(Dr. David Anders, Ph.D.) |
MENEMUKAN GEREJA KATOLIK MELALUI SEJARAH
Kisah Dr. David Anders, Ph.D.
Saya tumbuh sebagai
seorang Kristen Protestan Injili di Birmingham, Alabama. Kedua orang tua saya
itu penuh kasih dan pengabdian, tulus dalam iman, dan sangat terlibat dalam
gereja kami.
Dalam diri saya, mereka
menanamkan penghormatan terhadap Alkitab sebagai Firman Allah, dan menginginkan
saya supaya hidup dalam iman akan Kristus.
Para misionaris
(penginjil Protestan –red.) sering mengunjungi rumah kami dan mereka membawa
antusiasme untuk pekerjaan mereka. Rak-rak buku di rumah kami dipenuhi dengan
buku teologi dan apologetika.
Sejak usia dini, saya
meresapkan keinginan bahwa panggilan hidup tertinggi saya adalah mengajarkan
iman Kristen. Saya kira tidak mengherankan jika saya kemudian menjadi seorang
sejarawan Gereja, tapi saya tidak mengira menjadi seorang Katolik.
Gereja keluarga saya
secara istilah adalah Presbiterian, tapi perbedaan denominasi tidak begitu
penting bagi kami. Saya sering mendengar tentang perbedaan pendapat mengenai
Pembaptisan, Perjamuan Tuhan, atau kepemimpinan dalam gereja, semuanya tidak
penting selama seseorang percaya akan Injil.
Dengan ini, kami
bermaksud bahwa seseorang harus “dilahirkan kembali,” keselamatan hanyalah oleh
iman semata, dan Alkitab adalah satu-satunya otoritas dalam iman Kristen.
Gereja kami mendukung
pelayanan dalam berbagai macam denominasi Protestan, tapi satu-satunya kelompok
yang tentu saja kami tentang adalah Gereja Katolik.
Mitos tentang
“pemulihan” Protestan akan Injil begitu kuat dalam gereja kami. Sejak awal saya
belajar untuk mengidolakan para reformis Protestan yaitu Martin Luther dan John
Calvin, karena mereka diduga telah menyelamatkan Kekristenan dari kegelapan
agama Katolik pada abad pertengahan.
Orang Katolik itu
adalah mereka yang percaya dalam “perbuatan baik” untuk membawa mereka ke
Surga, mereka yang tunduk terhadap tradisi Gereja dari pada Kitab Suci, mereka
yang menyembah Maria dan para kudus daripada Allah sendiri.
Obesesi mereka dengan
sakramen-sakramen juga menciptakan rintangan besar kepada iman yang sejati dan
hubungan pribadi dengan Yesus. Tidak diragukan lagi, orang Katolik bukan orang
Kristen sejati.
Gereja kami bercirikan
dengan semacam intelektualitas yang penuh keyakinan. Presbiterian cenderung
untuk lebih berpikiran teologis, maka yang sering menjadi pembicara dalam
konferensi kami adalah para profesor, apologis, ilmuwan, dan filsuf.
Suasana intelektual
itulah yang menarik ayah saya kepada gereja itu, dan rak-rak bukunya dipenuhi
dengan karya-karya para reformis seperti John Calvin, Johathan Edwards seorang
teolog Puritan, serta penulis-penulis yang lebih baru lainnya seperti B. B. Warfield,
A. A. Hodge, C. S. Lewis, dan Francis Schaeffer. Sebagai bagian dari budaya
akademis ini, kami menerima begitu saja bahwa penyelidikan yang jujur akan
membawa siapa saya ke dalam iman Kristen versi kami.
Semua pengaruh ini
meninggalkan kesan yang jelas bagi diri saya sebagai seorang anak. Saya mulai
melihat Kekristenan sebagai sesuatu yang mirip dengan ilmu fisika Newton. Iman
Kristen terdiri dari hukum-hukum tertentu yang sangat masuk akal dan tidak
dapat diubah, maka Anda dijamin akan memperoleh kehidupan kekal asalkan Anda
membangun hidup Anda dengan prinsip-prinsip tersebut.
Saya juga berpikir
bahwa inilah pesan yang jelas sekali dijabarkan dalam buku resmi teologi
Kristen, yaitu Alkitab. Hanya orang yang tidak memiliki akal sehat yang percaya
akan tradisi manusia atau orang yang bersikap masa bodoh yang akan merusak
moral. Sikap-sikap yang bisa menggambarkan kegagalan seseorang untuk memahami
kebenaran yang sederhana ini.
Namun dalam suasana
yang sangat religius dan teologis ini, ada satu ironi yang aneh. Kami
menekankan bahwa imanlah yang menyelamatkan, bukan perbuatan. Kami juga
mengakui kepercayaan Protestan klasik yang mempercayai bahwa semua orang itu
“benar-benar rusak,” yang berarti bahwa upaya moral terbaik yang dilakukan pada
hakekatnya adalah kebencian kepada Allah dan tidak bisa mendapatkan apa-apa.
Pada saat saya berada
di SMA, saya mengumpulkan kepingan-kepingan ini dan menyimpulkan bahwa praktik
hidup beragama dan perjuangan moral itu kurang lebih tidak relevan dengan
kehidupan saya.
Saya sudah menerima
Kristus sebagai Juruselamat dan sudah “dilahirkan kembali.” Saya percaya bahwa
Alkitab adalah Firman Allah. Saya juga percaya bahwa perbuatan menurut agama
atau perbuatan menurut moral itu tidak memiliki nilai. Jadi saya berhenti menjalankan
agama dan moral.
Untungnya,
ketidakpedulian saya hanya bertahan beberapa tahun saja, dan di perguruan
tinggi saya mengalami suatu perubahan keyakinan kepada iman yang begitu tulus.
Saya menemukan bahwa
kebutuhan saya akan Allah begitu dalam dari pada sekadar “asuransi kebakaran.”
Saya juga bertemu dengan seorang gadis cantik yang kemudian, bersama dengan
dia, kami memulai pelayanan di gereja Protestan. Jill secara formalitas tumbuh
sebagai seorang Katolik, namun gagal mempertahankan imannya setelah menerima
Sakramen Peneguhan.
Bersama-sama, kami
bertumbuh lebih dalam lagi di iman Protestan kami, dan setelah beberapa bulan,
kami berdua merasa kecewa dengan suasana duniawi di New Orleans University.
Kami menyimpulkan bahwa Midwestern and Evangelical Wheaton College bisa
menyediakan lingkungan yang lebih spiritual, dan kita berdua dipindahkan di
tengah tahun kedua kami belajar (Januari 1991).
Wheaton College adalah
mercusuar bagi orang Kristen Injili yang tulus hati dari berbagai latar
belakang. Orang-orang Protestan dari berbagai denominasi ada di sana, mereka
dipersatukan dalam komitmen mereka kepada Kristus dan Alkitab.
Masa kecil saya telah
mengajarkan bahwa teologi, apologetika, dan penginjilan adalah panggilan hidup
tertinggi sebagai seorang Kristen, dan saya menemukan semuanya itu begitu
melimpah di Wheaton. Di sanalah saya pertama kali berpikir untuk membaktikan
diri saya untuk belajar teologi. Di Wheaton juga, saya dan Jill bertunangan.
Setelah lulus, saya dan
Jill menikah dan akhirnya menemukan jalan kami ke Trinity Evangelical Divinity
School di Chicago. Tujuan saya di sana adalah untuk mendapatkan pendidikan
seminari, dan juga untuk menyelesaikan gelar Ph.D saya. Saya ingin menjadi
salah seorang profesor teologi yang sangat dikagumi di gereja sewaktu saya
masih muda.
Saya menenggelamkan
diri sepenuhnya ke seminari. Saya sangat menyukai mata kuliah teologi, Kitab
Suci, dan sejarah Gereja, dan saya bertumbuh dalam iman, kepercayaan diri, dan
rasa akan misi yang melingkupi sekolah saya itu. Saya juga menyerap
lingkungannya yang anti-Katolik.
Saya berada di sana
pada tahun 1994 ketika dokumen “Evangelicals and Catholics Together[1]”
dipublikasikan untuk pertama kalinya, dan hampir semua fakultas sepakat untuk
menentangnya. Mereka melihat adanya kompromi dengan orang Katolik yang berarti
pengkhianatan terhadap Reformasi. Orang Katolik itu sama sekali bukan saudara
di dalam Tuhan. Mereka adalah orang-orang murtad.
Saya menerima sikap
anti-Katolik dari profesor seminari saya, jadi ketika tiba saatnya saya untuk
melanjutkan studi, saya memutuskan untuk fokus pada studi sejarah Reformasi.
Saya pikir tidak ada
persiapan yang lebih baik untuk menyerang Gereja Katolik dan memenangkan
jiwa-jiwa selain dari memahami sepenuhnya pemikiran pemimpin besar iman kita,
yaitu Martin Luther dan John Calvin.
Saya juga ingin
memahami sejarah Kekristenan secara menyeluruh, sehingga saya bisa menempatkan
Reformasi dalam konteks itu. Saya ingin menunjukkan bahwa gereja pada abad
pertengahan telah meninggalkan iman yang sejati dan bagaimana para Reformis
memulihkannya.
Untuk tujuan ini, saya
memulai studi Ph.D. dalam bidang teologi historis di University of Iowa. Saya
tidak pernah membayangkan bahwa sejarah Gereja Reformasi akan membawa saya
kepada Gereja Katolik.
Sebelum saya memulai
studi di Iowa, saya dan Jill menyaksikan kelahiran anak pertama kali, dia
seorang anak laki-laki. Adik laki-lakinya lahir dalam waktu kurang dari dua
tahun kemudian, dan adik perempuannya lahir sebelum kita meninggalkan Iowa
(sekarang kami memiliki lima orang anak – artikel ini ditulis tahun 2012).
Istri saya sangat sibuk
dalam merawat anak-anak kami ini, sementara itu saya berkomitmen hampir
sepenuhnya untuk studi saya.
Saya sekarang menyadari
bahwa waktu itu saya terlalu banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, dan
sedikit waktu dengan istri, kedua putra saya yang masih bayi, dan putri saya.
Saya pikir bahwa saya telah membenarkan sikap pengabaian terhadap mereka dengan
mengandalkan rasa akan misi saya.
Saya memiliki panggilan
hidup yang tinggi untuk menjadi saksi iman melalui studi teologi dan melihat
dari sudut pandang seorang intelektual terhadap iman Kristen dan tugas saya
sebagai seorang Kristen.
Bagi umat Kristen
Injili, apa yang seseorang yakini itu lebih penting daripada bagaimana
seseorang itu hidup. Pada waktu itu, saya belajar bagaimana mempertahankan dan
mempromosikan kepercayaan itu. Mana yang lebih penting?
Saya memulai studi
Ph.D. saya pada bulan September 1995. Saya mengambil kuliah sejarah awal mula
Kekristenan, abad pertengahan dan Reformasi Gereja. Saya membaca tulisan para
Bapa Gereja, para teolog Skolastik, dan Pencetus Reformasi Protestan.
Pada setiap tahap itu,
saya berusaha untuk menghubungkan para teolog yang ada kemudian dengan para
teolog sebelum mereka, dan juga menghubungkan semua teolog itu dengan Kitab
Suci.
Saya bertujuan untuk
membenarkan Reformasi, dan ini berarti intinya untuk menyelidiki doktrin
“dibenarkan hanya oleh karena iman / sola fide.” Bagi umat Protestan, hal ini
menjadi salah satu doktrin yang terpenting yang “dipulihkan” oleh Reformasi.
Para Reformis
bersikeras bahwa mereka mengikuti Gereja kuno dalam ajaran “hanya iman,” dan
mereka membuktikan dengan menunjuk tulisan Bapa Gereja Agustinus dari Hippo
(354-430).
Para profesor seminari
saya juga menunjuk Agustinus sebagai mata air asli teologi Protestan. Alasannya
karena Agustinus menaruh minat yang dalam terhadap doktrin dosa asal, rahmat,
dan dasar kebenaran.
Beliau merupakan Bapa
Gereja pertama yang berusaha menjelaskan secara sistematik
pembahasan-pembahasan bertema Pauline[2]. Beliau juga menarik suatu perbedaan
yang jelas antara “perbuatan” dan “iman” (lihat dalam “On the Spirit and the
Letter” / Tentang Roh dan Surat, 412 M).
Ironisnya, penyelidikan
terhadap doktrin ini dan tentang St. Agustinus yang memulai perjalanan saya
menuju Gereja Katolik.
Kesulitan pertama yang
muncul ketika saya mulai memahami apa yang sebenarnya Agustinus ajarkan tentang
keselamatan. Singkatnya, Agustinus menolak pemahaman “hanya iman.”
Memang benar beliau
sangat menghargai iman dan rahmat, namun beliau melihat bahwa keduanya itu
terutama sebagai sumber dari perbuatan kita. Agustinus mengajarkan bahwa kita
secara harafiah “layak” untuk hidup kekal ketika hidup kita diubah oleh kasih
karunia. Hal ini sangat berbeda dengan sudut pandang Protestan.
Implikasi dari penemuan
saya sangat mendalam. Sewaktu kuliah dan di seminari, saya cukup tahu pemahaman
bahwa Agustinus itu mengajarkan tidak lebih dari doktrin Katolik Roma tentang
dasar kebenaran. Kemudian saya memutuskan untuk pindah ke Bapa Gereja
sebelumnya untuk mencari “iman yang murni” pada zaman Kekristenan kuno.
Sayangnya, para Bapa Gereja sebelumnya tidak seberapa membantu seperti
Agustinus.
Agustinus berasal dari
Afrika Utara yang berbahasa Latin. Para Bapa Gereja lainnya berasal dari Asia
Kecil, Palestina, Suriah, Roma, Gaul, Galia, dan Mesir. Mereka mewakili
berbagai macam budaya, berbicara bahasa yang berbeda, dan berkaitan dengan
Rasul yang berbeda pula.
Saya berpikir mungkin
saja beberapa dari mereka telah salah memahami Injil, tetapi sepertinya tidak
mungkin mereka semua keliru. Iman yang benar harus dinyatakan di suatu tempat
di dunia zaman kuno.
Satu-satunya masalahnya
adalah saya tidak bisa menemukannya. Ke mana pun saya mencarinya, di belahan
benua mana pun, pada abad berapa pun, Para Bapa Gereja sepakat: keselamatan itu
ada melalui perubahan kehidupan moral dan bukan hanya dengan iman.
Mereka juga mengajarkan
bahwa perubahan itu dimulai dan dipelihara dalam sakramen, dan bukan melalui
pengalaman pertobatan individu.
Pada tahap perjalanan
iman saya ini, saya masih ingin tetap menjadi seorang Protestan. Seluruh hidup,
perkawinan, keluarga, dan karir saya terikat dalam Protestanisme.
Pencarian saya dalam
sejarah Gereja adalah ancaman besar bagi identitas saya itu, jadi saya pindah
jurusan ke studi Alkitab untuk mencari kenyamanan dan bantuan peneguhan.
Saya berpikir bahwa
jika saya sangat yakin akan sikap protes para Reformis terhadap Kitab Suci,
maka pada dasarnya saya dapat mengabaikan sejarah Kekristenan selama seribu
lima ratus tahun.
Saya menghindari berbagai
hal berbau Katolik yang bisa melemahkan iman saya, seperti bidang ilmu ataupun
buku-bukunya.
Yang saya lakukan
adalah fokus tentang tujuan, sejarah, dan karya-karya Protestan dalam studi
Alkitab saya. Pada saat itu saya sedang mencari bukti yang kuat bahwa para
Reformis itu benar dalam pemahaman mereka akan Paulus. Apa yang saya tidak tahu
adalah pengajaran terbaik Protestan pada abad ke-20 telah menolak ajaran Luther
tentang membaca Alkitab.
Luther telah
mendasarkan seluruh penolakannya terhadap Gereja berdasarkan perkataan Paulus,
“Bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum
Taurat” (Roma 3:28).
Luther berasumsi bahwa
perbedaan antara “iman” dan “perbuatan” berarti tidak adanya peran moralitas
dalam proses keselamatan (berdasarkan pandangan Protestan tradisional, perilaku
moral adalah tanggapan terhadap keselamatan, tapi bukan faktor yang berkontribusi
terhadap keselamatan).
Saya telah mempelajari
bahwa para Bapa Gereja mula-mula sudah menolak pandangan seperti itu. Sekarang
saya menemukan seluruh jajaran pemikir Protestan juga bersedia untuk memberikan
kesaksian bahwa bukan ajaran seperti itu yang dimaksudkan oleh Paulus.
Para Bapa Gereja pada
abad ke-2 percaya bahwa Paulus telah menolak perlunya hanya hukum Taurat untuk
keselamatan (“melakukan hukum Taurat” = Hukum Musa). Mereka melihat iman
sebagai pintu masuk menuju kehidupan Gereja, sakramen, dan Roh.
Iman membenarkan kita
sebagai sarana rahmat, tapi iman itu bukan pijakan yang cukup untuk
keselamatan.
Apa yang saya lihat
dari para pemikir Protestan ternama dan terbaru, mereka memiliki cara pandang
yang sama akan hal ini. Dari sepertiga pemikir Protestan abad ke-20 seperti E.
P. Sanders, Krister Stendhal, James Dunn, dan N. T. Wright, mereka berpendapat
bahwa Protestanisme tradisional telah salah membaca maksud Paulus.
Berdasarkan Stendhal
dan para pemikir lainnya, dibenarkan oleh iman terutama karena hubungan antara
orang Yahudi dan orang bukan Yahudi, bukan tentang peran moralitas sebagai
syarat kehidupan kekal. Bersama-sama, karya para pemikir itu disebut sebagai
“Perspektif Baru tentang Paulus.”
Penemuan saya tentang
“Perspektif Baru” ini merupakan titik awal pemahaman saya tentang Kitab Suci.
Pertama kali, saya melihat bahwa “Perspektif Baru” adalah “Perspektif Lama”
dari para Bapa Gereja mula-mula.
Saya mulai mengujinya
terhadap penafsiran saya sendiri tentang tulisan Paulus dan saya menemukan
bahwa hal itu masuk akal. Hal itu juga yang mengatasi pergumulan yang sudah
lama saya rasakan antara Paulus dengan seluruh isi Alkitab.
Bahkan Luther sendiri
mengalami kesulitan dalam menyambungkan penafsirannya terhadap Paulus dengan
Khotbah di Bukit, Surat St. Yakobus, dan Perjanjian Lama. Setelah saya
mencobanya dengan “Perspektif Baru,” pergumulan ini sirna. Dengan berat hati,
saya harus mengakui bahwa para Reformis itu salah tentang dasar kebenaran.
Penemuan-penemuan dalam
karya akademis saya ini sejalan dengan penemuan-penemuan dalam kehidupan
pribadi saya.
Teologi Protestan
sangat membedakan antara kepercayaan dan perilaku, dan saya mulai melihat
bagimana hal ini mempengaruhi saya.
Sejak saya masih kecil,
saya selalu menentukan bahwa teologi, apologetika, dan penginjilan adalah
panggilan tertinggi dalam kehidupan seorang Kristen, sementara itu kebajikan
hanyalah buah dari iman yang benar.
Sayangnya, saya merasa
bahwa dalam hidup saya kurang berbuah, namun sebenarnya teologi saya berkontribusi
terhadap sifat-sifat buruk saya.
Teologi itu telah
membuat saya mencari-cari kesalahan, sombong, dan suka melakukan perdebatan.
Saya juga menyadari bahwa karena teologi pula saya telah melakukan hal yang
sama terhadap para pahlawan saya (para Reformis Protestan–red.).
Semakin saya
mempelajari para Reformis Protestan, semakin saya tidak menyukai mereka secara
pribadi.
Sangat berbeda dengan
apa yang saya pelajari tentang para teolog Katolik. Kebanyakan dari mereka
adalah orang-orang kudus, yang berarti mereka telah menghidupi kehidupan amal
kasih yang heroik dan penyangkalan diri.
Bahkan yang ternama
dari orang-orang kudus itu, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas juga mengakui
bahwa mereka tidak memiliki otoritas pribadi untuk menentukan dogma Gereja.
Dilihat dari luar, saya
masih anti-Katolik. Saya melanjutkan untuk terus menyerang Gereja dan membela
Reformasi, namun di dalam hati saya ada pergumulan psikologis dan spiritual.
Saya menemukan bahwa teologi saya dan karya hidup saya didasarkan pada sebuah
kebohongan, dan saya merasa bahwa kehidupan etis, moral, dan spiritual saya
sangat kurang.
Saya dengan cepat
kehilangan motivasi untuk menyangkal agama Katolik, dan sebaliknya saya hanya
ingin mempelajari kebenaran. Para Reformis Protestan telah membenarkan
pemberontakan mereka dengan seruan “hanya Kitab Suci.”
Studi saya mengenai
doktrin pembenaran telah menunjukkan kepada saya sendiri bahwa Kitab Suci
bukanlah penduan yang jelas sebagaimana yang ditunjukkan para Reformis.
Bagaimana jika semua
sikap protes mereka akan Kitab Suci itu salah kaprah? Pada akhirnya, mengapa
saya memperlakukan Kitab Suci sebagai otoritas yang menentukan?
Ketika saya
mempertanyakan hal ini kepada diri saya sendiri, saya menyadari bahwa saya
tidak punya jawaban yang memadai.
Alasan sebenarnya yang
saya minta terhadap ajaran “hanya Kitab Suci” bahwa inilah yang telah diajarkan
kepada saya.
Ketika saya
memperlajari masalah ini, saya menemukan bahwa tidak seorang Protestan pun yang
memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan ini.
Para Reformis tidak
benar-benar membela doktrin “hanya Kitab Suci.” Mereka hanya menegaskannya.
Lebih parah lagi, saya
mempelajari bahwa para teolog Protestan modern yang berusaha mempertahankan
“hanya Kitab Suci” dengan menentang tradisi Gereja. Inilah yang menurut saya
tidak masuk akal.
Akhirnya, saya
menyadari bahwa “hanya Kitab Suci” tidak ada dalam Kitab Suci.
Doktrin itu justru
menyangkal dirinya sendiri. Saya juga melihat bahwa umat Kristen perdana tidak
mengenal banyak tentang “hanya Kitab Suci,” dibandingkan apa yang mereka tahu
tentang “hanya iman.”
Tentang masalah
“bagaimana kita diselamatkan” dan “bagaimana kita merumuskan iman,” umat
Kristen perdana menemukan pusatnya dalam Gereja. Gereja itu sendiri adalah
keduanya, sebagai otoritas dalam doktrin Kristen dan juga sarana keselamatan.
Gereja menjadi isu yang
membuat saya ingin terus kembali mendalaminya. Kaum Injili cenderung melihat
Gereja hanya sebagai persekutuan orang-orang yang percaya dan satu pemikiran.
Bahkan para Reformis,
Luther dan Calvin memiliki pandangan yang lebih kuat tentang Gereja daripada
yang kaum Injili definisikan, tapi umat Kristen kuno memiliki doktrin paling
luhur tentang Gereja dari semuanya itu.
Saya pernah melihat
penekanan mereka tentang Gereja yang tidak Alkitabiah, bertentangan dengan
“hanya iman,” namun saya mulai menyadari bahwa tradisi Injili saya yang tidak
alkitabiah.
Kitab Suci mengajarkan
bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus (Efesus 4:12). Kaum Injili cenderung
menganggap hal ini sebagai kiasan belaka, namun umat Kristen kuno
mengganggapnya secara literal, meskipun secara mistik itu benar.
St. Gregorius dari
Nyssa berkata, “Seseorang yang melihat Gereja maka dia benar-benar melihat
Kristus.” Ketika saya memikirkan hal ini, saya menyadari bahwa apa yang
diucapkan itu mengarah kepada kebenaran yang mendalam tentang makna
keselamatan.
St. Paulus mengajarkan
bahwa mereka yang dibaptis itu telah dipersatukan dengan Kristus dalam
kematian-Nya, sehingga mereka juga dipersatukan dengan Dia dalam kebangkitan
(Roma 6:3-6).
Persatuan ini secara
literal menjadikan orang Kristen sebagai bagian dalam kodrat Ilahi (2 Petrus
1:4). Bahkan St. Athanasius berkata, “Karena Dia telah menjadi manusia, maka
kita dimungkinkan menjadi Allah” (De incarnatione, 54.3).
Sekarang, doktrin kuno
tentang Gereja itu menjadi masuk akal bagi saya karena saya melihat bahwa
keselamatan itu sendiri tidak lain adalah persatuan dengan Kristus dan terus
menerus bertumbuh dalam kodrat-Nya.
Gereja bukan sekedar
persekutuan dari orang-orang yang sepikiran. Tetapi suatu realitas adikodrati
karena Gereja itu mengambil bagian dalam kehidupan dan pelayanan Kristus.
Pernyataan ini juga
masuk akal dengan doktrin sakramental Gereja. Ketika Gereja membaptis,
mengampuni dosa, ataupun yang utama yaitu mempersembahkan Kurban Kudus Misa,
maka sungguh Kristus yang membaptis, mengampuni dosa, dan mempersembahkan Tubuh
dan Darah-Nya sendiri. Sakramen itu tidak mengurangi Kristus itu sendiri.
Sakramen itu menghadirkan Dia.
Kitab Suci cukup jelas
mengenai sakramen. Jika Anda memahaminya sebagaimana yang tertulis, Anda harus
menyimpulkan bahwa Pembaptisan adalah “permandian kelahiran kembali dan oleh
pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Titus 3:5).
Yesus dengan
sungguh-sungguh ketika Dia berkata, “Sebab daging-Ku benar-benar makanan dan
darah-Ku benar-benar minuman (Yohanes 6:55). Dan tentu saja Yesus tidak
berbohong ketika Dia berjanji, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya
diampuni” (Yohanes 20:23).
Inilah yang sebenarnya
yang dimengerti oleh umat Kristen kuno mengenai sakramen. Saya tidak bisa lagi
menuduh umat Kristen kuno itu tidak alkitabiah. Atas dasar apa saya menolak
pemahaman-pemahaman itu semua?
Doktrin orang Kristen
kuno mengenai Gereja tentang penghormatan para kudus dan para martir juga masuk
akal. Saya mempelajari bahwa doktrin Katolik tentang para kudus hanyalah
pengembangan dari doktrin alkitabiah tentang Tubuh Kristus.
Umat Katolik tidak
menyembah para kudus. Mereka menghormati Kristus dalam anggota-anggota-Nya.
Dengan memohon perantaraan mereka, umat Katolik hanya menyatakan bahwa Kristus
itu hadir dan bekerja dalam Gereja-Nya di Surga.
Umat Protestan
seringkali keberatan bahwa penghormatan para kudus yang dilakukan oleh umat
Katolik itu mengurangi pelayanan Kristus. Saya sekarang mengerti bahwa yang
kebalikannya itu justru yang sebenarnya.
Orang Protestanlah yang
membatasi jangkauan karya keselamatan Kristus dengan menolak implikasinya
terhadap doktrin mengenai Gereja.
Studi saya menunjukkan
bahwa teologi ini bertumbuh dalam devosi yang dilakukan Gereja kuno. Ketika
saya melanjutkan penelitian yang saya lakukan tentang Agustinus, saya mempelajari
bahwa “Pahlawan Protestan” ini benar-benar menganut ajaran penghormatan para
kudus.
Seorang ahli tentang
Agustinus yaitu Peter Brown (lahir 1935) juga mengajari saya bahwa ajaran
tentang para kudus itu tidak secara kebetulan ada dalam Kekristenan kuno. Dia
berpendapat bahwa Anda tidak dapat memisahkan Kekristenan kuno dengan devosi
kepada para kudus, dan dia menempatkan Agustinus secara adil (tidak berat
sebelah dan sesuai dengan kenyataan) dalam tradisi ini.
Brown menunjukkan bahwa
ini bukan sekedar ajaran impor dari agama pagan kepada Kekristenan, namun lebih
berkaitan erat dengan gagasan Kristen tentang keselamatan (lihat dalam Cult of
Saints: Its Rise and Function in Latin Christianity tahun 1981).
Begitu saya memahami
posisi ajaran Katolik tentang keselamatan, Gereja, dan para kudus maka dogma
tentang Maria dengan sendirinya menjadi masuk akal.
Jika pusat iman Kristen
itu adalah persatuan Allah dengan kemanusiaan kita, sang Bunda yang bersifat
manusia memiliki peran yang penting dan unik dalam segala sejarah. Inilah
sebabnya para Bapa Gereja selalu merayakan Maria sebagai Hawa yang kedua.
Jawaban “Ya” kepada
Allah ketika pemberitaan kabar sukacita Inkarnasi membalikan kondisi
Ketidakadaan Hawa di taman Eden.
Jika pantas untuk
menghormati para kudus dan martir Gereja, seberapa lebih pantas pula untuk
memuliakan dan menghormati kepada sang Bunda yang oleh karena dia penebusan
kita bisa terjadi?
Pada saat saya
menyelesaikan studi Ph.D. saya, saya sudah sepenuhnya meninjau ulang pemahaman
saya terhadap Gereja Katolik.
Saya melihat bahwa
doktrin sakramental Gereja, pandangan Gereja tentang keselamatan, penghormatan
Gereja kepada Maria dan para kudus, pengakuan Gereja tentang otoritas, semua
hal itu berdasarkan kepada Kitab Suci, dalam tradisi yang paling tua, dan dalam
ajaran yang sederhana tentang Kristus dan Para Rasul.
Saya juga menyadari
bahwa Protestanisme merupakan sekumpulan ketidak-konsistenan dan pemelintiran
logika.
Bukan hanya bahwa
dokrin Protestan itu tidak benar, namun juga menimbulkan pertentangan, dan
ajarannya selalu berubah-ubah. Semakin saya belajar, semakin saya menyadari
bahwa warisan ajaran Injili saya sudah menyimpang jauh bukan hanya dari
Kekristenan kuno, bahkan dari ajaran para pendiri aliran Protestan sendiri.
Para kaum Injili
Amerika modern mengajarkan bahwa kehidupan Kristiani dimulai ketika Anda
“mengundang Yesus ke dalam hati Anda.” Pertobatan pribadi (yang mereka sebut
“dilahirkan kembali”) dipandang sebagai hal pokok dan permulaan identitas
seorang Kristen.
Saya tahu dari apa yang
saya baca, bahwa hal seperti ini bukanlah ajaran Gereja perdana. Saya juga
mempelajari para Reformis, bahkan hal ini bukan ajaran Protestan mula-mula.
Calvin dan Luther
sama-sama dengan jelas menyatakan bahwa Pembaptisan adalah permulaan kehidupan
Kristiani. Sambil merasa sia-sia saya melihat karya mereka untuk mencari suatu
keharusan untuk “dilahirkan kembali.
”Saya juga mempelajari
bahwa mereka tidak menganggap bahwa Ekaristi sebagai hal yang tidak penting,
seperti yang telah saya lakukan.
Sementara itu, mereka
menolak teologi Katolik tentang sakramen, kedua tokoh itu terus bersikeras
bahwa Kristus benar-benar hadir dalam Ekaristi. Bahkan pada tahun 1541, Calvin
mengajarkan bahwa pemahaman yang tepat tentang Ekaristi adalah “perlu untuk
keselamatan.”
Calvin tidak tahu
apapun tentang pemahaman Kekristenan yang dilahirkan kembali secara
individualistis, yang mana saya tumbuh dalam pemahaman itu.
Saya menyelesaikan
kuliah saya pada bulan Desember 2002. Beberapa tahun terakhir dalam studi saya
merupakan saat-saat yang cukup gelap bagi saya.
Terlebih lagi,
sepertinya rencana saya berantakan, dan masa depan saya tidak jelas.
Kepercayaan diri saya sangat terguncang, dan saya sebenarnya merasa ragu untuk
percaya atau tidak.
Agama Katolik mulai
tampak yang paling masuk akal dalam menafsrikan iman Kristen, namun kehilangan
iman yang saya hidupi sejak kecil membuat saya hancur.
Saya berdoa memohon
bimbingan. Dan pada akhirnya, saya percaya bahwa rahmatlah yang telah
menyelamatkan saya.
Pada saat itu, saya
memiliki seorang istri dengan empat orang anak, dan akhirnya Allah menunjukkan
saya bahwa yang saya butuhkan dalam hidup saya bukan hanya sekedar buku saja.
Sejujurnya, saya juga
membutuhkan lebih dari sekedar “hanya iman.” Saya membutuhkan pertolongan nyata
dalam hidup saya dan berperang melawan dosa-dosa saya. Saya menemukannya dalam
sakramen-sakramen Gereja.
Di samping “hanya Kitab
Suci,” saya membutuhkan bimbingan yang nyata dari seorang guru yang memiliki
otoritas. Saya menemukannya dalam Magisterium Gereja.
Saya menemukan bahwa
saya membutuhkan persekutuan para kudus di surga, bukan haya buku-buku mereka
di dunia. Singkatnya, saya menemukan bahwa Gereja Katolik dibentuk dengan ideal
untuk memenuhi kebutuhan spiritual saya.
Selain kebenaran itu
sendiri, saya menemukan Yesus dalam Gereja-Nya, melalui Bunda-Nya dalam
persekutuan para kudus-Nya. Saya masuk ke dalam Gereja Katolik pada tanggal 6
November 2003.
Istri saya juga
mengalami titik baliknya sendiri untuk mendalami Gereja, dan sekarang keluarga
saya adalah keluarga Katolik yang bahagia dan antusias.
Saya berterima kasih
kepada orang tua saya karena telah mengarahkan saya kepada Kristus dan Kitab
Suci. Saya berterima kasih kepada St. Agustinus karena telah mengarahkan saya
kepada Gereja.
Catatan kaki:
[1] Dokumen ekumenis
yang ditandatangani oleh para tokoh ternama baik dari Protestan Injili dan
Gereja Katolik di Amerika Serikat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang
sama dari kedua pihak dalam kesamaan tantangan dunia modern saat itu.
[2] Teologi yang
berhubungan dengan kepercayaan dan doktrin yang didukung oleh St. Paulus
melalui tulisan-tulisannya.
Sumber: “A Protestant
Historian Discovers the Catholic Church”
terangiman.com
@dm1rbs
@fbRaphael Benedict