunyai adanya tanpa awal, tidak dalam waktu dan selalu berada bersama dengan Yang melahirkan, di dalam-Nya dan bersama dengan-Nya terpikir, Tetapi pada masa terakhir segala zaman, pada saat Ia menjadi daging, artinya dipersatukan dengan tubuh berjiwa, yang berakal (logike) Ia dikatakan secara kedagingan dilahirkan melalui perempuan." Kemudian, dalam suratnya kepada Yohanes, batrik Antiokhia (39), Cyrillus mempertegaskan pendiriannya sebagai berikut: "Kami mengakui Tuhan kita Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, terdiri atas jiwa berakal (logike) dan badan. Sejak kekal menurut keilahian-Nya Ia (dilahirkan) dari Bapa, pada akhir hari-hari, yang satu dan sama itu demi untuk kita dan demi untuk keselamatan kita (dilahirkan) menurut kemanusiaan dari perawan Maria. Yang satu dan sama sehakikat (homo-ousios) dengan Bapa menurut keilahian dan sehakikat (homo-ousios) dengan kita menurut kemanusiaan. Sebab terjadilah pemersatuan dua kodrat (physeis). Maka satu Kristus, satu Anak kita akui. Dan sesuai dengan pemersatuan (henosis) yang dipahami secara demikian, kami akui perawan suci sebagai Bunda Allah (theo-tokos) oleh karena Allah-Firman menjadi daging dan manusia dan dengan diambilnya itu ia sendiri mempersatukan dengan diri-Nya baitullah yang diambil-Nya dari dia (Maria)".

Jadi Cyrillus amat menekankan bahwa Yesus Kristus hanya satu, tetapi juga mempertahankan bahwa Yesus sepenuh-penuhnya manusia dan sepenuh-penuhnya Allah. Ditekankan pula bahwa sejak awal eksistensi-Nya di dunia Yesus Kristus satu. Namun demikian belum jelas juga bagaimana persatuan dua kodrat itu dipikirkan, sehingga Yesus Kristus tetap satu subjek. Pada akhir kutipan tadi Cyrillus memakai ungkapan "baitullah" bagi kemanusiaan Kristus. Atas dasar ungkapan itu dan atas dasar ungkapan satu physis (kodrat) yang terus dipakai Cyrillus orang toh tetap bertanya-tanya, kalau-kalau Cyrillus tidak melihat kemanusiaan Kristus hanya sebagai "tempat tinggal," kediaman bagi Firman Allah, mirip dengan jiwa yang dalam antropologi Yunani hanya "mendiami tubuh" manusia. Apa pula kalau dalam surat yang sama (n. 46) Cyrillus secara eksplisit membandingkan persatuan dalam Yesus Kristus dengan persatuan jiwa dan badan manusia menjadi satu manusia. Mengingat pula bahwa menurut antropologi Yunani yang dianut Cyrillus justru jiwalah yang menjadi subjek keseluruhan, sedangkan badan hanya "sarana" (organon) bagi jiwa. Cyrillus terus mengatakan bahwa Firman Allah (ialah kodrat ilahi) dipersatukan (mempersatukan diri) dengan "badan/daging" yang menjadi milik "kodrat" (Firman) itu. Dan dengan demikian "badan" dipersatukan dalam satu subjek, yakni Firman Allah. Tetapi tinggal problem: Apakah Yesus Kristus benar-benar manusia seperti yang lain? Cyrillus begitu menekankan keilahian Firman yang menjadi subjek dan meresapi kemanusiaan, sehingga kemanusiaan real dan historis praktis hilang, kalaupun secara formal dipertahankan.

Sejak Nestorius di Konstantinopolis mulai menyebarkan pikirannya, Cyrillus, batrik Aleksandria, menjadi lawannya. Dan dengan demikian juga kedua kebatrikan yang bersaingan itu berhadapan satu sama lain. Cyrillus tidak segan mengirim sebuah risalat kepada para rahib di Konstantinopolis, yang menyerang Nestorius. Rahib itu sebenarnya berhaluan mazhab Aleksandria. Menyusullah surat-menyurat antara kedua batrik itu, yang jauh dari halus dan sopan. Akhirnya dalam pertikaiannya kedua batrik itu membawa perkaranya ke Roma, kepada uskup Caelestinus I (± th. 432). Sebuah sinode ke Roma (th. 430) yang diketuai Caelestinus memihak kepada Cyrillus yang jauh lebih lihai dalam mempresentasikan perkaranya daripada Nestorius. Caelestinus menugaskan Cyrillus untuk melaksanakan keputusan sinode itu dan memecat Nestorius, kalau ia tidak menarik kembali ajarannya. Cyrillus tidak ayal-ayalan bertindak tegas. Cyrillus nekad memenangkan perkaranya dan menghantam batrik ibu kota. Terdukung oleh sebuah sinode para uskup Mesir (th. 430), Cyrillus mengirim surat keputusan dan ancaman kepada Nestorius disertai sejumlah (XII) kutukan atas apa yang oleh Cyrillus dinilai sebagai ajaran Nestorius. Dan apa yang dibebankan kepada Nestorius ialah ajaran Cyrillus yang mesti ditanda-tangani Nestorius. Untuk memenangkan perkaranya Cyrillus tidak segan menempuh jalan politik yang berliku-liku dan malah kotor (menyuapi pegawai-pegawai). Sementara itu Nestorius sudah meminta pada kaisar Theodosius II (± th. 450) untuk mengadakan sebuah konsili. Terdukung oleh kaisar di kawasan barat, Valentinianus III, dan uskup Roma, Caelestinus, Theodosius melayani permintaan Nestorius itu. Ditentukan konsili akan dimulai 7 Juni 431, pada hari raya Pentakosta.

Disunting oleh Silvester Detianus Gea

SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI

Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen
PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Telepon (0274) 588783, 565996, Fax (0274) 563349


E-Mail: office@kanisiusmedia.com
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011
Sumbangan Salib Bening [salib.bening@gmail.com]
http://media.isnet.org/kmi/kristen/Kristologi/Yunani2.html