Showing posts with label Tokoh Katolik. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Katolik. Show all posts

Prof. Dr. Gorys Keraf


Related image
Prof. Dr. Gregorius Keraf atau lebih dikenal dengan nama Dr. Gorys Keraf lahir di Desa Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur, 17 November 1936. Ia seorang ahli bahasa ternama Indonesia dan salah seorang dosen Universitas Indonesia.[1]

Ia menamatkan SMP di Seminari Hokeng pada tahun 1954. Kemudian menamatkan SMA Syuradikara di Ende pada tahun 1958. Pada tahun 1964 ia menamatkan Jurusan Sastra Indonesia, di Universitas Indonesia (UI). Ia meraih gelar Doktor dalam bidang Linguistik dari UI pada tahun 1978, dengan disertasi Morfologi Dialek Lamalera.

Pada tahun 1962-1965 ia pernah mengajar di SMA Syuradikara. Kemudia mengajar di SMA Santa Ursula dan SMA Santa Theresia pada tahun 1964. Ia menjadi Dosen Unika Atmajaya pada tahun 1967. Kemudian ia mengajar di Perguruan Tinggi Kepolisian, dan Jakarta Academy Of Languages Jakarta pada tahun 1971. Ia menjadi pengajar tetap di Fakultas Sastra UI sejak tahun 1963. Selain itu ia mejadi coordinator Mata Kuliah Bahasa Indonesia dan Retorika di Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI.[2]

Berikut adalah karya tulis Dr. Gory Keraf:

1.      Komposisi (1971)
2.      Tatabahasa Indonesia (1991)
4.      Diksi dan Gaya Bahasa
6.      Argumentasi dan Narasi
Ia meninggal di Jakarta, 30 Agustus 1997 pada usia  60 tahun. Ia dimakamkan di TPU Pondok Kelapa.[3] 


[1] https://www.merdeka.com/gorys-keraf/profil/
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Gorys_Keraf
[3] Buku Kematian Paroki St. Yoseph Matraman tahun 1997 No. 31.

SENSUS ECCLESIAE PADA TULISAN PARA BAPA GEREJA



Menggali kekayaan para bapa Gereja, kita dihadapkan pada sebuah sumber yang sangat segar berkaitan dengan iman kita. Bagaimana ditumbuhkan rasa memiliki pada Gereja, ketika kanon Kitab Suci dan Credo belum terbentuk dalam bentuk komplit seperti sekarang ini? Di samping permasalahan doktrinal yang berkaitan dengan isu kesatuan Gereja, peran para bapa Gereja sangat penting sebagai ujung tombak kesinambungan iman katolik pasca periode para rasul.

Satu cakrawala yang hendak dibahas berkaitan dengan sensus ecclesiae yang muncul dalam tulisan-tulisan mereka. Dengan dilatarbelakangi deskripsi figur dan motivasi pentingnya mempelajari para bapa Gereja, paper ini akan menuntun kita untuk membaca (terjemahan) teks yang mereka tulis.

1            Para Bapa Gereja

1.1        Siapakah mereka?

Para bapa Gereja adalah sekelompok orang yang memiliki relasi dengan para rasul atau setidak-tidaknya pernah memiliki kontak dengan mereka. Tulisan-tulisan yang dihasilkan ada dalam bentuk surat dan biasanya tertulis dalam bahasa yunani. Apakah yang diperjuangkan oleh para penulis patristik ini?
°  Menjelaskan kepada umat beriman kegungan karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus dengan uraian katekese yang jelas dan bahasa yang sederhana.
°  Mendorong umat beriman untuk memiliki sikap ketaatan seorang anak kepada para pimpinan gerejani
°  Berusaha menjaga kawanan jemaat umat Allah dari bahaya heresi dan skisma, yang mengancam kesatuan Gereja
Sejak abad IV, kata bapa mengarah kepada pribadi-pribadi di masa lampau yang membela ortodoksi iman katolik, disiplin gerejani dan terasah dalam menyampaikan dan menjelaskan doktrin dan iman katolik, terutama para uskup dan di dalam konsili.

1.2        Kekhususan para bapa gereja

Ada empat hal yang merupakan karakter khusus dari para bapa gereja ini.
°  Pertama, doctrina orthodoxa.
°  Kedua, sanctitas vitae.
°  Ketiga,  antiquitas.
°  Keempat,  approbatio ecclesiae.
°  Jika salah satu dari ketiga unsur pertama tidak terpenuhi, maka orang tersebut masuk dalam kategori penulis gerejani. Beberapa tokoh mendapat gelar doktor gereja seperti Ambrosius, Agustinus, Hieronimus, Gregorius agung di Gereja Barat, sementara Basilius agung, Gregorius dari Nazianze dan Yohanes Krisostomus di Gereja Timur.

1.3        Mengapa mempelajari para bapa Gereja?

°  Pertama, mereka adalah para saksi khusus dari sebuah tradisi dan lebih dekat dengan peristiwa historis Yesus Kristus dan para rasul serta menerima panggilan khusus untuk menghidupi masa muda Gereja.
°  Kedua, periode para bapa gereja masuk dalam tahap penataan gereja. Mereka memperoleh tugas dan tanggung jawab untuk menyusun dasar-dasar fondasi kehidupan menggereja seperti penyusunan credo dan penetapan kanon kitab suci.
°  Ketiga, mereka adalah para saksi dan penjamin tradisi katolik yang autentik. Oleh sebab itu, wewenang mereka berkaitan dengan problematika teologi tetap dan akan selalu besar.
°  Keempat, mereka telah mewariskan kepada kita sebuah metode teologis, yang dihidupi dalam kesatuan antara theroia dan praxis.

2            Konteks Gereja purba

Pada bagian ini akan diuraikan sekilas tentang konteks gereja purba untuk memperoleh gambaran latar belakang yang mempengaruhi sikap dasar sensus ecclesiae para bapa Gereja. Bagian lebih lengkap bisa dipelajari pada studi tentang sejarah Gereja.
°  Sebagai sebuah organisasi, agama katolik kerap dihadapkan sebagai musuh negara dan harus diburu semua pengikutnya.
°  Sebagai sebuah agama monoteis, agama katolik berselisih paham dengan berbagai keyakinan dan keagamaan politeis.
°  Sebagai agama berkarakter mesianik, yang melihat di dalam diri Yesus kristus sebuah kepenuhan perwahyuan ilahi, tidak mengherankan bila yudaisme sangat menentang!
°  Sebagai sebuah kebenaran yang diwahyukan, agama katolik pun berhadapan dengan filsafat pagan, dalam hal ini terutama filsafat yunani.
Di abad kedua, tema kebenaran mulai muncul di antara para filsuf pagan. Merekapun beramai-ramai membuat diskursus untuk menyerang ajaran-ajaran agama katolik. Misalnya, diskursus dari Markus Cornelis Fronto dari Cirta (+166/170, penulis dan orator romawi); Kaisar Imperator Caesar Marcus Aurelius Antoninus Augustus (+180, dia adalah kaisar, filsuf dan penulis romawi);Luciano dari Samosata (+180/192, penulis dan rektor yunani kuno yang berasal dari Siria) dan Celsus (filsuf yunani dan romawi kuno berinspirasi platonis dan menurut beberapa sumber juga mengikuti ajaran epikuros). Celsus berpendapat bahwa umat katolik itu diejek karena ikatan kasih persaudaraan diantara mereka dan pandangannya yang menomorduakan kematian. Relasi semakin diperpanas dengan yudaisme yang melihat agama katolik sebagai  agama kepenuhan dan kesinambungan dari nubuat-nubuat Perjanjian Lama, sementara agama yahudi dilihat sebagai agama induk.
Tugas utama para apologet adalah menolak tuduhan-tuduhan yang beredar secara legal maupun desas-desus yang hidup di tengah-tengah umat. Penolakan ini ada dalam bentuk diskursus atau dialog ilmiah. Dalam penjelasan tersebut, para apologet memiliki kewajiban untuk menjelaskan nilai-nilai iman katolik di hadapan filsafat melalui dua jalan, yaitu dengan menunjukkan mortalitas dan absurditas keyakinan agama mereka yang tidak bersumber dari Yesus Kristus serta ketidaksempurnaan filsafat mereka di hadapan perwahyuan kebenaran yang termaktub di dalam Yesus Kristus. Namun perlu diingat, bahwa para apologet tersebut sangat terbatas. Ada juga yang partisipan terhadap ajaran gereja, padahal de facto mereka adalah filsuf pagan.

3            Menggagas Sensus ecclesiae dalam tulisan-tulisan para bapa Gereja

3.1        Clemens dari Roma

Adalah uskup dan paus keempat di Gereja katolik Roma dari 92-97. Dengan surat-surat yang dikirimkan dari Roma kepada jemaat di Korintus, kita melihat satu intervensi dari Gereja Roma di sana. Dalam hal ini, Clemens menjelaskan di bagian awal tentang posisi kedudukannya sebagai pendamping jemaat dalam kepemimpinan penuh kasih serta peran khususnya di dalam Gereja dan pelayanan yang dia lakukan. Ada posisi khusus yang dimiliki oleh Gereja katolik di Roma dibandingan dengan komunitas-komunitas Gereja katolik di tempat lain. Ada sebuah hak untuk mengintervensi permasalahan-permasalahan yang terjadi di komunitas lain.
Dia menuliskan ini di bagian awal, untuk memancing sebuah diskursus tentang suksesi apostolik dan situasi persaudaraan di dalam komunitas gerejani yang terancam oleh ketiadaan kesatuan hati. Dalam surat ini, Clemens menulis bahwa
segala sesuatu berasal dari keteraturan kehendak Allah. Dialah yang mengirimkan para rasul dan dari mereka, kita memperoleh para pemimpin komunitas (bdk. 1Kor 42,1).
Kemudian pada suratnya yang kedua, dia menegaskan prinsip dasar Gereja bahwa kita semua seperti anggota dari tubuh yang satu dan sama. Maka, tubuh mistik Kristus adalah Gereja (2Kor 14.36-39). Oleh sebab itu, komunitas tidak berhak untuk mengganti para imam mereka, karena mereka tidak memiliki wewenang dan karena para imam itu menerima penumpangan tangan dari suksesi apostolik, maka mereka berkarya menurut isi pewartaan Yesus.

3.2        Ignasius dari Antiokhia

Ignasius memahami Gereja sebagai keseluruhan umat beriman bersama dengan dunia seluruhnya. Maka, dimana ada uskup, di sana ada komunitas. Dimana ada Yesus, di sana ada Gereja katolik (bdk. Smirna, 8). Dalam pola ini sudah bisa ditebak keberadaan tiga level hirarki: uskup sebagai pusat rujukan segala doktrin, disiplin gerejani dan liturgi (Yesus), imam (para rasul) dan diakon (perintah Allah).
Gereja yang hendak digambarkan oleh Ignasius adalah sebuah keseluruhan umat beriman. Untuk pertama kalinya Gereja memperoleh definisi demikian, berangkat dari pemikiran Ignasius. Maka, di sini diungkapkan wewenang khusus dari Gereja romawi, yang menawarkan hirarki tripartitus (Uskup, Imam, Diakon), yang berkarakter mengikat pemikiran semua umat beriman, yaitu Yesus Kristus, Uskup dan Gereja.
Tanpauskup, imam dan diakontidak bisa berbicaratentangGereja. Olehsebabitu, barangsiapamenjalankansebuah tugas tanpauskup, kolegium para imam dan diakon, diatidakbertindakdengankesadarannurani yang murni.
Dengan demikian, Gereja Katolik itu berbeda dari yudaisme karena konsekuensinya adalah mengikuti jejak Kristus, hidup dalam Kristus, hidup di hadapan Allah dan seturut kehendak Allah.

3.3        Ireneus dari Lyon

Prinsip-prinsip dasar iman ditemukan di dalam credo para rasul dan dijaga oleh Gereja melalui suksesi para uskup. Di sinilah ditemukan rujukan dasar-dasar iman yang benar. Maka, jika ada orang ingin mencari ketepatan tradisi, dia harus mencari dalam gereja-gereja yang didirikan oleh para rasul. Kesinambungan yang tidak terputus sejak zaman para rasul menjamin kebenaran dari pengajaran mereka. Dengan demikian, prinsip-prinsip iman yang mereka ajarkan berkarakter apostolik.

3.3.1        Ireneus dari Lyon, Contro le eresie, 3,1-3: Keuskupan Roma dan komunitas Roma

Tradisi para rasultersebar di seluruhdunia, dapatditemui di setiapGerejaolehmereka yang inginmelihatkebenaran. Kepadakita, sangatmungkinmembuatsebuahdaftar para uskup yang menerimatahbisandari para rasulhinggahariini. [...] Namunkitadapatdibingungkanolehmereka yang karenaberbagaimotivasi, karenakebanggaan, karenakesombongan, karenakebutaan pada kesalahah, harusmengharmonisasikandiridenganGereja universal, yaituumatAllah dimana pun berada. Di dalam mereka terpelihara tradisi-tradisi yang berasal dari para rasul.
Para rasul yang berbahagia, yang mendirikan dan membangun Gereja-Gereja ini, mempercayakannya kepada Linus di tahta petrus untuk menggembalakannya. Linus kemudian dikenang juga oleh Paulus dalam surat kepada Timoteus. AnakletusmeneruskanwarisanLinus, kemudianadaKlemens, yang juga telahmengenal para rasul dan berbicaradenganmereka. Ketikakotbah-kotbahmerekaberkumandang, merekamemilikitradisi yang masihmerekabawa dan merekaterimadari para rasul. Di bawahpenggembalaanKlemesn, adasebuahkekacauan yang tidakkecildiantara para saudara di korintus. Olehsebabitu, Gereja di Roma menulissurat yang sangatmeneguhkankepadaGereja di Korintus, untukmenyerukandamai, menemukanakarimanmereka dan memegangtradisi yang telahmerekaterimadari para rasul.

3.3.2        Ireneus dari Lyon, Contro le eresie, 5, 20,1: Terang Allah hanya disampaikan melalui Gereja

“Jalan-jalan dari mereka yang berada di dalam Gereja mengalir ke seluruh dunia, karena tradisi para rasul itu sungguh-sungguh benar dan solid. Tradisi ini menunjukkan dengan jelas kepada kita semua bahwa hanya ada satu saja iman bagi mereka yang percaya kepada satu Allah Bapa, yang percaya di dalam ekonomi keselamatan Putra Allah dan mengakui rahmat Roh Kudus, yang menjaga hukum-hukum yang serupa, yang memelihara konstitusi gerejawi yang sama, yang menantikan kedatangan Tuhan yang sama. Mereka menantikan keselamatan semua orang. Maka, benar dan solid lah pengajaran Gereja, yang terbuka dan membuka bagi seluruh dunia hanya satu jalan keselamatan. Kepada Gereja telah dipercayakan terang ilahi dan oleh sebab itu, Kebijaksanaan Ilahi, yang menyelamatkan semua orangm melambungkan madah di jalan-jalan, di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya, di atas tembok-tembok ia berseru-seru, di depan pintu-pintu gerbang kota ia mengucapkan kata-katanya (Ams 1,20). Dengan demikian, Gereja mewartakan kebenaran dimana-mana. Gereja adalah sebuah dian bercabang tujuh yang memancarkan sinar Kristus.”

3.3.3        Ireneus dari Lyon, Contro le eresie, 4,33.7-8: Gereja adalah tanda khas tubuh Kristus

“Iaakanmenghakimi juga para penciptaskisma. Merekatidakmemiliki cinta kepadaAllah dan mencarikehendaknyasendiri, bukankesatuanGereja. Karenasebuahalasan yang kecilatauapa saja, merekamembelah dan memecahtubuhKristus yang mulia dan agung, dan sejauhdiberikankepadamereka, merekamembunuhnya. Merekaberbicaratentangdamai, tetapimelakukanperang. Merekamenyelipkanseekornyamuk, tetapimenelanseekor unta. Taksatupundarireformasimerekaitusebandingdengankehancuran yang ditimbulkankarenaskisma.
Iaakanmenghakimisemuaorang yang berada di luarkebenaran, yaitumereka yang berada di luargereja. Tetapiiatidakdihakimiolehsiapapun. Siapapun yang beradabersamaDiatetapakankokoh dan taktergoyahkan. [...] dan inilah gnosis yang benar: doktrin pararasul, semuapengajarangereja di dalamduniaseluruhnya, tanda khastubuhKristus, dijaminolehkesinambungan para uskup dan oleh para uskupdisampaikankepadasetiapGereja. Barangsiapabersekutudengankitaditandaioleh:  kesetiaandalammenjagaKitabSuci, penjelasan yang menyeluruhtanpapenambahan dan pengurangan, pembacaannya yang bebas daritipudaya, penjelasannyameyakinkan, benar, harmonis, bebas daribahaya dan penghujatan.

3.3.4        Ireneus dari Lyon, Adversus Haereses, 3,3,2 (218):  Sentralitas Gereja

Gerejaini, denganberlandaskan pada situasiawalnya yang cemerlang, yang selalusejalandengansetiapgereja, yaitu para umatberiman yang datangdarisegalapenjuru, di dalamGerejainilahselaludipeliharatradisi yang berasaldari para rasul.

3.4        Cyprianus dari Kartago

Kehadiran Roh kudus hanya dalam persekutuan di dalam Gereja, yang dijamin oleh hirarki gerejawi berdasar pada wewenang satu uskup yang valid. Maka, di dalam Gereja yang nampak, harus ada persekutuan uskup, imam dan umat beriman. Dalam buku de cattolicae ecclesiae unitate, Ciprianus menulis bahwa “hanya ada satu Kristus, hanya ada satu Gereja-Nya, hanya ada satu iman dan satu jemaat umat Allah. Di luar ini tidak mungkin ada keselamatan. Maka, habere non potest deum patrem, qui ecclesiam non habet matrem (tidak mungkin memiliki Allah sebagai Bapa, jika tidak memiliki Gereja sebagai Ibu). Perwujudan dari Gereja lokal ini termaktub di dalam diri uskup, para penerus rasul, sedangkan perwujudan Gereja universal berada di dalam kolegium para uskup.
Dalam pemahaman Ciprianus ini, barang siapa tidak bersekutu dengan uskup, dia tidak berada di dalam Gereja. Para uskup sendiri tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan bersekutu dan membentuk sebuah kolegium dengan Petrus yang menjaga kesatuan dalam primasi yurisdiksi. Namun, wewenang Petrus yang menerima mandat berdasar Mat 16,18 bukanlah wewenang mutlak, melainkan sebuah wewenang primus inter pares, sebuah wewenang diantara wewenang yang lain yang menjaga kesatuan diantara para uskup. Dalam cakrawala ini, Ciprianus melihat salus extra ecclesiam non est, yaitu perlunya rasa memiliki pada Gereja sebagai jalan keselamatan.

3.4.1        Cipriano di Kartago, L’unità della Chiesa cattolica, 4-5: kesatuan Gereja yang termaktub dalam wewenang Petrus dan para rasul, yang diteruskan kepada para uskup, merujuk pada kesatuan Kristus.

Jika hanya ada satu yang mendirikan Gereja, maka semua para rasul, setelah kebangkitan, dianugerahi wewenang yang sama: Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga Aku sekarang mengutus kamu. Terimalah Roh kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jia kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada (Yoh 20,21-23). Untuk mewujudkan kesatuan ini, Dia mendirikan satu gereja saja dan menempatkan dengan sabdanya, sebuah wewenang bahwa prinsip dari kesatuan ini berasal dari satu hal saja. Apa yang merupakan wewenang Petrus, tentu juga merupakan wewenang para rasul yang lain. Semuanya turut berpartisipasi di dalamnya. Hal ini mau menunjukkan bahwa iman kepada kristus itu tetap satu saja. [...] Barangsiapa tidak memelihara kesatuan Gereja, mungkinkah dia yakin untuk memelihara imannya? Barangsiapa melawan dan menentang Gereja, mungkinkah dia yakin menjadi bagian dari Gereja? [...]
Kesatuan ini harus kita jaga dan kita bela, terutama kita para uskup, di dalam Gereja dimana kita berada. Dengan demikian kita menunjukkan bahwa wewenang keuskupan kita itu satu dan tidak terbagi. Tak seorangpun boleh menipu sesama saudara dengan kebohongan dan tak seorangpun boleh memecahbelah iman mereka dalam kebenaran dengan kedurhakaan! Keuskupanitusatu, danmasing-masinguskupmemilikibagiannyamasing-masing, tetapi in solido.Demikian juga Gerejaitusatu dan menyebarsangatluasseperticahayamatahari, tetapiterangitusatu. Ranting-rantingpohonadabanyaksekali, tetapihanyasatubatang yang tertanam di tanah dan terikat pada akarnya. […] Darirahimnyakitalahir, dari air susunyakitamenerimamakanan dan darirohnyakitadihidupkan.

3.4.2        Cyprianus dariKartago, L’unità della Chiesa cattolica, 6-7. Kesatuan dengan gereja menunjukkan kesatuan di dalam hukum Allah

“Habere non potest Deum patrem qui Ecclesiam non habet matrem. Allahbersabda: Aku dan Bapaadalahsatu (Yoh 10,30). Demikian juga tertulisbahwaAllahBapa dan AllahPutra dan AllahRohKudusadalahsatu (bdk. 1Yoh 5,7). Nah, dapatkahseseorangyakin bisa memecahkesatuan di dalamGereja, yang berasaldarihukumilahi dan terkaitdenganmisterisurgawi? Dapatkahseseorangmemecahbelahnya dan menentangkehendaknya?
Barangsiapatidakmenjagakesatuanini, diatidakberada di dalamhukumAllah dan tidakberimankepadaBapa dan Putra, dan tidakmemilikikehidupan dan keselamatan.Misterikesatuanini, ikatankerukunan yang sempurnainitelahditunjukkan di dalamInjil, dimana berbicaratentangjubahKristus yang tidakterbagi. Jubahini pada akhirnyatidakdibagi-bagikan, tetapidiundikan, sehinggabarangsiapamengenakanjubahKristus, diamenerimajubah yang utuh dan memilikinyadalambentuk yang tidakterbagi. [...] Tidak bisa memilikijubahKristus, mereka yang memecahbelah dan memisahkanGerejadariKristus.”

3.5        Fulgenzio dari Ruspe

3.5.1        Fulgenzio dari Ruspe, Regola della vera fede, 3,41-42: persekutuan dengan Gereja mengandaikan keselamatan kekal.

Penyelamat kita bersabda: Jika seseorang tidak dilahirkan kembali dalam air dan roh, dia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah (Yoh 3,5). Tak seorangpun, tanpa sakramen pembabtisan, dapat masuk ke dalam kerajaan surga dan kehidupan kekal. Jika seseorang menerima Pembabtisan Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus di dalam salah satu gereja skismatik atau heretik, dia menerima sakramen yang sah, tetapi belum memiliki keselamatan kekal, yang merupakan keutamaan dari sakramen. Dalam hal ini, dia harus kembali ke Gereja, bukan untuk mengulangi sakramen pembabtisan lagi, melainkan untuk menerima di dalam komunitas katolik sebuah kehidupan kekal, yang tidak dapat diterima oleh siapapun jika dia tetap berada jauh dari Gereja katolik. Meskipun dia melakukan banyak tindak cinta kasih dan menumpahkan darah demi nama Kristus, dia tidak akan memilki keselamatan kekal, karena di dalam kehidupan ini dia tidak bersekutu dengan Gereja katolik. Pembabtisan bisa saja dilaksanakan di luar Gereja, tetapi tidak memiliki keutamaan jika tidak berada di dalam Gereja.
Dengan demikian, hanya di dalam Gereja katolik terdapat rahmat pembabtisan, karya kasih dan pengampunan di dalam nama Kristus. Ini terjadi jika orang tersebut hidup dengan baik! [...] Hal ini mau menekankan juga, bahwa kehidupan kekal tidak diperoleh di dalam Gereja katolik hanya melalui pembabtisan saja, tetapi perlu juga hidup dengan baik.

3.5.2        Fulgenzio dari Ruspe, Regola della vera fede, 43: yang baik dan yang jahat di dalam Gereja

Sebuah hal yang sangat pasti dan tidak diragukan lagi bahwa Gereja merupakan tampah Allah, dan di dalamnya hingga sepanjang segala abad, sekam tecampur dengan gandum. Maksudnya, orang-orang fasik dan orang-orang-orang benar bercampur dalam sebuah persekutuan sakramen; dan di dalam berbagai status kehidupan, baik imam, religius dan awam, mereka selalu ada bersama-sama. Tidak boleh kita mengabaikan orang benar demi orang fasik, tetapi harus menopang orang fasik demi orang baik, sejauh membutuhkan iman dan kasih. Maksudnya, jika mereka tidak menyebarkan di dalam Gereja benih-benih ketidaktaatan, dan jika tidak mencemarkan kefasikan kepada yang sesama saudara yang baik lewat contoh-contoh yang mematikan. Tak seorang pun, di dalam Gereja katolik, memiliki iman yang sejati dan kehidupan yang baik, dapat dicemari oleh dosa orang lain, jika dia tidak memberikan konsensus kepada mereka. Sungguh berguna bahwa di dalam Gereja, orang fasik ditoleransi oleh orang benar.Sambil melihat kehidupan yang baik dari orang-orang benar dan mendengar nasehat-nasehat mereka, semoga orang fasik membuang kefasikan mereka dan gentar pada pengadilan Allah yang akan menghakimi mereka karena karya-karya mereka yang bertentangan. Dengan demikian, semoga dengan rahmat Allah, mereka menjadi malu dari kefasikan mereka dan bertobat ke jalan kehidupan yang benar karena belas kasih-Nya.

3.6        Yohanes Krisostomus

Yohanes Krisostomus, Omelie sulla lettera agli Ebrei, 34,1: Harus taat kepada pemimpin yang jahat sekalipun!
Kelemahan dalam ketiadaan otoritas selalu merugikan dan menjadi penyebab dari peristiwa yang menyedihkan. Inilah prinsip ketidakteraturan dan kebingungan. Terutama di Gereja, situasi ini sangat merusak, demikian juga wewenang yang mengaturnya memiliki kerusakan yang lebih besar dan lebih dahsyat. Jika engkau mengambil seorang dirigen dalam koor, engkau tidak akan memiliki ritme dan keharmonisan. Jika engkau mengambil pemimpin dari sebuah barisan, engkau tidak akan memilki keteraturan dan ketepatan dalam barisan. Jika engkau mengambil nahkoda dari kapal, maka engkau akan menenggelamkannya. Demikian juga jika engkau ambil seorang gembala dari kawanan umat, engkau menjadikan kawanan itu kacau balau dan hancur berantakan.
Maka, ketiadaan otoritas adalah sebuah aib dan menyebabkan kekacauan. Tetapi, ini adalah sebuah situasi yang serupa buruknya dengan ketidaktaatan pada otoritas. Masyarakat yang tidak tunduk pada otoritas itu serupa dengan mereka yang tidak memiliki pemimpin. Bahkan bisa lebih buruk lagi. Kelompok tanpa pemimpin, jika jatuh dalam kekacaubalauan, akan menerima indulgenzi karena kekacauan tersebut, sedangkan yang lain, meski memiliki otoritas tetapi tidak taat, akan dihukum. Namun, ada bentuk ketiga dari ketidakbaikan: ketika ditemui seorang pemimpin yang jahat. Saya tahu, bahwa ini bukan kejahatan yang kecil, tetapi bisa lebih jahat dari ketiadaan otoritas. Memang, adalah lebih baik tidak dipimpin oleh siapapun, daripada dipimpin oleh kejahatan!
Paulus menulis: Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, (Ibr 13,17) kemudian, Ingatlah akan pemipin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka (Ibr 13,7). Bagaimana ini harus dipahami? Bagaimana bisa kita harus taat kepada pemipin, jika dia jahat? Apa yang kau pahami tentang kejahatan? Jika yang kau maksudkan itu berkaitan dengan iman, larilah dari padanya dan hindarilah dia, meskipun dia adalah malaikat yang turun dari surga! Namun, jika dia itu jahat di dalam hidupnya, janganlah terlalu memperhatikannya. Nasehat ini bukanlah dari saya, melainkan tertulis dalam Kitab Suci (Mat 23,2-12). Mereka memiliki otoritas, tetapi kehidupan mereka tidak murni. Kamu janganlah mencontoh kehidupan mereka, tetapi perkataan mereka. Mengapa? Karena kondisi mereka itu jelas bagi semua, dan tak seorang pun dari mereka, meski berada di puncak kejahatan, tidak mengajarkan sekalipun hal-hal yang jahat. Tetapi dalam cakrawala iman, kondisi ini tidak jelas bagi semua. Barang siapa jahat, tidak akan malu mengajarkan kesalahan.

3.7        Agustinus

Agostino, Le Lettere, I, 108, 17.20 (kepada Macrobius): nasehat demi kesatuan Gereja.
“Terancamlah kesatuan, sehingga suami pergi ke sebuah gereja dan istri di gereja yang lain. Dan diapun berkata: peliharalah persatuan dengan-ku, karena aku adalah suamimu dan yang lain menjawab: aku, sebaliknya ingin tetap tinggal di dalam persekutuan dengan bapaku. Dengan cara sepertiini, kitamemecahbelahKristus di atas ranjang yang sama. Dengankebenciankitamembagitempattidur. Terancamlahkesatuan, ketikasanaksaudara, sesamawarga, sahabat, bahkan para tamu dan siapa saja yang bersekutudenganoranglainolehikatanrelasimanusiawi, umatkristiani yang satu dan sama, akansetujudan sepakatketikaberbicaratentangperjamuan, tentangperkawinan, tentangmembeli dan menjual; merekapercaya pada perjanjian dan kesepakatan, dalammemberisalam, dalammenutupsebuahperjanjian, dalampermbincangan, dalamseluruhkegiatan dan pekerjaan, ... namunberselisih di depan altar Allah. Dimana di siniharusberakhirperpecahan, meskiberatpermasalahan dan apapunpenyebabnya, di sinilahmerekaseharusnyasalingberdamaidengansesamasaudara dan bersama-sama mempersembahkananugerah-anugerah yang merekaterimakehadapan altar. Namun sungguh-sungguh di sini tercipta perpecahan, sementara di tempat lain kesatuan. Saudaraku terkasih, marilah kita menerima damai Kristus dan menjaganya bersama-sama. Dalam ukuran Allah memberikan kepada kita rahmat-nya, marilah kita belajar untuk menjadi baik. Selamatkanlah persatuan, dengan saling melayani melalui berbagai peratutan. Marilah kita bersama-sama menuntun mereka yang keliru pada jalan yang benar. Demi cinta kasih pada kesatuan, marilah kita menghormati dengan segala kesabaran yang mungkin. Marilah kita hindarkan, seperti diperingatkan Kristus kepada kita, membuang biji gandum juga bersamaan dengan membuang alang-alang sebelum waktunya.”

3.8        Eusebio dari Cesarea

3.8.1        Eusebio, Storia ecclesiastica, 4,23: Uskup Dionisius dari Korintus memuji karitas dan kemurahan hati Gereja di Roma

Saya harus berbicara sekarang tentang Dionisius, yang sedang menjabat sebagai Uskup di Gereja Korintus, yang memperlebar semangat kekudusannya tidak hanya kepada mereka yang dipercayakan kepadanya di dalam keuskupannya, tetapi juga di daerah-daerah yang lain... kepadanya telah dikirimkan sebuah surat kepada jemaat Roma, yang tertuju kepada Uskup Soterus (paus selama 8 tahun antara 166-175). Dalam surat tersebut dia memuji kebiasaan orang-orang roma selama masa penganiayaan jemaat kristiani. Dia menuliskan demikian, “sejak awal mula telah menjadi kebiasaan kalian untuk membantu para sesama saudara yang membutuhkan di berbagai Gereja dan di berbagai kota. Dalam hal ini, anda telah memperhatikan para kebutuhan para saudara yang berkekurangan dan hidupnya di terpinggirkan. Sungguh-sungguh karena bantuan tersebut yang terus menerus anda kirimkan, anda sebagai orang roma telah memelihara tradisi kuno yang kalian wariskan secara turun-temurun. Sosterus, uskup kalian yang mulia, tidak hanya memelihara waristan tersebut, tapi juga telah mengembangkannya seperti seorang ayah yang sungguh-sungguh mencintai anak-anaknya”.
Dalam surat yang sama, Uskup Dionisius juga mengenang surat Uskup Clemens kepada jemaat di Korintus, dengan menyatakan juga bahwa surat yang dia tulis pun dibacakan di dalam Gereja. Inilah yang ditulisnya, “hari ini kita merayakan hari Tuhan, kami membaca surat yang anda kirimkan, dan akan kami lanjutkan terus membacanya, sebagaimana kebiasaan kami ketika menerima surat dari uskup Clemens”.

3.8.2        Eusebio, Storia ecclesiastica, 5,22-24: perbincangan tentang Paska antara Uskup di Roma dan Uskup dari Asia

Sedang bergejolak di masa itu (sekitar tahun 189 pada pemerintahan Kaisa Commodo), sebuah kontroversi yang tidak ringan di dalam Gereja. Permasalahan pokoknya adalah bahwa Gereja-Gerjadi Asia kecil, berdasarkan tradisi sangat kuno, merayakan paska pada hari pertama hari roti tak beragi, hari ke-14 bulan purnama, ketika menurut tatanan yahudi dikurankan anak domba dan bahwa pada hari itu juga, puasa mencapai batas akhir. Namun sebaliknya, Gereja-gereja di tempat lain tidak mengikuti tradisi kuno ini dan berdasar pada sebuah tradisi apostolik hingga sekarang, tetap dipegang kebiasaan untuk tidak menghentikan puasa jika tidak pada hari kebangkitan Tuhan. Maka, berkaitan dengan permasalahan ini, berkumpullah sinode dan asemblea para uskup dan dalam kesatuan hati semuanya menyatakan bahwa tidak boleh merayakan misteri kebangkitan Tuhan di hari lain selain hari minggu dan hanya pada hari ini sajalah hukum puasa tidak berlaku.
Masih disimpan hingga hari ini surat dari para uskup di Palestina yang berkumpul di bawah penggembalaan Teofilus, Uiskup di Cesarea dan Narcisus, uskup di Yerusalem. Surat dari para uskup yang berkumpul di Roma berkaitan dengan problematika ini juga tersimpan dengan tanda tangan Uskup Viktor. Surat dari para uskup Ponto (uskup tertua) yang berada di Palma juga masih ada di sini. Surat dari komunitas di Gallia, dimana Ireneus adalah Uskupnya tersimpan dengan baik. Masih ada juga surat dari para uskup di Osroene dan dari kota-kota di sekitarnya, secara khusus dari Bacchillo, uskup di Korintus, dan banyak surat yang lain. Semua menyatakan opini yang serupa, mengambil keputusan yang sama dan memberikan bobot yang sama. Apa peraturan yang mereka putuskan secara bulat, telah diungkapkan. [...]
Para uskup di Asia, yang mendukung kesetiaan pada tradisi yang mereka warisi dan di bawah penggembalaan Policratus, menulis surat kepada Viktor dan Gereja di Roma, menjabarkan tradisi yang mereka terima begini: “Kami merayakan hari paska yang benar, dan tidak kita menambahi atau mengurangi sesuatupun dari tradisi. [...] Para orang kudus yang dimakamkan di sini [Filipus beserta kedua anaknya Yohanes, Polikarpus (martir dan Uskup di Smirna), Trasea (martir dan uskup di Eumenia)], merayakan paska pada hari keempatbelas tanpa mengubah peraturan. Demikian juga saya, Policratus, yang terkecil diantara anda semua, saya memgang tradisi dari para orang tua dan dari para pendahulu saya. Ada tujuh uskup yang sudah mendahului saya. Mereka selalu merayakan paska pada hari dimana umat yahudi berpuasa dari roti beragi. Saya sudah enampuluh lima tahun di dalam Tuhan. Saya selalu berkomunikasi dengan sesama saudara di seluruh dunia. Saya membaca seluruh Kitab Suci. Saya tidak akan takut oleh ancaman. Seseorang yang lebih besar dari pada saya menulis: Taatilah pertama-tama Allah dari pada manusia  (Kis 5,29).
Oleh sebab itu, para uskup yang hadir dalam pembentukan surat ini, kami sama-sama sehati dan sejiwa [...] mereka menyetujui surat saya, dengan menyadari bahwa saya tidak akan memperjuangkan sesuatu yang sia-sia dan saya selalu hidup di dalam Tuhan”.
Ketika menjawab surat ini, pemimpin Gereja di Roma, Viktor, bermaksud memisahkan diri secara langsung dari persekutuan gerejawi dari semua komunitas di Asia dan Gereja-gereja di sekitarnya, melalui sebuah surat ancaman terbuka bahwa semua umat beriman di daerah itu akan mendapat ekskomunikasi. Namun, hal ini tidak menyenangkan semua uskup  dan banyak diantara mereka menasehatinya supaya memiliki semangat damai, persekutuan dan cinta kasih pada sesama. Masih di simpan di sini beberapa surat reaksi dari para uskup tersebut yang sangat keras dan mengecutkan hati Viktor, Uskup Roma. Diantara mereka ada Ireneus, yang menulis surat atas nama saudara-saudara di Gallia. Dia setuju bahwa harus dirayakan misteri kebangkitan pada hari minggu saja, namun dia juga menganjurkan Viktor agar tidak mengekskomunikasi seluruh Gereja Umat Allah yang terus menghidupi warisan yang mereka terima. Diantara beberapa nasehat, Ireneus menuliskan: kontroversi ini tidak hanya menyangkut soal hari, tapi juga bentuk dari puasa tersebut (berkaitan dengan puasa ketat yang mendahului pesta Paska, dan bukan saat pra paska). Beberapa menyatakan bahwa harus berpuasa sehari sebelum paska, yang lain dua, yang lain berbeda harinya lagi, sementara yang lan harus berpuasa empat puluh jam siang malam tanpa henti hingga hari ini. Kebisaan ini tidak muncul di tengah-tengah kita, namun sudah sejak lama dilakukan juga oleh para pendahulu kita. Mereka, tidak cukup cerdas mungkin, mewariskan kepada anak cucuk sebuah tradisi karena ketidaktahuan mereka. Namun, mereka hidup dalam damai dan hingga sekarang kita hidup dalam damai diantara kita: perbedaan praktek puasa meneguhkan kesatuan iman.”
Melihat ini semua, saya perlu menyampaikan sebuah pertimbangan yang sangat penting: para imam dan uskup di Roma, sebelum Sosterus menggembalakan Gereja, ada Anicetus dan Pius, Igino dan Telesforo dan Sixtus, tak satupun dari mereka menggunakan tradisi dari Asia atau memaksakan kebiasaan itu pada umatnya. Namun demikian, mereka tetap tinggal dalam damai dengan umat yang berasal dari gereja lain yang mempraktekkan tradisi tersebut. Demikian juga ketika Beato Policarpus datang ke Roma pada saat Anicetus, karena sedikit perbedaan pandangan, merekapun segera menyampaikan salam damai dengan berpelukan dan tentang argumen ini tidak banyak dibicarakan. Memang, Anicetus tidak bisa membujuk Polikarpus untuk mengabaikan tradisi yang sudah dihidupinya bersama dengan Yohanes, murid Kristus dan para rasul lain. Demikian juga Polikarpus tidak membujuk Anicetus yang merasa harus mempertahankan kebiasaan dari para imam dan pendahulunya. Meskipun perbedaan tetap ada, mereka tetap tinggal dalam persekutuan, dan Anicetus, sbagai penghormatan kepada Policarpus, memberikan kesempatan kepadanya untuk merayakan Ekaristi di Gereja di Roma. Pada akhirnya mereka berpisah dalam damai. Di seluruh Gereja, damai meraja, baik mereka yang mengikuti maupun tidak mengikuti tradisi dari Gereja Asia.

3.9        Tertullianus

Konsep tentang Gereja yang dimilikinya sangat berkarakter montanistik: ubi tres, ecclesia est, licet laici. Dimana ada tiga orang berkumpul, di situ ada Gereja, meski hanya awam saja.
Gereja pada mulanya hanya satu. Kesatuan ini termaktub dalam diri Petrus. Primasi kuasa Petrus adalah mengikat dan melepaskan. Namun, kuasa ini hanya ada pada Petrus, tidak diteruskan kepada para uskup yang lain.
Satu-satunya sumber kebenaran dan iman, prinsip-prinsip dasar yang menjamin kebenaran iman adalah apostolisitas Gereja, tradisi apostolik dan regula fidei.
Tertullianus memiliki konsep Gereja trinitaris. Maksudnya, dimana Uskup, Imam dan Diakon berkumpul, di sana ada Bapa, Putra dan Roh Kudus yang hadir. Dimana ada Gereja jayalah hirarki ini. Inilah pandangan Tertullianus yang berkarakter montanis(bdk. de babtismo 6,2 / de pudicitia 21,16 / Mt 18,12)

3.9.1        Tertullianus, La prescrizione contro gli eretici, 36: asal mula keapostolikan Gereja

Jika engkau ingin memuaskan rasa ingin tahumu tentang kesehatanmu, cobalah mengevaluasinya melalui Gereja apostolik, dimana hingga saat ini, tahta para rasul dipelihara. Di sinilah ditemukan surat-surat asli dari para rasul, dimana masih menggema suara mereka dan kita masih menghidupinya.
ApakahengkautinggaldekatAcaia? Di sanaadaKorintus. Jikaengkautidakjauhdari Macedonia, engkaubisapergikeFilipidanTesalonika.Jikaengkaupergike Asia, di sanaadaEfesus. Jikaengkayberada di italia, ada Roma... jugakepada kami adawewenang para rasul.
Gereja di Roma ini adalah Gereja yang sangat berbahagia! Sejak semula para rasul sendirilah yang telah memberikan semua pengajaran melaluikemartiran. Ini adalah Gereja dimana Petrus mengalami kematian sejajar dengan Yesus; dimana Paulus dimahkotai kemartiran seperti YohanesPembabtis; dimana rasul Yohanes ditenggelamkan dalam minyak yang mendidih dan keluar dari wajan minyak itu tanpa luka sedikitpun (berita dari Tertullianus dan disebarkan oleh Hieronimus). Kita melihat apa yang Gereja telah pelajari, apa yang menandai Gereja di Roma, dan kesaksian apa yang diberikannya. Juga bersama dengan Gereja di Roma, Gereja di Afrika pun memberikan kesaksian.
Baik, maka Gereja di Roma mengenal hanya satu Allah, pencipta dunia dan akan Yesus Kristus, lahir dari Perawan Maria, Putra Allah Sang Pencipta; dan kebangkitan badan. Gereja ini mempersatukan hukum dan para nabi  secara terintegratif dalam Injil dan dalam surat-surat par rasul. Dari sini ditimba imannya, memeteraikan dengan air (pembabtisan), mengenakan padanya dandanan Roh Kudus, memeliharanya dengan roti ekaristi dan terus memompanya dengan kemartiran dan menentang setiap lawan dari doktrin ini.

3.10     Hieronimus, Le lettere a papa Damaso, I, 15, 1-2: mengapa berkonsultasi pada katedral Petrus?

Dengan berbagai kekerasan yang berlangsung berabad-abad, bangsa-bangsa di Timur terus menerus dan mencabik-cabik jubah Tuhan yang ditentun dari atas ke bawah tanpa jahitan. Rubah menghancurkan kebun anggur Kristus. Di tengah-tengah sumur air yang retak dan tanpa air, sangat sulit untuk memahami dimana engkau akan menemukan sebuah mata air yang termeterai, kebun yang tertutup oleh pagar, sebagaimana digambarkan oleh kidung agung 4,12.
Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk berkonsultasi dengan katedral Petrus, dimana ditemukan iman yang terpancar dari mulut para rasul. Sekarang aku datang untuk meminta nafkah bagi jiwaku, dimana pada suatu saat aku menerima jubah Kristus (yaitu saat pembabtisan).
Sungguh, sayatidakmengikutitahta yang lain selaintahta Petrus. Olehsebabitu, saya menempatkandiri pada persekutuandengankatedral Petrus. Saya tahubahwadi atas batu (pietra) inididirikanGereja. Barangsiapamenikmatianakdomba di luarrumahini, diaadalahkegelapan. Barangsipatidakberada di dalambahteraNuh, diaakantenggelam pada saat air bah.




Pustaka
Aa.Vv., La teologia dei padri: testi dei padri latini, greci orientali scelti e ordinati per temi, Vol. IV, Città Nuova, Roma 1975
Altaner, M., Patrologia, Marietti, Torino 1977
Congregazione per l'educazione cattolica, “Istruzione sullo studio dei padri della chiesa nella formazione sacerdotale”, http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccatheduc/documents/rc_con_ccatheduc_doc_1989 1110_padri_it.html (19.49, 26 Februari 2014)
Fiedrowicz, M., Teologia dei padri della Chiesa: Fondamenti dell’antica riflessione cristiana sulla fede, Queriniana, Brescia 2010

Pustaka dari Internet
http://www.intratext.com/
http://www.newadvent.org/fathers/
http://www.ccel.org/fathers.html

Diambil dari bahan Kuliah  Alfonsus Widhi,SX


[1]Paragraf ini merupakan rangkuman dari dokumen Instruksi tentang studi para bapa gereja dalam formasi imamat. Bdk. Congregazione per l'educazione cattolica, istruzionesullo studio dei padri della chiesanella formazione sacerdotale, http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccatheduc/documents/rc_con_ccatheduc_doc_1989 1110_padri_it.html (19.49, 26 Februari 2014)
[2] Teks diterjemahkankn dari Aa.Vv., La teologia dei padri: testi dei padri latini, greci orientali scelti e ordinati per temi, Vol. IV,Cuittà Nuova, Roma 1975

Prof Mr. Stefanus Munadjat Danusaputro


Prof Mr. Stefanus Munadjat Danusaputro.(Foto/Buku Wawasan Nusantara) 

Prof. Mr. Stefanus Munadjat Danusaputro atau dikenal dengan nama Prof. Mr. St. Munadjat Danusaputro lahir tanggal 30 April 1920 di Salatiga. ia menikah dan mempunyai 5 orang anak.

PENDIDIKAN
a. 1936-1941: HIK-Muntilan
b. 1943-1944: Kogyo Renseisho

Guru besar Ilmu Hukum Lingkungan UNPAD, yang dirangkapnya dengan UNPAR dan UNDIP serta USU dan UNHAS, pula menjabat Widyaiswara dan Penasehat Ahli Lemhannas, di samping Guru Besar SESKOGAB dan SESKO-SESKO dan SESPA bidang Wawasan Nusantara dan Hukum Laut dan lingkungan; Anggota PANKORWILNAS dan PANJATAP Departemen P dan K sebagai Ketua Team Penyebarluasan Wawasan Nusantara, dan anggota Satgas Pendidikan Pancasila.

Di bidang pemerintahan, menjabat: Asisten khusus Menteri Kehakiman dan Menteri PPLH Bidang Hukum Lingkungan dan Internasional, selagi bertugas sebagai delegasi RI ke pelbagai Konferensi Internasional, dan duduk sebagai anggota terpilih “International Council of Environmental Law” (ICEL) dan “Commission on Environmental Policy, Law and Administration” (CEPLA).

Di bidang diplomatik, pernah menjabat Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Nederland, Jerman, dan Swiss (1953-1959). Jabatan-jabatan Tinggi lain yang pernah dijabatnya: Sekretaris Depernas (1959-1960), Sekretaris Jenderal MPRS (1960-1966), Menteri Negara/sekretaris Presiden (1966-1967), Asisten IV Bina Graha (1967-1975).

Semula bekerja sebagai Guru keluaran HIK (1940), kemudian ia berpengalaman sebagai Guru TK-SD-SMP dan Sekolah Pelayaran di Semarang sebelum menjabat Guru SMA di Yogyakarta dan Dinas Militer pada Markas Besar TRI. Untuk kemudian melanjutkan Studi Hukum pada Univ. GAMA dan Univ. LEIDEN (Nederland) serta spesialisasi Hukum Internasional pada ACADEMIE DE DROIT INTERNATIONAL.


1. Seri STRATEGI DAN KETAHANAN NASIONAL (terbitan BINACIPTA-Jln. Ganesha 4-Bandung)

Buku I : INDRA JAYA (Indonesia Raya dalam jalan silang dunia)
Buku II : ASTRA JAYA (Asia Tenggara dalam jalan silang dunia)
Buku III : ASTA GATRA (Metode Ilmiah Komprehensif dan Tata Pendekatan Asta Gatrak)
Buku IV : VIETNAM (Dalam perkembangan ASTRA JAYA)
Buku V : FALSAFAH PENDIDIKAN AKABRI dan Asta Gatra Indonesia

2. Seri WAWASAN NUSANTARA (terbitan ALUMNI-Jln. Geusanulun 17, Bandung): (Pengantar + 11 Buku)
Buku Pengantar : TATA LAUTAN NUSANTARA (Dalam sejarah dan hukumnya)
Seri II (sebelas) buku
Buku I : Wawasan Nusantara (Dalam ilmu, politik, dan hokum)
Buku II : Wawasan Nusantara (Dalam Implementasi dan Implikasi Hukumnya)
Buku III : Wawasan Nusantara (Dalam Pendidikan dan Kebudayaan)
Buku IV : Wawasan Nusantara (Dalam Hukum Laut Internasional)
Buku V : Wawasan Nusantara (Dalam Gejolak Teknologi dan Konstitusi Laut dan Samudera)
Buku VI : Wawasan Nusantara (Dalam Azas dan Filsafat serta Metodologinya)
Buku VII : Wawasan Nusantara (Dalam Strategi Pembangunan dan Ketahanan Nasional untuk menyongsong Konvensi Hukum Laut Baru)
Buku VIII : Wawasan Nusantara (Dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982)
Buku IX : Wawasan Nusantara (Dalam Penyuluhan dan Pendidikan tingkat SL dan Sederajat)
Buku X : Wawasan Nusantara (Dalam Penyuluhan dan Pendidikan tingkan SD dan sederajat)
Buku XI : Wawasan Nusantara (Dalam Metodik dan Didaktik Sastra dan Nada)

3. Seri HUKUM LINGKUNGAN HIDUP (Dalam Asas dan Sistem, serta Perkembagan Nasional dan Internasional) (Terbitan BINACIPTA-Jln. Ganesha 4, Bandung: (12 Buku)

Buku I : UMUM
Buku II : NASIONAL
Buku III : REGIONAL
BUKU IV : GLOBAL
BUKU V : SEKTORAL (berisi 8 Jilid); Hukum Lingkungan Nusantara
Jilid 1: Dalam UU No. 4 Tahun 1982; (1.b): In Indonesia’s Act No. 4 of 1982
Jilid 2: Dalam Sistem Nasional dan Internasional
Jilid 3: Dalam Sistem Pengelolaan Lingkungan
Jilid 4 : Dalam Sistem Analisis Dampak Lingkungan
Jilid 5: Dalam Pencemaran Lingkungan
Jilid 6: Dalam Konservasi Alam
Jilid 7: Dalam Swadaya Masyarakat
Jild 8: Dalam Pendidikan dan Latihan Lingkungan

4. Seri KONVENSI PBB TENTANG HUKUM LAUT 1982 (Terbitan Mutiara Jln. Pulokambing Jakarta: 17 Buku:

Buku I : Konstitusi Laut dan Samudera
Buku II : Mukadimah dan ketentuan penutup
Buku III: Laut Wilayah dan Zona tambahan
Buku IV : Zona Ekonomi Eksklusif
Buku V : Selat Digunakan untuk Pelayaran Internasional
Buku VI : Negara Kepulauan
Buku VII: Landasan Kontinen
Buku VIII: Laut Lepas
Buku IX : Pulau dan Laut tertutup serta Negara terkurung daratan
Buku X : Wilayah Internasional (1)
Buku XI: Wilayah Internasional (2)
Buku XII: Perlindungan lingkungan Laut
Buku XIII: Penelitian Ilmiah Laut
Buku XIV: Alih teknologi Laut
Buku XV: Penyelesaian Sengketa
Buku XVI: Ketentuan Umum dan Lampiran
Buku XVII: Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut

5. Seri WAWASAN NUSANTARA DAN INVIRONMENTAL LAW (Terbitan berbagai penerbit Luar Negeri dan dalam Negeri: (17 buku):
Buku I :Quelque Remarques Sur le Nusantara
Buku II : La Ligne de demarcartion d’ Alexandre VI
Buku III : Kurzer Grundriss de Geschichte Indonesiens
Buku IV: Die Moralische Kraft der Ideen und Grundsaetze im Leben Eines Staates Und Volkes
Buku V: Eenige Aantekeningen betreffende het Onderwijs
Buku VI: Wawasan Nusantara and the International Sea-System
Buku VII: The International Sea-system in Perspective
Buku VIII: The Struggle for a new International Order On Seas and Oceans
Buku IX: Environmental Legislation and Administration in Indonesia
Buku X: Regional Arrangement on Legal Development. An ASEAN Perspective
Buku XI: The Marine Environment of South East Asia
Buku XII: Environmental Education and Training
Buku XIII: Environmental Law in Asian-African Identity
Buku XIV: Toward an ASEAN Environmental Law
Buku XV: Asian-Africa Identity in World Affairs
Buku XVI: Indonesian Contribution and Suggestions (on “regionalism”)
Buku XVII: Marine Pollution Control and Prevention through regional arrangements in South East Asia

JABATAN
a. Guru Besar ilmu Hukum Lingkungan Hidup UNPAD, yang dirangkapnya dengan UNDIP, USU, UNHAS, UNPATTi, UNPAR, UNPAS, UNKRIS, ATMA JAYA, dan STHB.
b. Widyaiswara dan Staf Ahli Lemhannas, pula Guru Besar lb. SESKO-SESKO MATRA dan SESKO ABRI dan SESPA bidang Wawasan Nusantara dan Hukum Laut
c. Di Administrasi Pemerintah
1. Senior Scientist BPP-Teknologi Menteri Negara RISTEK.
2. Ketua POKJA Pengkajian Hukum Lingkungan dan Anggota POKJA Hukum Laut BPHN-Dep. Kehakiman.
3. Ketua PANJATAP Penyebarluasan Wawasan Nusantara dan Anggota POKJA Pendidikan Pancasila DEPDIKBUD
4. Penasehat FK-PPKA (Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Kesejahteraan Anak .
d. Di bidang Internasional
1. Advisory Counsellor UN-ESCAP for Marine Environmental
2. Anggota terpilih ICEL (International Council of Environ Law) dan CEPLA (Committee on Environmental Policy, Law and Administration
3. Regional Governor ICEL-Region I (Asia and the Pacific : 1986-1989

PENGALAMAN
1. 1942-1946: Guru TK-SD-SMTP dan Sekolah Pelayaran Semarang, kemudian Guru SMTA Yogyakarta
2. 1946—1950: Militer, Kapten AD di Markas Besar TRI dan Kementerian Pertahanan
3. 1953-1959: Diplomatik, Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Nederland, Jerman dan Swiss.
4. 1959-1960: Politik, Sekretaris DEPERNAS (Dewan Perancang Nasional)
5. 1960-1966: Sekretaris Jendera MPRS
6. 1966-1967: Menteri/Sekretaris Presiden RI
7. 1967-1975: Asisten IV Bina Graha
8. 1975-1985: Asisten Khusus Menteri Kehakiman dan Menteri PPLH
9. 1952-1985: Ketua c.q Anggota Delegasi RI ke Konferensi UNESCO, Konferensi PBB tentang Hukum Laut dan Hukum Lingkungan, serta Konferensi Regional ESCAP dan AALCC

PENGHARGAAN
1. Bintang Setyalancana Kemerdekaan (1973)
2. Veteran Pejuang Kemerdekaan RI (1982)
3. Bintang Setyalancana Dwidya Sistha Satu (1973)
4. Bintang Setyalancana Dwidya Sistha Dua (1981)
5. Bintang Setyalancana Dwidya Sistha Tiga (1989)
6. Penghargaan Guru Teladan (1943)
7. Penghargaan Pegawai Teladan (1944)
8. Penghargaan MPR-S; REPELITA; LEMHANNAS; ICEL/CEPLA; AALCC; UN-ESCAP


Sumber:

1. St. Munadjat Danusaputra. 1992. Hukum Lingkungan Hidup Buku V: Sektoral Jilid IV. Bandung: Binacipta. Hlm. XI-XIII).

2. St. Munadjat Danusaputra. 1986. Hukum Lingkungan Hidup Buku V: Sektoral Jilid 5. Bandung: Binacipta. Hlm. V-VIII.

Penulis: Silvester Detianus Gea

Hubertus Soejono, Tokoh Katolik

Hubertus Soejono dan rekan-rekan
Soejono adalah seorang perwira muda, sekaligus penganut agama Katolik. Pada akhir tahun 1948, Soejono dikirim oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Sumatera. Ia mengembang tugas untuk membangun lapangan udara di salah satu kota di Sumatera. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer kedua, sehingga Soejono terhambat untuk melaksanakan tugas tersebut.[1] Pada waktu itu, selain Soejono, Syafruddin Prawiranegara berkunjung pula ke Sumatera. Pada tanggal 22 Desember 1948, Soejono bersama pejabat-pejabat Republiken lainnya membentuk PDRI. Soejono seorang Angkatan Udara dengan pangkat paling tinggi di antara mereka. Menurut Rosihan Anwar, pada masa colonial, Soejono adalah Letnan KNIL. Ia pernah belajar di sekolah penerbangan Belanda di Kalijati. Ia ditunjuk sebagai Kepala staf Angkatan Udara (KSAU) PDRI pada saat KSAU RI berada di Yogyakarta. pangkat Soejono pada saat itu naik dari Opsir Udara II menjadi Komodor. Angkatan Udara PDRI pimpinan Soejono hanya mempunyai pesawat pemancar radio, yang sangat penting bagi PDRI pada masa itu. Mereka memang tidak punya pesawat terbang

Soejono memiliki jasa besar yaitu membangun jaringan sender radio (pengirim pesan) sebanyak enam buah di Sumatera sehingga PDRI dapat berkomunikasi ke Jawa dan luar negeri.[2] Sutan Muhammad Rasjid dalam autobiografinya pun mengakui: “Anggota-anggota AURI di bawah pimpinan Soejono, sangat besar jasanya dalam memelihara sender-sender tersebut. Meskipun dalam keadaan yang cukup sulit, mereka dapat menyelamatkan sender-sender yang ada. Soejono bersama pasukan lainnya melakukan sabotase jembatan antara payakumbuh dan koto-tinggi untuk menghambat tentara Belanda. Ketika mereka melakukan gerilya, banyak hambatan termasuk menyalakan radio pemancar. Mereka butuh generator listrik dan bahan bakar minyak. Ketika bensin tak ada, minyak tanah yang berkaleng-kaleng dari Muara Tebo, Jambi, digotong oleh Soejono dan 40 anak buahnya.[3]

Sejak Desmber 1948, selama berbulan-bulan, Soejono dan Republiken PDRI lain bergerilya di hutan. Tempat Soejono bertugas termasuk daerah yang mayoritas penganut agama Islam, yakni Mingkabau dan Jambi. Soejono sangat menghormati agama rekan-rekannya, sehingga ia ikut puasa, ketika bulan puasa tiba. Soejono seorang Katolik-Jawa dengan nama baptis Hubertus. Akhirnya, PDRI resmi bubar pada Juli 1949 setelah Prawiranegara menyerahkan mandat ke Hatta.

DAFTAR PUSTAKA

Rosihan Anwar dalam In Memoriam (2004).
In Memoriam (2004)
Mustika Zed dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1997)
[1] Rosihan Anwar dalam In Memoriam (2004).
[2] Ibid, In Memoriam (2004)
[3] Mustika Zed dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1997)

Penulis: Silvester Detianus Gea

Jendral Oerip Soemohardjo, Tokoh Katolik

Jendral Oerip Soemohardjo
Jenderal TNI (Anumerta) Oerip Soemohardjo lahir dengan nama Muhammad Sidik (“Muhammad Kecil”) [1] pada tanggal 22 Februari 1893. Ia adalah seorang mantan Tentara KNIL yang beragama Kristen Katolik.[2] Ia anak pertama pasangan Soemohardjo dan seorang perempuan dari Putri Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, bupati Trenggalek.[3] Sidik memiliki dua orang adik lima orang. Adik laki-lakinya bernama Iskandar dan Soekirno.[4] Sidik termasuk anak yang nakal, namun kenakalan itu ditunjukkan melalui kemampuannya memimpin sejak kecil. Sidik sering memimpin kelompok anak-anak dikampungnya ketika pergi memancing dan bermain sepak bola. Sidik sekolah di sekolah khusus untuk orang jawa yang dikepalai oleh Ayahnya sendiri. Pada tahun kedua Sidik masuk sekolah, ia terjatuh dari pohon sehingga kehilangan kesadaran.[5] Setelah kejadian itu ibunya mengirim surat kepada Widjojokoesoemo yang menjelaskan bahwa nama Sidik sebagai penyebab perilaku buruknya.[6] Widjojokoesoemo pun membalas dengan memberikan saran agar nama Sidik diganti dengan Oerip. Oerip dalam bahasa Jawa berarti Selamat.[7]

Orangtua Oerip menginginkan agar dia mengikuti jejak kakeknya menjadi seorang bupati. Oerip kemudian dimasukkan ke Sekolah Putri Belanda (ELM=Europese Lagere Meisjesschool), ia dikirim ke sekolah tersebut karena sekolah untuk putra telah penuh. Orangtua Oerip berharap agar ia mampu meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Belanda. Setelah melewati satu tahun disekolah ELM, ia pindah ke sekolah Belanda untuk putra.[8] Pada waktu itu nilai-nilai Oerip agak kurang bagus.[9] Oerip sering mengunjungi teman ayahnya seorang mantan tentara yang ada di Aceh. Tujuan Oerip mengunjungi teman ayahnya adalah untuk mendengarkan cerita-cerita. Ia mendapatkan inspirasi dari cerita-cerita teman ayahnya sehingga Oerip memutuskan untuk bergabung dengan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[10]

Pada tahun 1908 Oerip pindah ke Magelang setelah lulus ujian calon pegawai negeri dan hendak melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (Opleidingsschool Voor Inlandse Ambtenaren/OSVIA).[11] Pada tahun 1909 adik-adik Oerip menyusul untuk sekolah di OSVIA. Pada tahun yang sama ibunya meninggal dunia dan membuat dia depresi. Setelah lulus dari OSVIA, Oerip mendaftarkan diri ke Akademi Militer di Meester Cornelis, Batavia (Jatinegara-Jakarta). Oerip berangkat dari Magelang dengan pamit kepada adik-adiknya.[12] Sebenarnya ayahnya tidak menginginkan dia untuk masuk ke dalam dunia kemiliteran. Orangtua Oerip menginginkan agar dia mengikuti jejak kakeknya menjadi seorang bupati.[13] Soemohardjo berusaha membujuk agar Oerip kembali ke OSVIA dengan memberikan uang 1.000 gulden. Oerip tetap pada pilihannya, sehingga Ayahnya terpaksa menyetujui pilihannya.[14] Pada tahun 1914 Oerip lulus dengan pangkat Letnan KNIL.[15]

Setelah lulus dari KNIL Oerip mengunjungi ayahnya yang ada di Purworejo, kemudian kembali lagi ke Meester Cornelis (Jatinegara). Oerip menjabat Batalion XII di Meester Cornelis, walaupun ia satu-satunya pribumi.[16] Setelah satu setengah tahun menjadi Batalion XII di Meester Cornelis, Oerip ditugaskan ke Banjarmasin. Oerip melewati masa-masa patrol di hutan belantara Puruk Cahu dan Muara Tewe. Setelah itu Oerip di tugaskan di Tanah Grogot dan selanjutnya ke Balikpapan. Ketika ditempatkan di Balikpapan, Oerip dipromosikan menjadi Letnan satu, tetapi ia menghadapi diskriminasi dari tentara Belanda karena ia berasal dari kalangan pribumi. Ketika Oerip di Banjarmasih, ia meyakinkan komandannya agar mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan perwira pribumi bergabung dengan tim sepak bola. Pada tahun 1917 Oerip menerima status hukum yang sama dengan tentara Belanda. Setelah selesai bertugas di Balikpapan, ia ditugaskan di Samarinda, Tarakan dan Malinau.[17] Ketika di Malinau, Oerip melakukan patrol di perbatasan Kerajaan Sarawak yang dikuasai oleh Hindia Belanda dan Inggris. Oerip bertugas untuk mencegah konflik dan pengayauan antara Suku Dayak. Oerip mengalami pengalaman yang kurang baik setelah tujuh tahun bertugas di Borneo. Pada suatu hari setelah selesai patrol, Oerip menemukan rumahnya di bakar. Berdasarkan rekomendasi seorang dokter, Oerip kembali ke Jawa. Oerip akhirnya mengistirahatkan diri selama beberapa bulan di Cimahi. Pada tahun 1923 Oerip dapat pulih total dan ditempatkan di Purworejo. Pada bulan September 1925 Oerip ditugaskan di Marechaussee te Voet, sebuah unit militer bentukan KNIL yang ada di Semarang. Di sinilah Oerip berkenal dengan Rohmah Soebroto, putri dari Soebroto seorang guru bahasa Jawa dan Melayu yang merupakan kerabat jauh R. A. Kartini.

Pada tanggal 7 Mei 1926 mereka melangsungkan pertunangan. Mereka kemudian melangsungkan pernikahan pada tanggal 30 Juni 1926 di Magelang.[18] Latar belakang penggunaan nama Soemohardjo adalah syarat dari pihak belanda, jika Oerip mengurus sesuatu yang berkaitan dengan Belanda. Maka pada akhirnya Oerip menyebut nama lengkapnya sebagai Oerip Soemohardjo.[19] Pada tahun pertama pernikahannya, Oerip menetap di Ambarawa bersama dengan isterinya. Oerip menjalankan tugas untuk membangun kembali Unit KNIL yang telah dibubarkan.[20] Oerip juga menjadi pelatih Prajurit Lokal mengambil alih tugas komandan Belanda yang masih belum tiba. Berkat segala aktivitas yang dilakukan oleh Oerip, ia pun dipromosikan menjadi Kapten.[21] Pada tahun 1928 Komanda Belanda tiba di Ambarawa dan Oerip mendapatkan cuti selama satu tahun untuk jalan-jalan ke Eropa bersama dengan isterinya. Ketika kembali dari jalan-jalan bersama isterinya, Oerip ditempatkan di Meester Cornelis (Jatinegara-Jakarta). Ketika berada di Meester Cornelis, Oerip mulai mengikuti latihan Militer. Ketika sedang sedang mengikuti pelatihan di Meester Cornelis, Ayahnya meninggal dunia. [22] Pada tahun 1933 Oerip ditugaskan di Padang Panjang untuk menangani kerusuhan yang menewaskan beberapa perwira Belanda. Ketika berada di Padang Panjang, Oerip menjalani tugasnya dengan penuh ketenangan. Pada bulan Juli tahun 1935 Oerip sekali lagi diberikan cuti untuk jalan-jalan ke Eropa.[23] Berkat semua keuletan Oerip, ia pun dipromosikan menjadi Mayor. Oerip menjadi perwira pribumi dengan pangkat yang tertinggi di KNIL.[24] Pada tahun 1936 Oerip ditugaskan di Purworejo.[25] Pada pertengahan tahun 1938, Oerip dipindahkan ke Gombong. Oerip menolak dan kemudian keluar dari KNIL dan pindah ke rumah mertuanya di Yogyakarta.[26]

Ketika berada di rumah mertunya, Oerip menghabiskan waktu dengan berkebun Anggrek. Isterinya juga membeli sebuah Vila di Gentan yang terletak di sebelah utara kota. Di Vila itulah pasangan tersebut memanfaatkan lahan seluas 2 hektar/Hectare untuk berkebun Anggrek. Biaya hidup mereka diperoleh dari hasil pensiun Oerip di KNIL.[27] Vila Oerip diberi nama KEM (Klaarheid en Moed, yang artinya Kemurnian dan Keberanian). Oerip seringkali menerima tamu di vilanya mulai dari kalangan Militer hingga warga Sipil. Melalui tamu-tamu yang datang ke vilanya, ia mengetahui situasi yang terjadi dan memberikan saran mengenai masalah-masalah militer dan politik.[28] Pada tahun 1940, mereka mengadopsi seorang gadis Belanda berusia empat tahun bernama Abby dari sebuah panti asuhan yang ada di Semarang.[29] Pada tanggal 10 Mei 1940 ketika Jerman Nazi menginvasi Belanda, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Tiga hari setelah melapor kepada Kolonel Pik di Magelang, ia berangkat ke markas KNIL di Bandung. Oerip menjadi perwira pensiunan pertama yang melapor. Keluarga Oerip akhirnya pindah ke Cimahi, ia diberikan tugas untuk membangun depo batalion baru. Pada tahun 1941 beberapa perwira pribumi ditempatkan di bagian utara Hindia untuk berjaga-jaga terhadap kekaisaran Jepang yang suatu saat bisa menyerang. Oerip tetap berada di Cimahi bersama keluarga.[30] Pada tahun 1942 Oerip ditangkap dan dijebloskan dalam Kamp penahanan tawanan perang di Cimahi. Oerip ditahan selama tiga setengah bulan. Kemudian Oerip dianjurkan untuk membentuk pasukan kepolisian baru yang didukung oleh Jepang, namun Oerip menolak. Oerip kembali Ke KEM dan bersama isterinya menyewa sawah dan menggarapnya. Merka juga melanjutkan untuk berkebun.[31] Demi menjaga keamanan lahannya, ia membuat pagar bambu yang tinggi di sekeliling rumahnya.[32] Oerip tetap menerima tamu dari mantan anggota KNIL di vilanya termasuk Abdul Haris Nasution dan Sunarmo, yang membawa kabar-kabar mengenai situasi di luar desa. Oerip dan isteri terus melanjutkan aktivitas sebagai warga sipil, yang sering diawasi oleh orang Jepang dan orang Indonesia yang pro-Jepang, sampai terjadinya peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Oerip dan keluarga meninggalkan KEM menuju rumah orangtua Rohmah di Yogyakarta.[33] Pada tanggal 23 Agustus Badan Keamanan Rakyat (BKR) didirikan, Oerip kembali memimpin kelompok komandan militer untuk mengajukan petisi pembentukan formasi militer Nasional. Oto Iskandar Dinata memimpin kelompok terpisah dan menginginkan agar BKR menjadi organisasi kepolisian. Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta melakukan rapat dengan BKR yang hasilnya menetapkan BKR sebagai organisasi kepolisian, meskipun sebagian besar anggotanya pernah bertugas di militer, baik PETA (Pembela Tanah Air) maupun Heihō.[34]

Sembilan hari setelah Tentara Keamanan Rakyat didirikan (pada tanggal 14 Oktober 1945) secara resmi, Oerip ditugaskan sebagai Kepala Staff dan Panglima sementara, kemudian ia berangkat ke Jakarta. Dalam sebuah rapat kabinet yang dilakukan pada keesokan harinya, Oerip diperintahkan untuk membentuk angkatan perang nasional yang bermarkas di Yogyakarta.[35] Angkatan Perang Nasional ini didirikan untuk mengantisipasi serangan yang bisa saja dilancarkan oleh pasukan Belanda yang kembali merebut Hindia (Indonesia).[36] Pada tanggal 16 Oktober Oerip berangkat ke Yogyakarta dan tiba pada tanggal 17 Oktober. Oerip untuk pertama kalinya mendirikan markas di sebuah kamar di Hotel Merdeka yang digunakannya, sehingga Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono IX menyumbangkan sebidang tanah dan bangunan untuk digunakan oleh para tentara.[37] Ketika BKR tersebar di bawah pimpinan para komandan independen di seluruh negeri, maka angkatan perang yang baru dibentuk (TKR-Tentara Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi TNI) berusaha untuk merangkul perwira pribumi yang berasal dari mantan anggotan KNIL Tetapi perwira yang bergabung di TKRI dicurigai karena mereka bertugas diangkatan Perang Belanda. Banyak anggota TKR yang berasal dari mantan tentara PETA, Para Pemuda, dan BKR.[38] Oerip berhasil memusatkan komando, namun pada kenyataannya angkatan perang sangat bergantung pada kekuatan unit daerah.[39] Pada tanggal 20 Oktober sesuai dengan keputusan pemerintah, Oerip menjadi bawahan dari Menteri Pertahanan Soeljoadikoesoemo dan Panglima Angkatan Perang Fransiskus Xaverius Soeprijadi atau lebih dikenal dengan nama Soeprijadi. Ketika itu Soeprijadi tidak muncul untuk mengemban dan menjalankan tugas-tugasnya sebagai Menteri Pertahanan. FX. Soeprijadi diyakini telah tewas dalam pemberontakan yang dilakukannya di Blitar. Dia adalah seorang tentara PETA yang memimpin pemberontakan terhadap pasukan Jepang pada bulan Februari 1945. Posisi Soeljohadikoesoemo juga tidak tidak terisi, sehingga pemimpin gerilya Moestopo menyatakan diri sebagai Menteri Pertahanan.

Ketika Moestopo menjadi Menteri Pertahanan, Oerip merasa cukup diawasi dan ditekan agar segera membentuk struktur militer yang stabil.[40] Pada tanggal 2 Oktober 1945 Oerip menunjuk komandan untuk menangani operasi militer di berbagai daerah di Indonesia. Oerip menempatkan Didi Kartasasmita di Jawab Barat, Soeratman di Jawa Tengah, Muhammad di Jawa Timur, dan Soehardjo Hardjowardojo di Sumatera, mereka semua memiliki pangkat Mayor Jenderal.[41] Oerip mulai menyalurkan senjata ke berbagai unit TKR. Ia mengambil alih senjata yang pernah disita oleh Jepang dan mendistribusikannya sesuai dengan kebutuhan.[42] Tetapi yang terjadi sebaliknya justeru tidak sesuai yang diharapkan. PETA telah berpusat kepada kedaerahan sejak jaman Jepang, sehingga anggotanya tidak mau menerima kepemimpinan pusat.[43] Pada tanggal 12 November 1945 Jenderal Soedirman terpilih sebagai pimpinan TKR, sehngga ia menjadikan Oerip sebagai kepala staff. Pada tanggal 12 November 1945 diadakan pertemuan untuk memilih Divisi V Purwokerto. Jenderal Soedirman terpilih sebagai panglima angkatan Perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu.[44] Jenderal Soedirman hanya memiliki pengalaman dua tahanu sebagai militer, ia 23 tahun lebih muda dari Oerip. Ketika tahap ketiga, Oerip meraih 21 suara, sementara Soedirman lebih unggul dengan 22 suara. Komanda divisi Sumatera sepakat untuk memilih Soedirman.[45] Oerip tidak terpilih karena ada beberapa komanda divisi mencurigai riwayat hidup dan sumpah yang ia ucapkan kepada Belanda ketika lulus dari KNIL.[46]

Soedirman sendiri terkejut mendengar hasil pemilihan, sehingga ia meminta untuk mengudurkan diri dari posisi tersebut. Soedirman lebih memilih Oerip untuk menduduki jabatan tersebut, tetapi para peserta pertemuan tidak mengizinkan. Oerip sendiri merasa lega dan senang karena tidak memiliki tanggung jawab atas angkatan perang. Soedirman tetap mempertahankan Oerip dan mengangkatnya sebagai kepala staff dengan pangkat Letnan Jendral.[47] Oerip secara de jure tetap menjadi pemimpin, sebelum pemerintah melantik Soedirman sebagai pangliman besar. Salim Said menulis bahwa perintah Oerip sulit dipahami karena kemampuannya berbahasa Indonesia cukup buruk, sehingga perintahnya sering ditolak kecuali melalui persetujuan Soedirman.[48] Pada tanggal 18 Desember setelah Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR, ia mulai berupaya mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang. Oerip ditugaskan untuk menangani masalah-masalah teknis dan organisasi.[49] Banyak hal yang dibuat oleh Oerip antara lain memberlakukan pemakaian saragam tentara yang dilimpahkan penanganannya kepada komandan daerah. Bagi masalah-masalah penting, Oerip mengeluarkan perintah yang berlaku secara nasional, misalnya perintah agar membentuk politis militer dan mencegah pasukan penerjun payung musuh mendarat.[50]

Soedirman dan Oerip secara bersama-sama berhasil mengatasi kesalahpahaman antara mantan tentara PETA dan KNIL. Pada tahun 1946 pemerintah mengganti nama angkatan perang sebanyak dua kali yakni Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) dan Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada tanggal 23 Februari, Oerip ditunjuk untuk mengepalai Panitia Besar Reorganisasi Tentara, yang dibentuk melalui keputusan Presiden. Setelah berunding selama empat bulan, pada 17 Mei panitia menyerahkan rekomendasi kepada Presiden Soekarno. Oerip diberikan tugas untuk menangani proses perampingan angkatan perang, sementara Menteri Pertahanan diberikan kekuasaan birokrasi yang lebih besar. Soedirman tetap dipertahankan sebagai panglima angkatan perang.[51] Setelah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin mulai membentuk kelompok-kelompok pro-kiri dalam tubuh militer, Oerip mulai curiga. Oerip mengecam upaya pemerintah yang memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Oerip dan Soedirman terus berupaya memastikan bahwa pasukan paramiliter (lascar), yang muncul di tengah masyarakat adalah bagian dari militer. Pada tanggal 3 Juni 1947 upaya Oerip dan Soedirman membuahkan hasil, ketika pemerintah mengumumkan untuk mempersatukan lascar dan TRI menjadi organisasi militer baru bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tahun yang sama, Oerip mendirikan sebuah Akademi Militer di Yogyakarta.[52] Oerip menjawab ancaman Belanda dengan menyusun kekuatan, namun rencananya gagal oleh upaya pemerintah dalam diplomasi. Oerip sangat menyukai taktik gerilya ketimbang konflik militer resmi. Oerip pernah bercerita kepada bawahannya bahwa serangan terbaik bisa dilakukan dengan seratus penembak jitu yang bersembunyi di belakang garis musuh.[53] Oerip dengan lantang menentang hasil Perjanjian Renville, menurutnya perjanjian yang disahkan pada 17 Januari 1948 sebagai taktik mengulur-ulur waktu yang memberi kesempatan kepada Belanda untuk memperkuat pasukannya.[54] Perjanjian Renvville mengebabkan ditariknya 35. 000 Tentara Indonesia dari Jawa Barat dan diresmikannya Garis Van Mook, yang memisahkan wilayah kekuasaan Belanda dan Indonesia.[55] Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri-mulai merekrut tentara yang berhaluan kiri.[56] Oerip akhirnya mengajukan pengunduran dirinya, karena muak dengan sikap pemerintah yang kurang percaya pada militer. Meskipun demikian, Oerip tetap bertugas sebagai penasehat Menteri Pertahanan sekaligus Wakil Presiden, Muhammad Hatta.[57]

Pada tanggal 17 November 1948, Oerip wafat di Yogyakarta akibat serangan Jantung, setelah beberapa bulan berada dalam kondisi lemah dan menjalani perawatan dari Dr. Sim Ki Ay.[58] Setelah disemayamkan selama semalam, ia dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Semaki dan secara anumerta dipromosikan sebagai Jenderal. Pada tahun 1949 Soedirman mengancam akan mengundurkan diri karena pemerintah tidak konsisten selama masa revolusi sehingga mengakibatkan Oerip wafat dan juga akibat dari TBC yang diidapnya.[59] Oerip meninggalkan seorang Isteri dan puteri angkatnya bernama Abby. Abby puteri angkat mereka meninggal pada bulan Januari 1951[60] dan Rohmah isteri Oerip meninggal pada tanggal 29 Oktober di Semarang dan dimakamkan di Ungaran.[61]

Atas jasanya, Oerip menerima sejumlah penghargaan dan tanda kehormatan dari pemerintah secara anumerta, termasuk Bintang Sakti (1959),[62] Bintang Mahaputra (1960),[63] Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967),[64] dan Bintang Kartika Eka Pakci Utama (1968).[65] Pada tanggal 10 Desember 1964, Oerip ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 tahun 1964. Soedirman juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama. Pada tanggal 22 Februari 1964, Akademi Militer Indonesia di Magelang mendedikasikan sebuah tugu untuk Oerip yang menggambarkan dirinya sebagai “seorang Putera Indonesia yang mengagungkan karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta.” Gereja Katolik di Akademi yang sama juga mempersembahkan sebuah dedikasi untuk Oerip sejak tahun 1965, yang berawal dari perbincangan antara Rohmah dan teman Misionarisnya. Ada beberapa jalan juga dinamakan untuk menghormati Oerip, termasuk di kampung halamannya Purworejo, di Yogyakarta dan di ibu kota Jakarta.


DAFTAR PUSTAKA

· Adi, A. Kresna (2011). Soedirman: Bapak Tentara Indonesia. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo. ISBN 978-602-95337-1-2.
· Andayani, Ria (2006). Adaptasi Budaya Masyarakat Lampung. Bandung: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. ISBN 978-979-1142-03-8.
· Anderson, Benedict Richard O'Gorman (2005). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Jakarta: Equinox. ISBN 978-979-3780-14-6.
· "Bintang Republik Indonesia Adipurna". Penghargaan di Republik Indonesia. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Diakses tanggal 9 Mei 2012.
· Imran, Amrin (1980). Panglima Besar Jenderal Soedirman. Jakarta: Mutiara. OCLC 220643587.
· Imran, Amrin (1983). Urip Sumohardjo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 10945069.
· "Let. Djen. Urip Meninggal". Kedaulatan Rakjat. 18 November 1948.
· McGregor, Katharine E (2007). History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past. Honolulu: University of Honolulu Press. ISBN 978-9971-69-360-2.
· "Meninggal Dunia". Tempo. 12 November 1977. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Mei 2012. Diakses tanggal 10 Mei 2012.
· Nasution, A. H. (2011) [1982]. Roem, Mohamad; Lubis, Mochtar; Mochtar, Kustiniyati et al., ed. Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Revised ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-6767-9.
· "Oerip Soemohardjo". Encyclopedia of Jakarta. Pemerintah Kota Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2012. Diakses tanggal 9 Mei 2012.
· Pour, Julius (2008). Ign. Slamet Rijadi. Jakarta: Gramedia. ISBN 978-979-22-3850-1.
· Said, Salim (1991). Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-3035-90-4.
· Saragih, Bagus BT (13 Agustus 2012). "SBY bestows honors to late Cabinet members". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Agustus 2012. Diakses tanggal 26 Agustus 2012.
· Sardiman (2008). Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman. Yogyakarta: Ombak. ISBN 978-979-3472-92-8.
· Soemohardjo-Soebroto, Rohmah (1973). Oerip Soemohardjo : Letnen Jenderal TNI (22 Februari 1893 – 17 November 1948). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 13266021.
· Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Jakarta: Government of Indonesia. 18 Juni 2009.
· Zoetmulder, P. J.; Robson, S. O.; Darusupapta; Supriyitna, Sumarti (2006). Kamus Jawa Kuno Indonesia. Jakarta: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies working with Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-605-347-6.

SUMBER DARI WEBSITE:
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Oerip_Soemohardjo
2. http://wartakota.tribunnews.com/2012/11/13/jenderal-urip-sumoharjo-kreator-angkatan-bersenjata-ri
3. http://muhishaqramli.blogspot.co.id/2016/01/jendral-urip-sumoharjo.html
4. https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/01/biografi-oerip-soemohardjo.html
5.https://www.merdeka.com/peristiwa/mengenal-jenderal-oerip-soemohardjo-pendiri-akmil-di-yogyakarta.html
6. http://www.biografiku.com/2015/12/biografi-urip-sumoharjo-pahlawan-indonesia.html
7. http://rubrikkristen.com/20-pahlawan-indonesia-beragama-kristen-terpopuler/==MENGATAKAN
8.http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2014/01/05/28486/rehabilitasi-kartosuwiryo-kahar-muzakar-para-pejuang-islam/

CATATAN KAKI
[1] Zoetmulder et al. 2006, hlm. 1085.
[2] http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2014/01/05/28486/rehabilitasi-kartosuwiryo-kahar-muzakar-para-pejuang-islam/
[3] Imran 1983, hlm. 2
[4] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 13–15
[5] Ibid, hlmn. 7
[6] Masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa sebuah nama jika menunjukkan harapan yang terlalu tinggi bisa menimbulkan dampak negatif pada anak, secara umum dipercayai akan membuat anak sakit-sakitan, Lihat Andayani 2006, hlm. 169.
[7] Pour 2008, hlmn. 15–16.
[8] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 20.
[9] Imran 1983, hlm. 16.
[10] Ibid, hlmn. 23–25.
[11] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 23–26.
[12] Ibid, hlm. 27.
[13] Imran 1983, hlm. 14.
[14] Ibid, hlm. 21.
[15] Ibid, hlm. 26
[16] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 39–43
[17] Ibid, hlm. 44–47.
[18] Ibid, hlmn. 47-58.
[19] Nama keluarga disyaratkan oleh Belanda untuk urusan-urusan seperti pembelian tanah.
[20] Imran 1983, hlm. 35.
[21] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 59.
[22] Imran 1983, hlm. 36.
[23] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 60–62.
[24] Ibid, hlm. 63–67.
[25] Anderson 2005, hlm. 233–234.
[26] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 69.
[27] Ibid, hlm. 72-75
[28] Imran 1983, hlm. 47.
[29] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 76–77.
[30] Ibid, hlm. 78-81
[31] Imran 1983, hlm. 53-55.
[32] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 84–87.
[33] Batavia berganti nama menjadi Jakarta setelah invasi Jepang.
[34] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 89.
[35] Imran 1983, hlm. 63.
[36] Said 1991, hlm. 28.
[37] Anderson 2005, hlmn. 232–234.
[38] Imran 1983, hlmn. 67–68.
[39] Anderson 2005, hlmn. 235–237.
[40] Anderson 2005, hlm. 240.
[41] Imran 1983, hlmn. 71–72.
[42] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 101.
[43] Sardiman 2008, hlm. 126.
[44] Said 1991, hlm. 31.
[45] Nasution 2011, hlm. 196.
[46] Sardiman 2008, hlm. 132.
[47] Ibid, hlm. 133.
[48] Imran 1983, hlmn. 74–79.
[49] Said 1991, hlm. 50.
[50] Sardiman 2008, hlm. 133
[51] Anderson 2005, hlm. 245-373.
[52] Imran 1983, hlm. 80-84.
[53] Said 1991, hlm. 46.
[54] Adi 2011, hlm. 79–80.
[55] Imran 1983, hlm. 85.
[56] Sjariffudin dipaksa mengundurkan diri karena ketidaksetujuan publik atas hasil Perjanjian Renville. Lih. Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 104.
[57] Imran 1980, hlmn. 42–45, 87.
[58] KR 1948, Let. Djen. Urip Meninggal.
[59] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 108–111.
[60] McGregor 2007, hlm. 129.
[61] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 57–58.
[62] Bintang Sakti adalah tanda kehormatan militer tingkat tinggi bagi yang menunjukkan keberanian melampaui panggilan tugas
[63] Bintang Mahaputra adalah tanda kehormatan tingkat tinggi bagi orang-orang yang telah membantu pembangunan Indonesia, menjadi ahli dalam bidang tertentu, atau secara luas diakui atas pengorbanan mereka bagi negara
[64] Bintang Republik Indonesia adalah tanda kehormatan tertinggi yang diberikan bagi warga sipil; hanya delapan tokoh yang telah menerima kelas Adipurna
[65] Bintang Kartika Eka Pakçi Utama adalah tanda kehormatan militer tingkat rendah yang dianugerahkan kepada orang-orang yang telah membantu pembangunan tentara melampaui panggilan tugas. Utama adalah kelas tertinggi