Apakah Maria "Co-Redemptrix"? Dogma Berikutnya? Gelar yang Saleh? Bid'ah atau Penistaan?

Atas permintaan yang sangat banyak, saya menulis artikel ini tentang gelar kontroversial Maria, "co-redemptrix". Saya menyebutnya kontroversial karena jika disalahpahami, paling banter itu adalah bidah, dan paling buruk adalah penghujatan. Sebagai penyangkalan awal, Gereja tidak "secara resmi" menyatakan apakah Maria adalah "co-redemptrix" atau bukan, setidaknya tidak dengan cara yang sama seperti Gereja menyatakan bahwa ia adalah "Advokat, Auxiliatrix, Adjutrix, dan Mediatrix."1

Pada tanggal 4 November, Dikasteri untuk Ajaran Iman akan merilis sebuah dokumen tentang peran Maria dalam keselamatan. Semoga dokumen ini akan memberikan pencerahan yang sangat dibutuhkan mengenai posisi Gereja saat ini dalam perdebatan "co-redemptrix". Sampai saat itu tiba, kita harus menyelidiki bersama sumber-sumber ajaran ini, pernyataan Magisterium mengenainya, dan keakuratan teologis gelar tersebut. Terakhir, kita akan berdebat apakah gelar ini menambahkan sesuatu, secara teologis, pada pemahaman Gereja tentang Wahyu.

Apa artinya Menebus?

Penebusan adalah tindakan, tepatnya, di mana manusia diperdamaikan dengan Allah, dipulihkan kepada keadaan kesempurnaan yang asli bagi umat manusia. Seluruh sejarah keselamatan hanyalah perwujudan rencana Allah untuk penebusan manusia. Dengan pengetahuan tentang penebusan korban darah Perjanjian Lama yang tidak memuaskan, orang-orang Yahudi dengan cemas menantikan Mesias yang akan benar-benar membebaskan mereka.

Jadi, dalam rencana keselamatan, Allah mengutus Putra tunggal-Nya, yang menjadi manusia, menderita, mati, dan bangkit kembali untuk penebusan terakhir manusia. Nah, dalam tatanan sejarah, umat manusia ditebus melalui darah Yesus Kristus yang berharga yang tercurah di kayu Salib. Penebusan kita dimenangkan oleh Kristus, tetapi itu bukanlah pemberian, itu membutuhkan penerimaan sukarela dari pihak umat manusia untuk bertobat, percaya kepada Injil, dan dibaptis dengan air.

Dalam pengertian ini, dan dalam pengertian metafisik, penebusan dimenangkan oleh satu-satunya kebajikan Yesus Kristus, titik; "Tidak ada keselamatan di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (Kisah Para Rasul 4:12). Natur manusia yang tak tertebus pasca-kejatuhan bukanlah natur yang dapat dibalikkan, kecuali oleh Allah sendiri. Allah sendirilah yang harus menebus manusia. Umat manusia tidak mampu menebus diri sendiri. Lalu, bagaimana mungkin seorang ciptaan, Maria, dikatakan sebagai agen dalam rencana penebusan? Bagaimana ia bisa menjadi "penebus bersama" dengan Kristus? Itulah pertanyaan teologis yang sedang dibahas. Apakah akurat secara teologis untuk mengatakan bahwa Maria adalah "penebus bersama" dalam karya keselamatan? Bukankah Kitab Suci dengan jelas menyatakan bahwa hanya ada satu Juruselamat, Yesus Kristus? Lalu, bagaimana mungkin orang lain menjadi "penebus bersama" dengan-Nya?

Apa yang Tersirat dan Tidak Tersirat dalam Gelar "Co-Redemptrix"?

Gelar "co-redemptrix", pertama kali digunakan sekitar abad ke-10, dan dipopulerkan pada abad terakhir, khususnya pada masa kepausan Paus St. Yohanes Paulus II, berarti bahwa dalam rencana keselamatan, Maria, bersama Putranya, adalah seorang penolong, atau asisten dalam penebusan manusia. Ini berarti bahwa Yesus dibantu dalam karya penebusan-Nya oleh Bunda-Nya. Jika Maria adalah "co-redemptrix", itu berarti, atau lebih tepatnya, bukan berarti bahwa ia dengan cara tertentu mengambil alih peran Kristus sebagai satu-satunya penebus. Dengan cara apa pun ia membantu dalam karya penebusan, itu tidak menyiratkan bahwa Yesus bukanlah satu-satunya penebus.

Sebagai contoh, saya merujuk pada ensiklik Paus Pius X, Ad diem illum. Ensiklik ini, pada peringatan lima puluh tahun dogma Dikandung Tanpa Noda, memuat sebuah bagian di mana Paus membahas gelar Maria sebagai Perantara. Penjelasannya tentang gelar ini, saya yakin, membantu mengilustrasikan usulan gelar co-redemptrix. Beliau menyatakan bahwa dengan Perantara, Gereja tidak menghilangkan "pemberian tunggal atas harta-harta ini (rahmat)"2 yang merupakan buah tunggal dari karya Kristus di kayu Salib, Dia yang adalah satu-satunya perantara antara Allah dan manusia. Selanjutnya, Paus menyatakan bahwa "dengan persahabatan dalam duka dan penderitaan yang telah disebutkan antara Bunda Maria dan Putra, Perawan yang agung telah diijinkan untuk menjadi 'perantara dan pembela paling berkuasa bagi seluruh dunia di hadapan Putra tunggalnya.'"3 Lebih lanjut, beliau menyatakan, mengutip Santo Bernardus dari Clairvaux, bahwa meskipun Maria bukanlah sumber rahmat, ia adalah "saluran air".4 Akhirnya, jika Anda mengizinkan saya mengutip lebih lanjut, Paus Pius X menyimpulkan demikian:

Maka, akan terlihat, kita sangat jauh dari menganggap Bunda Allah memiliki daya rahmat yang produktif—daya yang hanya milik Allah. Namun, karena Maria menanggung semuanya dalam kekudusan dan persatuan dengan Kristus dan telah dipersatukan oleh Kristus dalam karya penebusan, ia berjasa bagi kita secara de congruo (dengan cara yang kongruen), dalam bahasa para teolog, apa yang Kristus berikan bagi kita secara de condigno (dengan cara yang bermartabat), dan ia adalah pelayan tertinggi dalam penyaluran rahmat.5

Sekarang kita memiliki apa yang saya yakini sebagai kualifikasi yang sangat membantu dalam pembahasan judul; yaitu, apakah yang kita kaitkan dengan Maria bersifat aktif atau pasif—apakah Maria adalah miliknya berdasarkan kodratnya, atau berdasarkan persekutuannya dengan Putranya. Dengan kata lain, apa yang Maria lakukan selaras dengan apa yang Kristus lakukan berdasarkan siapa Dia. Ia memainkan peran yang berbeda dalam rencana itu, tetapi rencana itu tidak berasal darinya, juga tidak datang darinya secara aktif, seolah-olah kita keliru mengklaim bahwa ia menciptakannya.

Jika hal itu berlaku untuk perdebatan Mediatrix, saya percaya klarifikasi tersebut sangat membantu dalam perdebatan co-redemptrix.

Maka, kita dapat mengatakan bahwa Maria adalah rekan penebus karena ia secara unik, dan dengan cara yang hanya pantas baginya, secara aktif bekerja sama dengan rencana penebusan Allah, yang melibatkan fiat-nya yang unik. Fiat itu, dan fiat itu sendirilah yang memungkinkan satu-satunya perantara, Kristus, menjadi manusia, dan, bersama ibu-Nya, menebus umat manusia. Jadi, kita melihat Maria pada Pesta Pernikahan di Kana sebagai orang yang bekerja sama dengan putranya dalam mukjizat tersebut. Ia tidak melakukan mukjizat itu, hanya Kristus yang dapat melakukannya, tetapi keterlibatannya penting ketika ia berkata kepada para pelayan, "Apa pun yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!" (Yoh. 2:5). Gelar rekan penebus, menurut saya, hanyalah seruan saleh dan pengakuan akan peran unik yang dimainkan Bunda Maria dalam perjalanan sejarah keselamatan. Hanya peran-Nya yang unik di antara umat manusia. Perannya adalah peran tunggal yang memungkinkan Putra Allah mengambil rupa manusia dan mengerjakan penebusan umat manusia. Karya penebusan yang aktif, Sengsara dan Kebangkitan, adalah milik Kristus sendiri; Ia menanggung penderitaan-Nya bersama-Nya, tetapi Dia dan hanya Dia sendiri yang menanggung dosa umat manusia dan menebusnya dengan darah-Nya sendiri. Jika pantas untuk mengatakan Maria adalah "rekan penebus", menurut saya, hal itu hanya dalam cara di mana jawaban "ya"-nya yang aktif menghasilkan kerja samanya dalam karya penebusan yang dimenangkan Kristus bagi umat manusia.

Dengan kualifikasi tersebut, dan dengan nuansa teologis yang diperlukan, saya tidak melihat alasan teologis mengapa gelar rekan penebus tidak dapat diberikan kepada Maria. Di samping gelar-gelarnya yang lain sebagai "Pendukung, Pembantu, Adjutrix, dan Mediatrix", rekan penebus tampaknya juga tepat.

Kesesuaian teologis dari gelar tersebut adalah satu hal, perlunya mewartakan gelar tersebut adalah hal lain—yang akan saya uraikan di bawah ini.

Bukti dari Tradisi dan Ajaran Kepausan

Sebelum membahas kesesuaian atau ketidaksesuaian gelar tersebut, ada baiknya kita meninjau sekilas tempat tradisional dan magisterial gelar dan teologi ini dalam Gereja.

Pada abad kedua, Santo Irenaeus dari Lyon, dalam karyanya Melawan Ajaran Sesat, menyatakan bahwa Maria, "dengan taat, menjadi penyebab keselamatan, baik bagi dirinya sendiri maupun seluruh umat manusia."6 Jadi, menurut Irenaeus, ketaatan Maria kepada kehendak Allah memungkinkannya menjadi penyebab keselamatan.

Paus Pius XII dalam ensikliknya, Sempiternus Rex, menyatakan bahwa Maria adalah “rekan mulia Sang Penebus Ilahi”.7 Demikian pula, dalam ensikliknya, Ad caeli Reginam, Pius XII menyatakan bahwa Maria memiliki “peran luar biasa dalam karya keselamatan kekal kita”8 dan mengutip Francisco Suarez, S.J., Paus menyatakan bahwa dengan cara yang unik, Maria “membantu dalam penebusan kita”9 dengan memberikan substansinya dalam karya itu. Lebih lanjut, dengan cara yang analogis, Maria, sebagai rekan Putranya, memiliki andil dalam "martabat kerajaan"-Nya.10 Akhirnya, dalam ensiklik Paus Pius XII, Haurietis aquas, beliau menyatakan bahwa "atas kehendak Allah, dalam melaksanakan karya penebusan manusia, Perawan Maria yang Terberkati terhubung tak terpisahkan dengan Kristus sedemikian rupa sehingga keselamatan kita berasal dari kasih dan penderitaan Yesus Kristus, yang dengannya kasih dan penderitaan Bunda-Nya bersatu erat."11 Bagi Paus Pius, kerja sama Maria dengan Putranya bukan sekadar peristiwa yang terjadi, tetapi secara harfiah, merupakan bagian integral dari rencana keselamatan; sedemikian rupa sehingga kerja sama itu, hubungan dengan Putranya itu menyebabkan mereka "terhubung tak terpisahkan."

Paus Leo XIII, dalam ensikliknya, Octobri mense, menyatakan bahwa Kristus tidak mempersatukan diri-Nya dengan umat manusia “tanpa menambahkan persetujuan bebas dari Bunda Maria yang terpilih, yang bertindak dalam beberapa cara sesuai peran umat manusia itu sendiri.”12 Di sini, Paus Leo XIII dengan sangat jelas melanjutkan gagasan teologis pendahulunya, Pius X, dengan menyatakan bahwa Maria memang berperan dalam keselamatan melalui perintahnya kepada Malaikat Agung Gabriel.

Paus St. Yohanes Paulus II, dalam Audiensi Umum tanggal 1 Oktober 1997, menyatakan bahwa “gelar ‘Bunda dalam tata rahmat’ menjelaskan bahwa Perawan Maria yang Terberkati bekerja sama dengan Kristus dalam kelahiran kembali rohani umat manusia.”13 Lebih lanjut, beliau berbicara tentang peran unik Maria dalam penebusan manusia dalam Audiensi hari Rabu tanggal 25 Oktober 1995. Dalam Audiensi ini, Paus St. Yohanes Paulus II menelusuri Tradisi dan menelusuri peran unik Maria dalam keselamatan melalui St. Irenaues, banyak penulis dan Orang Suci Abad Pertengahan, seperti St. Bernardus, Arnaldo de Chartres, seorang biarawan Bizantium—Yohanes Geometra—, St. Anselmus, Guerrico d’Igny, dan teks abad ke-13, Mariale. Melalui semua contoh ini, Yohanes Paulus menyoroti perkembangan teologis Keibuan Maria dan kerja samanya dengan Putranya dalam karya penebusan-Nya. Menurut Paus yang kudus, sumber-sumber ini berfungsi untuk mengembangkan "doktrin kerja sama khusus Maria dalam kurban penebusan."14

Cukuplah untuk mengatakan bahwa Yohanes Paulus II sangat menganjurkan perkembangan teologis ini dan menemukan dalam Tradisi bukti permulaannya, baik dalam Kitab Suci maupun dalam tradisi teologis dan saleh Gereja.

Apa yang Ditambahkan "Co-Redemptrix"?

Setelah saya pikir kita telah cukup menjelaskan kesesuaian dan kebenaran teologis dari gelar ini, kini muncul pertanyaan tentang bagaimana gelar ini menambah pemahaman kita tentang Kitab Wahyu secara umum dan Kristologi secara khusus. Pertanyaan kedua adalah apakah gelar ini akan atau seharusnya didefinisikan secara khidmat sebagai dogma.

Setiap elemen Mariologi, seperti Theotokos, Dikandung Tanpa Noda, Kenaikan Maria, dan gelar-gelar lain yang disebutkan di atas, menambah kedalaman wawasan teologis tentang misteri Kristus dan Kitab Wahyu. Lalu, apa yang ditambahkan "co-redemptrix"? Atau, apakah itu hanya mengaburkan?

Poin pertama dalam diskusi ini adalah pertanyaan umum: Bukankah segala sesuatu yang benar, baik, dan indah berbicara tentang Kristus? Dengan kata lain, apakah kita memiliki kewajiban untuk mengatakan apa yang benar? Saya akan menjawab ya. Misalnya, Dikandung Tanpa Noda adalah pengakuan bahwa oleh rahmat preeimanet, Perawan Maria dikandung tanpa Dosa Asal sehingga menjadi wadah tak bernoda dari Putra Allah dalam Inkarnasi-Nya. Dogma ini berbicara tentang Maria dan Kristus. Dogma ini benar karena itulah yang dilakukan Allah. Kebenarannya menerangi Kristus dan Maria. Gelar rekan penebus, jika memang benar, juga harus menerangi karya keselamatan Kristus.

Jika kita memahami dengan benar peran Maria dalam keselamatan, ia adalah rekan kerja yang intim dengan Putranya dalam karya penebusan-Nya yang tunggal, bahwa atas perintahnya, Putra Allah menjadi manusia dan dengan bebas mengizinkan ibu-Nya untuk menjadi rekan intim dalam rencana keselamatan-Nya; dengan menanggung hal-hal itu di dalam hatinya, dengan menanggung, di dalam hatinya, penderitaan batin yang dialami Putranya dalam daging-Nya, ia, di atas segalanya, secara tunggal bekerja sama dalam rencana keselamatan. Sebagaimana diutarakan di atas, hal ini tampaknya hanya menunjukkan bahwa memang benar ia adalah instrumen pasif (seperti dalam rekan atau orang yang membantu agen aktif dalam Keselamatan kita) dalam rencana keselamatan. Gelar yang diusulkannya sebagai "co-redemptrix" mengungkapkan sesuatu tentang dirinya—penyerahannya yang tanpa syarat kepada kehendak Allah—dan sesuatu tentang Kristus—hubungan bebas-Nya dengan ibu-Nya dan penerimaan-Nya yang murah hati atas perannya dalam misi-Nya. Bagi saya, gelar ini menekankan bahwa Allah benar-benar menuntut jawaban "ya" dari Maria; bahwa tindakan itu bukanlah kedok; bahwa Surga benar-benar menunggu dengan napas tertahan akan ketetapannya. Ketetapan itu adalah wahyu Allah bahwa meskipun Ia dapat menyelamatkan umat manusia tanpa bantuan, dengan kehendak-Nya yang penuh kasih karunia, Ia memilih Perawan Maria yang Terberkati sebagai makhluk yang kepadanya akan melepaskan simpul ketidaktaatan Hawa dan menghancurkan, sekali untuk selamanya, kepala ular itu.

Dogma Berikutnya?

Jika secara teologis benar, haruskah ia didefinisikan secara khidmat sebagai dogma Maria berikutnya? Sederhananya, saya tidak tahu. Namun, jika saya boleh menebak, saya akan mengatakan bahwa tidak perlu menyatakan ini sebagai dogma Gereja. Ada banyak pernyataan yang secara teologis benar tetapi tidak didefinisikan secara khidmat. Definisi khidmat adalah sesuatu yang luar biasa. Saya tidak berpikir gelar ini diperlukan bagi iman, sama seperti Dikandung Tanpa Noda dan Kenaikan Maria. Sesuatu bisa akurat secara teologis namun tidak diperlukan bagi keselamatan—yang merupakan implikasi langsung dari dogma yang terdefinisi. Dengan demikian, menurut saya seseorang tidak dapat menyangkal peran Maria dalam keselamatan, sebagai rekan dekat dan rekan kerja yang intim dalam karya Penebusan. Namun, hal itu tidak serta merta menyiratkan bahwa peran tersebut harus didefinisikan secara khidmat.

Jadi tidak, saya tidak berpikir hal itu perlu didefinisikan dan saya tidak memperkirakan hal itu akan benar-benar didefinisikan. Namun, saya rasa hal ini perlu dijelaskan lebih mendalam dan saya rasa hal ini bermanfaat secara teologis untuk memahami keselamatan.

Diterjemahkan dari https://indefenseoftheology.substack.com/p/is-mary-co-redemptrix-the-next-dogma

Referensi

·         Second Vatican Council, “Dogmatic Constitution on the Church, Lumen Gentium, 21 November, 1964,” in The Word on Fire Vatican II Collection: Constitutions, ed. by Matthew Levering (Park Ridge, IL: Word on Fire Institute, 2021), 62.

·         Pius X. Encyclical, Ad diem illum. DS 3370.

·         Irenaeus of Lyon, Against Heresies 3, 22. https://www.newadvent.org/fathers/0103322.htm.

·         Pius XII. Encyclical, Sempiternus Rex, DS 3902.

·         Pius XII. Encyclical, Ad caeli Reginam, DS 3914.

·         Ad caeli Reginam, DS 3914.

·         Ad caeli Reginam, DS 3916.

·         Pius XII, Encyclical, Haurietis aquas, DS 3926

·         Leo XIII, Encyclical, Octobri mense, DS 3272.

·         John Paul II, General Audience, 1 October 1997. https://www.vatican.va/content/john-paul-ii/en/audiences/1997/documents/hf_jp-ii_aud_01101997.html

·         John Paul II, General Audience, 25 October 1995. https://www.vatican.va/content/john-paul-ii/es/audiences/1995/documents/hf_jp-ii_aud_19951025.html. (Unofficial English Translation).


Dari Sumpah Menjadi Karya: Pemuda Bergerak Membangun Bangsa

 


Banyak diantara kita yang tak banyak mengetahui tentang kisah seputar peristiwa Soempah Pemoeda yang menjadi cikal bakal keberadaan “Indonesia”. Sebab, sesungguhnya term baku tentang nama “Indonesia” itu tak pernah ada sebelum peristiwa Sumpah Pemuda yang bersejarah itu. Sebelumnya, nama wilayah dari Pulau Sumatra (Sabang) sampai Papua (Merauke) masih kerap disebut wilayah “Nusantara” dengan kepelbagaian suku, bangsa, ras dan lainnya.

Penyebutan ‘Indonesia’ atau ke-Indonesiaan kita sebagai satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa yaitu, Indonesia baru ‘autentik’ setelah Kongres Pemuda II.

Dengan dan melalui Kongres Pemuda ke-II yang berlangsung selama dua hari (27-28 Oktober 1928) itu, para pemuda dari berbagai wilayah yang hadir sepakat mendeklarasikan tiga buah ‘sumpah’ dan kemudian menjadi tonggak sejarah ‘penyatuan’ berbagai tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia. Selamat membaca!

Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, dimana pada waktu itu diadakan Kongres Pemuda II. Dalam Kongres itulah, para pemuda dari berbagai wilayah Indonesia mengikrarkan “bertoempah darah jang satoe – tanah Indonesia”, “berbangsa jang satoe – bangsa Indonesia” dan “mendjoendjoeng bahasa persatoean – bahasa Indonesia”. Kongres Pemuda II tersebut kemudiaan dikenal sebagai Soepah Pemoeda.

Dua tahun sebelumnya, yakni pada 1926 memang telah ada upaya untuk mempersatukan organisasi-organisasi pemuda ketika diadakan Kongres Pemuda I.

Demikian pula pada tanggal 20 Februari 1927, telah diadakan pertemuan, namun masih dalam tahap awal dan belum final. Dan akhirnya, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) menjadi penggagas Kongres Pemuda II.

Selanjutnya, pada tanggal 3 Mei 1928 diadakan kembali pertemuan untuk persiapan Kongres Pemuda II, dan kemudian dilanjutkan pada tanggal 12 Agustus 1928.

Dalam pertemuan tanggal 12 Agustus 1928 itu, perwakilan dari semua organisasi pemuda hadir dan diambil keputusan bersama untuk segera mengadakan Kongres II yang dijadwalkan berlangsung selama dua hari yaitu pada 27 -28 Oktober 1928.

Adapun susuna panitia pelaksana Kongres II adalah seperti berikut: Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPI). Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java). Sekretaris: Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond). Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond). Pembantu I: Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond). Pembantu II: R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia). Pembantu III: Senduk (Jong Celebes). Pembantu IV: Johanes Leimena (Jong Ambon). Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi).

Dalam pelaksanaan Kongres II itu, dilakukan dalam tiga kali (3) rapat dengan tempat yang berbeda-beda yaitu:

Pertama, rapat Kongres yang diadakan pada hari Sabtu, 27 Oktober 1928 (hari pertama) yang berlangsung di kompleks dekat gedung Gereja Katedral yang saat itu sering disebut gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB)-Waterlooplein (sekarang: Lapangan Banteng).

 

Isi dari pertemuan tersebut adalah bahwa Kongres yang diadakan dapat memperkuat persatuan para pemuda. Dalam pertemuan itu, Muhammad Yamin menguraikan tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Kedua, rapat Kongres yang diadakan pada hari Minggu, 28 Oktober 1928 (hari kedua) yang belangsung di Gedung Oost-Java Bioscoop. (sekarang: gedung tersebut sudah tidak ada lagi, namun posisi gedungnya diperkirakan terletak di Jl. Merdeka Utara, tidak jauh dari sitana Negara dan Mahkamah Agung RI). Dalam rapat tersebut, dibahas tentang masalah pendidikan.

Pada kesempatan itu ada dua orang yang bertindak sebagai pembicara yakni, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro. Mereka berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, perlu adanya keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan anak harus dididik secara demokratis.

Ketiga, rapat penutupan Kongres diadakan di gedung Indonesische Clubgebouw atau Indonesisch Huis Kramat di Jalan Kramat Raya Nomor 106 (sekarang: menjadi Museum Sumpah Pemuda).

Pada rapat tersebut, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi, selain gerakan kepanduan. Sementara itu, Ramelan mengemukakan bahwa gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, sebab hal itulah yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Adapun para peserta yang hadir dalam Kongres II tersebut, berasal dari berbagai perwakilan organisasi pemuda, yakni: Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, Aitai Karubaba dan Poreu Ohee (Perwakilan dari Papua), Kwee Thiam Hiong (Jong Sumatranen Bond), dll.

Wage Rudolf Soepratman memperdengarkan lagu ‘Indonesia Raya’ hasil karyanya sebelum Kongres ditutup. Pada kesempatan tersebut WR. Soepratman hanya memainkan biola saja tanpa syair (musik instrument). Hal ini dilakukan atas saran ketua panitia Kongres. Tidak dinyanyikannya syair lagu Indonesia Raya tersebut, dengan pertimbangan karena intel-intel peerintahah Belanda selalu mengawasi jalannya Kongres.

Lagu yang dibawakan oleh WR Soepratman tersebut, disambut dengan meriah oleh peserta Kongres. Setelah Kongres itu, hasil rumusan penting (sari pati) dari Kongres II, diumumkan dan para pemuda yang hadir mengucapkan rumusan tersebut sebagai ‘Sumpah Setia’.

Gedung di Jalan Kramat Raya Nomor 106, tempat dibacakan Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong.

Pada tanggal 3 April 1973 Gedung di Kramat 106 itu, sempat dipugar oleh Pemda DKI Jakarta. Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta masa itu, meresmikannya sebagai Gedung Sumpah Pemuda pada tanggal 20 Mei 1973. Dan pada tanggal 20 Mei 1974, Presiden Soeharto meresmikan kembali gedung tersebut.

Berikut ini ada beberapa tokoh yang berperan penting dan menonjol dalam Kongres Pemuda II, antara lain sbb:

1. Soegondo Djojopoespito. Sugondo Djojopuspito lahir di Tuban-Jawa Timur, 22 Februari 1905. Pada tahun 1925, Soegondo Djojopoepito lulus dari AMS. Ketika masih duduk di pendidikan menengah MULO, ia pernah satu atap dengan Ir. Soekarno di pondok milik HOS Cokroaminoto. Soegondo terpilih menjadi Ketua atas persetujuan Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di Negeri Belanda dan Ir. Soekarno di Bandung. Selain Soegondo, kandikat lainnya adalah pemuda bernama Mohammad Yamin.

Figur Sugondo ini memang namanya sangat asing dan hampir tidak pernah diceritakan dalam tulisan-tulisan sejarah, bahkan di buku pelajaran sekolah. Padahal Soegondo Djojopoespito mempunyai peran besar dalam Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II.

Pada tahun 1926, ia ikut serta dalam kegiatan Kongres Pemuda I dan menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Kemudian ia melanjutkan kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Batavia).

Ketika pada masa kuliah, Soegondo menumpang di rumah seorang pegawai pos di gang Rijksman, sehingga lingkaran pertemanan Soegondo, ada dalam lingkungan para pegawai pos. Melalui pertemanan tersebut ia mengenal Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi yang dinyatakan ‘dilarang’ oleh pemerintah Belanda.

Organisasi pemuda Indonesia itu berpusat di negeri Belanda. Ia mengenal organisasi tersebut melalui majalah “Indonesia Merdeka” yang diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia, yang diberikan kepada salah seorang pegawai pos. Setelah membaca majalah tersebut, pikiran Soegondo semakin terbuka. Ia menyadari betapa pentingnya meraih sebuah kemerdekaan.

Sebagai tindakan awal, ia belajar dan berdiskusi mengenai politik dengan Hj. Agus Salim. Ia menghubungi teman-temannya untuk datang dan membaca ‘majalah terlarang’ tersebut dan berdiskusi di pemondokannya. Ada beberapa temannya yakni, Soewirjo dan Usman Sastroamidjojo, adik Ali Sastroamidjojo.

Soegondo, memiliki rasa nasionalisme yang besar sehingga ia bergabung dengan Persatuan Pemuda Indonesia (PPI), meskipun banyak pemuda lainnya lebih berminat bergabung di dalam organisasi kedaerahan. Ia masuk organisasi Persatuan Pemuda Indonesia dan tidak masuk dalam Jong Java.

Pada tahun 1926, Soegondo membentuk Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), terinspirasi oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda. Pada waktu itu, Sigit terpilih sebagai ketuanya. Tujuan organisasi tersebut adalah untuk menghubungi mahasiswa-mahasiswa baru dan pemimpin perkumpulan pemuda dalam rangka menularkan semangat persatuan.

Mereka membuat pamflet rahasia untuk menggulingkan pemerintahan Belanda di Indonesia. Setelah setahun berselang, masa jabatan Sigit berakhir dan digantikan oleh Soegondo. Sebagai ketua baru, ia mengundang wakil-wakil perkumpulan pemuda, lalu membentuk panitia kongres pada bulan Juni 1928.

Sugondo Djojopuspito meninggal dunia di Yogyakarta tanggal, 23 April 1978 pada usia 73 tahun. Atas jasanya dalam menginisiasi Kongres Pemuda, maka Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978 memberikan Tanda Kehormatan kepada Soegondo, berupa Bintang Jasa Utama.

Pada tahun 1992, ia mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan. Kemenpora, mengabadikan namanya pada Gedung Pertemuan Pemuda sebagai Wisma Soegondo Djojopoespito di Cibubur, milik Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional (PP-PON) yang diresmikan pada tanggal 18 Juli 2012.

2. Prof. Mr. Mohammad Yamin, SH. Mohammad Yamin, lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903. Ia pertama kali muncul pada tahun 1922 sebagai penyair, dengan judul puisinya “Tanah Air”. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Minangkabau di Sumatera.

Puisi tersebut adalah puisi modern Melayu yang pertama, yang pernah diterbitkan. Puisi keduanya berjudul “Tumpah Darahku”, yang muncul pada 28 Oktober 1928. Ketika Konggres Pemuda II 1928 diadakan, Mohammad Yamin merupakan salah satu kandidat Ketua Panitia Kongres II, namun yang terpilih adalah Soegondo Djojopoespito.

Saat itu, Kongres Pemuda membutuhkan figur ketua yang ‘netral’. Karena Mohammad Yamin masuk dalam Jong Sumatranen Bond. Maka, Soegondo dipilih sebagai Ketua dan Mohammad Yamin diangkat menjadi Sekretaris.

Pada kesempatan itu, notulen ditulis dalam bahasa Belanda. Pada sesi terakhir Kongres Pemuda II, Soenario, perwakilan dari kepanduan (sekarang Pramuka) berpidato. Pada waktu itu, M. Yamin yang duduk di sebelah Soegondo menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo seraya berbisik, “Ik heb een elganter formuleren voor de resolutie” (saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes), ujar Yamin.

Di dalam secarik kertas itu, tertulis tiga frasa yang kemudian dikenal sebagai trilogi Sumpah Pemuda, yaitu: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”. Selanjutnya, Soegondo memberi paraf pada secarik kertas itu yang artinya menyatakan setuju, dan diikuti oleh anggota lainnya yang juga menyatakan tanda setuju. Akhirnya, ikrar Sumpah Pemuda dibacakan oleh Soegondo dan diikuti oleh semua peserta Kongres.

Mohammad Yamin, meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1962 dalam usia 59 tahun.

3. Wage Rudolf Soepratman. Wage Rudolf Supratman, lahir di Somongari-Purworejo, 9 Maret 1903. Ia salah seorang pahlawan yang beragama Kristen Katolik. Dalam Kongres Pemuda II, pemuda yang akrab sisapa WR. Soepratman menghampiri Ketua panitia Kongres dengan membisikkan sesuatu. Ia meminta izin pada Ketua Panitia Kongres agar diperbolehkan memperdengarkan lagu ciptaannya, yang berjudul “Indonesia Raya”.

Karena Kongres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, maka Soegondo sebagai Ketua Panitia Kongres tidak menginginkan Kongres itu dibubarkan atau peserta ditangkap oleh Polisi Belanda. Maka, Soegondo berbisik kepada WR. Supratman agar memperdengarkan lagu Indonesia Raya itu cukup dengan instrument biolanya saja.

4.  Soenario Sastrowardoyo. Prof. Mr.Soenario Sastrowardojo lahir di Madiun-Jawa Timur, pada 28 Agustus 1902. Ia adalah salah satu tokoh Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Soenario adalah salah satu tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional, yaitu Manifesto 1925 dan Kongres Pemuda II. Ketika Manifesto 1925 dicetuskan, ia menjadi pengurus Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging, kelak berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia) bersama Drs. M. Hatta. Soenario menjadi Sekretaris II, dan M. Hatta menjadi bendahara I. Pada akhir Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de Rechten (Mr), lalu pulang ke Indonesia.

Ia mempunyai pengalaman yang cukup banyak di Belanda. Ia aktif sebagai pengacara, sehingga ia membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Selain itu, ia mempunyai pengalaman berorganisasi, sehingga ia turut membantu sebagai Penasihat pada Kongres Pemuda II. Selain menjadi penasihat, Soenario juga menjadi pembicara dalam Kongres. Judul makalahnya adalah “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia”.

 

Sumpah Pemuda membawa dampak bagi perjuangan bangsa Indonesia. Begitu juga bagi kehidupan Soenario. Soenario yang beragama Islam, jatuh cinta dan akhirnya menikahi gadis Minahasa beragama Kristen Protestan yang ditemuinya saat pelaksanaan Kongres Pemuda II (1928). Pada tahun 1956-1961, ia menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris.

Tidak hanya itu, ia pun diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro-Semarang dari tahun 1963-1966. Pada tahun 1960-1972, ia menjadi Rektor IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah, yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta, serta UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta. Soenario meninggal dunia pada 18 Mei 1997 pada usia 94 tahun di RS Medistra-Jakarta, sedangkan istrinya meninggal pada 1994.

5.  Sie Kong Liong. Sie Kong Liong adalah salah satu nama yang mungkin masih asing di telinga public Indonesia. Ia tidak popular seperti tokoh-tokoh lain, bahkan mungkin tidak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah. Padahal, tanpa andil Sie Kong Liong, sejarah Sumpah Pemuda mungkin akan memiliki jalan cerita yang berbeda.

Betapa tidak, Sie Kong Liong adalah pemilik sebuah rumah di Jalan Kramat Raya Nomor 106, yang menjadi tempat pelaksanaan Kongres II (Sumpah Pemuda). Atas prakarsa Soenario, rumah milik Sie Kong Liong dipugar oleh Gubernur DKI kala itu, Ali Sadikin, dan ditetapkan menjadi Gedung Sumpah Pemuda sebelum akhirnya berubah nama menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Pada akhirnya, Kongres Pemuda II yang diselenggarakan dua hari yaitu, 27-28 Oktober 1928 di Batavia itu, membuahkan hasil, yang menegaskan cita-cita akan adanya “Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia”. Saat itu, tiga isi Sumpah Pemuda yang merupakan Keputusan Kongres tersebut menjadi asas bagi setiap ‘perkumpulan kebangsaan Indonesia’ dan ‘disiarkan dalam segala surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan”.

6.  Dr. Johannes Leimena. Johannes Leimena, lahir di Ambon-Maluku, 6 Maret 1905. Ia adalah salah satu pahlawan Indonesia. Ia satu-satunya orang yang pernah menjabat sebagai Menteri Kabinet Indonesia selama 21 tahun berturut-turut tanpa putus. Ia pernah masuk dalam 18 Kabinet yang berbeda, mulai dari Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora II (1966). Ia mengemban tugas sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Wakil Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu, ia menyandang pangkat Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) dalam rangka Trikora.

Pada tahun 1926, Johannes Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Ia sudah aktif dalam organisasi sejak lulus studi kedokteran STOVIA. Ia mengikuti organisasi CSV, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tahun 1950. Ia aktif dalam Jong Ambon, sehingga ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Dr. Johannes Leimena meninggal dunia di Jakarta, tanggal 29 Maret 1977 pada usia 72 tahun.

7.   Djoko Marsaid. Djoko Marsaid adalah Wakil Ketua Panitia Kongres Pemuda II, dimana ia menjadi perwakilan dari Jong Java.

8. Mr. Amir Sjarifoeddin. Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap) lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907. Ia seorang penganut agama Kristen Protestan, meskipun ia berasal dari keluarga Batak yang beragama Islam, namun kemudian Amir pindah menganut agama Kristen Protestan pada tahun 1931. Ia pernah memberikan khotbah dalam Gereja Protestan terbesar di Batak yang ada di Batavia. Khotbah itulah yang menjadi salah satu bukti bahwa Amir sebagai penganut agama Kristen Protestan pada tahun 1931. Ia meninggal dunia di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada usia 41 tahun.

9.  Sarmidi Mangunsarkoro. Mangunsarkoro atau Ki Sarmidi Mangunsarkoro, lahir pada tanggal 23 Mei 1904. Ia mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1949 hingga tahun 1950. Pribadi Ki Sarmidi Mangunsarkoro seorang yang sederhana, dan berwawasan luas. Penampilan yang sangat sederhana, ia terapkan juga pada waktu menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu tidak mau bertempat tinggal di rumah dinas Menteri Kabinet. Ia meninggal dunia tanggal 8 Juni 1957 pada usia 53 tahun.

10. Mr. Kasman Singodimedjo. Kasman Singodimedjo, lahir di Poerworedjo-Jawa Tengah, 25 Februari 1904. Ia pernah menjadi Jaksa Agung Indonesia periode 1945 – 1946. Ia termasuk mantan Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II. Pada tahun 1945-1950, Kasman Singodimedjo pernah mengemban tugas sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjadi cikal bakal dari DPR. Ia meninggal dunia di Jakarta, 25 Oktober 1982 pada usia 78 tahun.

11. Mohammad Roem. Mohammad Roem, lahir di Parakan-Temanggung, 16 Mei 1908. Pada masa Ir. Soekarno menjadi Presiden, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Mendagri. Ia pernah mengambil bagian dalam Perjanjian Roem-Roijen selama revolusi Indonesia. Ia meninggal dunia di Jakarta, 24 September 1983 pada usia 75 tahun.

12. Dr. AK. Gani. Adnan Kapau Gani atau biasa disingkat AK. Gani, lahir di Palembayan Agam-Sumatera Barat pada 16 September 1905. Ia adalah seorang dokter dan politisi Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II. Ia bergerak dalam organisasi Jong Sumatra Bond. Ia meninggal di Palembang-Sumatera Selatan pada 23 Desember 1968 pada usia 63 tahun.

Selanjutnya, perlu pula kita tahu 75 orang tokoh yang menjadi peserta dan mengikuti Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta), yaitu sbb: Abdul Muthalib Sangadji. Purnama Wulan. Abdul Rachman. Raden Soeharto. Abu Hanifah.

Raden Soekamso. Adnan Kapau Gani. Ramelan. Amir (Dienaren van Indie). Saerun (Keng Po). Anta Permana. Sahardjo. Anwari. Sarbini. Arnold Manonutu. Sarmidi Mangunsarkoro. Assaat. Sartono. Bahder Djohan. S.M. Kartosoewirjo. Dali. Setiawan. Darsa. Sigit (Indonesische Studieclub). Dien Pantouw. Siti Sundari. Djuanda. Sjahpuddin Latif. Dr. Pijper. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken).

Emma Puradiredja. Soejono Djoenoed Poeponegoro. Halim. R.M. Djoko Marsaid. Hamami. Soekamto. Jo Tumbuhan. Soekmono. Joesoepadi. Soekowati (Volksraad). Jos Masdani. Soemanang. Kadir. Soemarto. Karto Menggolo. Soenario (PAPI & INPO). Kasman Singodimedjo. Soerjadi. Koentjoro Poerbopranoto. Soewadji Prawirohardjo. Martakusuma. Soewirjo. Masmoen Rasid. Soeworo. Mohammad Ali Hanafiah. Suhara. Mohammad Nazif. Sujono (Volksraad).

Mohammad Roem. Sulaeman. Mohammad Tabrani. Suwarni. Mohammad Tamzil. Tjahij. Muhidin (Pasundan). Van der Plaas (Pemerintah Belanda). Mukarno. Wilopo. Muwardi. Wage Rudolf Soepratman. Nona Tumbel. Kwee Thiam Hong. Oey Kay Siang. John Lauw Tjoan Hok. Tjio Djien Kwie.

Itulah sekelumit kisah di balik peristiwa Sumpah Pemuda. Semoga bermanfaat. Salam Soempah Pemoeda dan Merdeka!!!

 

Editor: Silvester Detianus Gea

 

Referensi

[1] Bdk. Buku: Bernadus Barat Daya dan Silvester Detianus Gea “Mengenal Tokoh Katolik Indonesia: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional hingga Pejabat Negara”, Yakomindo, 2017.

Iman vs Akal Budi

Iman vs Akal Budi
(Foto/DOKPRI).


Oleh: Silvester Detianus Gea*

Wabah Corona Virus Disease (Covid 19) yang melanda dunia saat ini menimbulkan berbagai masalah. Tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial, politik, melainkan berkaitan dengan ideologi, terutama ideologi agama. Pada konteks ini berkaitan dengan pandangan orang-orang yang ‘mengaku’ beriman kepada Tuhan. Terlebih sejak pemerintah mengeluarkan larangan untuk membuat kerumunan atau pertemuan-pertemuan yang memungkinkan adanya kontak fisik. Seperti kita ketahui, pemerintah juga menghimbau agar tempat-tempat ibadah untuk sementara melaksanakan ibadah online.

Banyak orang mulai berdalih, dan mencoba mencari pembenaran untuk ‘melawan’ aturan yang dibuat oleh pemerintah. Mereka mencomot dan mengutip berbagai ayat untuk mendukung pendapat mereka bahwa satu-satunya yang harus ditakuti adalah Tuhan. Oleh sebab itu, mereka mengajak jemaat mereka agar tetap melaksanakan ibadah di gereja. Bahkan mereka membuat pernyataan bahwa ketika umat takut untuk mengadakan ibadah di gereja, sesungguhnya telah menduakan Tuhan. Namun, seiring berjalannya waktu, penganut paham ‘fideisme’ (iman saja cukup) ini mulai menghilang. Menghilang dalam arti, mereka mulai patuh kepada aturan pemerintah. Meskipun sebagian dari mereka tetap membuat dan menyebarkan pernyataan yang sama di berbagai sosial media.

Terkait dengan paham ‘fideisme’ tersebut, salah seorang tokoh agama menyampaikan tantangan kepada penganut paham fideisme agar mereka turun langsung untuk melaksanakan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) penyembuhan di rumah-rumah dan di rumah sakit. Hingga saat ini, tantangan tersebut belum dijawab oleh penganut paham fideisme. Malahan mereka lebih banyak membuat tulisan-tulisan di media sosial daripada bertindak dan turun langsung. Penganut paham fideisme disatu sisi benar, namun disisi lain mereka kurang bijak, dan tidak memakai akal budi. Pandangan mereka benar, bahwa kita wajib takut hanya kepada Tuhan. Namun, mereka disisi lain tidak menggunakan akal budi yang telah diberikan oleh Tuhan. Ibarat didepan mereka ada jurang yang sangat dalam, namun mereka tetap berjalan karena mereka yakin Tuhan menyelamatkan. Sementara jika mereka memakai akal budi, mereka tahu bahwa Tuhan tidak mungkin menegur seketika supaya tidak jatuh ke dalam jurang itu. Tentulah Tuhan bisa saja memakai orang lain untuk menegur agar kita tidak jatuh ke dalam jurang.

Meskipun ada sekelompok orang menganut paham fideisme, ada pula yang menganut paham fideisme dan akal budi. Penganut fideisme dan akal budi sesungguhnya lebih bertindak bijak dalam hal ini. Mereka memandang suara pemerintah sebagai ‘suara Tuhan’. Tidak heran paham tersebut terkandung dalam Kitab Suci, dimana umat beriman diajak untuk menghormati lembaga pemerintahan. Bisa jadi, penganut fideisme sekaligus akal budi setidaknya pernah membaca gagasan St. Thomas Aquinas seorang imam dari ordo dominikan. Menurut St. Thomas Aquinas iman dan akal budi mesti berasal dari wahyu Allah. Oleh sebab itu, iman harus dibangun di atas akal budi sehingga sempurna. Iman dapat menjelaskan apa yang terbatas secara akal budi, sementara akal budi menjelaskan apa yang diketahui secara inderawi.

Dengan demikian, umat beriman sebaiknya memiliki paham fideisme tanpa membuang akal budi. Sebab keduanya saling melengkapi. Seandinya saja, paham fideisme itu tanpa akal budi, maka seseorang itu dapat beriman secara membabi-buta. Artinya, akal budi dibuang secara total demi menegaskan bahwa fideisme satu-satunya yang harus dipegang. Akal budi dan iman bekerja sama untuk memahami apa yang tersembunyi di balik setiap peristiwa kehidupan manusia. Oleh sebab itu, akal budi dan iman adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan sehingga mampu menelusuri lebih jauh keagungan dan kebesaran Tuhan di balik setiap peristiwa.

*Penulis adalah Wartawan FloresNews.net, ZIARAHNEWS.COM, dan  KOMODOPOS.COM, Pernah menulis buku bersama Bernadus Barat Daya berjudul “MENGENAL TOKOH KATOLIK INDONESIA: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara” (2017), Menulis buku berjudul "MENGENAL BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL SUKU NIAS" (2018). Kontributor website Media Dialogika Indonesia (Madilog.id), kontributor website Societasnews.id, Author JalaPress.com, dan mengajar di salah satu sekolah (2019-sekarang). Penulis dapat dihubungi melalui email: detianus.634@gmail.com atau melalui Facebook: Silvester Detianus Gea. Akun Kompasiana: https://www.kompasiana.com/silvesterdetianusgea8289.

Mengenal Nama dan Fungsi Perlengkapan Misa


Mengenal Nama dan Fungsi Perlengkapan Misa
(Foto/ANSA)

Perlengkapan Misa dalam Gereja Katolik cukup banyak. Banyak orang yang mengetahui perlengkapan itu, namun tidak semua perlengkapan Misa diketahui fungsi dan namanya. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini tim JalaPress.com akan memberikan penjelasan singkat tentang perlengkapan Misa.

Navikula

Navikula merupakan sebuah bejana yang digunakan sebagai wadah serbuk dupa.
Aspergilum
Aspergilum berasal dari bahasa Latin Aspergere yang berarti memerciki. Aspergilum berbentuk tongkat pendek yang pada bagian ujungnya mengembung dengan lubang-lubang kecil atau berbentuk serabut. Aspergilum biasanya digunakan dalam perayaan pemberkatan atau pembaharuan janji baptis.  
Sacramentarium

Sacramentarium merupakan buku panduan Misa yang digunakan oleh para imam. Buku tersebut berisi doa-doa dan tata perayaan Ekaristi.

Piala (Calix/Cawan)

Piala atau cawan adalah tempat yang digunakan untuk anggur sebelum dikonsekrasi atau setelah dikonsekrasi. Biasanya dibuat dari logam mulia, atau logam yang disepuh dengan emas.

Purifikatiroum (Purificatorium)

Purifikatorium berasal dari bahasa Latin Purificatorium adalah sehelai kain lenan berwarna putih berbentuk segi empat. Purificatorium berfungsi untuk membersihkan piala, sibori, dan patena. Biasanya setelah digunakan kain lenan ini dilipat menjadi tiga bagian dan diletakkan di atas piala membentuk kain yang memanjang.

Patena

Patena dapat diartikan sebagai ‘Piring’. Bentuknya bundar, pipih, ada yang datar atau sedikit melengkung. Patena digunakan sebagai tempat hosti yang akan dikonsekrasi. Biasanya patena diletakkan di atas purifikatorium. Patena terbuat dari dari emas atau logam yang disepuh dengan emas.

Palla

Palla Corporalis dapat diartikan kain untuk menutupi Tubuh Kristus. Palla merupakan kain lenan berwarna putih. Palla biasanya keras dan kaku berbentuk persegi. Palla digunakan untuk menutup piala yang diletakkan di atas patena.

Corporal/Corporale

Corporale merupakan kain lenan berwarna putih berbentuk segi empat, di tengahnya terdapat gambar salib. Corporale berfungsi sebagai alas untuk bejana suci roti dan anggur. Biasanya corporale diletakkan di atas palla.

Monstrans

Monstrans berasal dari bahasa latin monstrare, artinya memperlihatkan, menunjukkan, mempertontonkan. Monstrans biasanya digunakan sebagai tempat pentahtaan Sakramen Mahakudus.

Ampul

Ampul merupakan dua bejana yang terbuat dari kaca atau logam, bentuknya seperti gelas atau tabung kecil dan terdapat tutup di atasnya. Ampul berfungsi sebagai tempat anggur dan air sebelum dituangkan ke dalam piala.

Lavabo

Lavabo berasal dari bahasa latin ‘Lavare’ artinya membasuh. Lavabo berbentuk bejana dan memiliki alas seperti mangkuk. Lavabo berfungsi sebagai tempat air untuk membasuh tangan imam. Biasanya dilengkapi dengan kain putih untuk mengeringkan tangan.

Turibulum

Turibulum biasanya lebih akrab disebut wiruk atau dupa. Dupa atau Wiruk berasal dari bahasa Latin ‘Thuris’ yang artinya dupa. Turibulum digunakan sebagai tempat dibakarnya dupa, sehingga sering diisi dengan arang atau bara api sebelum dituangkan serbuk.

Sibori

Sibori berasal dari bahasa Latin ‘Cyborium’ artinya piala logam. Sibori mempunyai bentuk seperti piala, namun memiliki tutup pada bagian atasnya yang terbuat dari logam mulia, atau logam yang disepuh emas. Sibori digunakan sebagai tempat hosti yang dibagikan kepada umat.

Piksis

Piksis berasal dari bahasa Latin ‘Piyx’ yang berarti kotak atau wadah. Piksis memiliki bentuk bundar kecil dan engsel penutup. Piksi berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan Sakramen Mahakudus.
Demikianlah penjelasan tentang nama perlengkapan misa dan fungsi dari setiap perlengkapan tersebut. Semoga bermanfaat.

Penulis: Silvester Detianus Gea


Selibat dan Menikah Ajaran Yesus





Selibat dan Menikah Ajaran Yesus

Serangan-serangan kaum Fundamentalis pada hidup selibat dapat dilihat dalam berbagai bentuk -- tidak semuanya selaras satu dengan yang lainnya. Hampir semua yang disampaikan penuh dengan berbagai kesimpangsiuran.

Kekeliruan pertama dan paling mendasar adalah mereka mengira bahwa selibat merupakan dogma atau doktrin -- bagian dari iman yang sentral dan tidak dapat diubah, yang dipercayai oleh umat Katolik berasal dari Yesus dan para rasul. Dengan itu sebagian kaum Fundamentalis begitu memperhatikan referensi dari Alkitab terhadap ibu-mertua Petrus (Markus 1:30), nampaknya beranggapan bahwa, bila Katolik tahu bahwa Petrus menikah, maka mereka tidak dapat menganggap dia sebagai Paus pertama. Sekali lagi, lini waktu yang dimaksud oleh kaum Fundamentalis akan "ciptaan-ciptaan Katolik" (sebuah bentuk tulisan populer) menetapkan "keharusan selibat imamat" kepada tahun ini atau itu di dalam sejarah Gereja, mengandaikan bahwa sebelum keharusan ini Gereja bukanlah Katolik.

Kaum Fundamentalis ini seringkali terkejut bila mengetahui bahwa selibat bukanlah aturan kepada semua imam Katolik. Faktanya, untuk Katolik Ritus Timur, imam yang menikah adalah hal umum, sama layaknya dengan Kristen Ortodoks dan Oriental.

Bahkan di dalam gereja-gereja Timur, sesungguhnya, selalu ada beberapa pembatasan-pembatasan akan pernikahan dan pentahbisan. Sekalipun pria yang sudah menikah bisa menjadi imam, imam yang tidak menikah tidak boleh menikah, dan imam yang sudah menikah, bila menjadi duda, tidak boleh menikah lagi. Terlebih lagi, ada disiplin Timur kuno yang memilih para uskup dari para biarawan yang selibat, jadi semua uskup-uskup mereka tidak menikah.

Tradisi dalam Gereja Barat atau Ritus Latin adalah bagi imam-imam dan para uskup untuk mengambil kaul selibat, sebuah aturan yang sudah dikukuhkan sejak awal abad pertengahan. Akan tetapi, ada beberapa pengecualian. Sebagai contoh, ada imam-imam Ritus Latin yang menikah yang adalah mereka yang pindah dari Lutheranisme dan Epikospalisme.

Beberapa variasi-variasi dan pengecualian-pengecualian ini mengindikasikan, bahwa selibat bukanlah dogma yang tidak dapat diubah tetapi hanyalah sebuah aturan (disiplin). Fakta bahwa Petrus menikah tidak bertentangan dengan iman Katolik, karena pastor dari Gereja Katolik Maronit juga menikah.

Apakah Pernikahan itu Keharusan?

Kebingungan lain dari kaum Fundamentalis yang agak berbeda adalah anggapan bahwa selibat itu tidak alkitabiah, bahkan "tidak alami." Setiap manusia, klaimnya, harus mematuhi perintah Alkitab untuk "Beranak cuculah" (Kej 1:28); dan Paulus memerintahkan supaya "setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri" (1 Kor 7:2). Bahkan diargumentasikan bahwa selibat entah bagaimana "menyebabkan", atau paling tidak mempunyai keterkaitan dengan peningkatan insiden dari perilaku seksual yang haram atau menyimpang.

Semua ini tidak benar. Sekalipun hampir semua orang pada suatu titik dalam hidup mereka dipanggil untuk menikah, panggilan selibat sudah dengan jelas dianjurkan -- dan dipraktisikan -- oleh Yesus maupun Paulus.

Jauh dari "memerintahkan" pernikahan di dalam 1 Korintus 7, pada bab yang sama tersebut Rasul Santo Paulus nyatanya mendukung selibat bagi mereka yang mampu akan itu: "Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu." (1 Kor 7:8-9).

Hanya karena "bahaya percabulan" (7:2) itulah Paulus memberikan pengajaran mengenai setiap laki-laki dan wanita memiliki seorang pasangan dan memenuhi "kewajibannya" (7:3); dia secara spesifik menjelaskan, "Hal ini kukatakan kepadamu SEBAGAI KELONGGARAN, BUKAN SEBAGAI PERINTAH. Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu." (1 Kor. 7:6-7).

Paulus melangkah lebih jauh lagi untuk berargumen mengenai selibat lebih dari pernikahan: "...Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang... orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau menghindarkan kamu dari kesusahan itu... Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya; Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya." (7:27-34)
Kesimpulan Paulus: "Jadi orang yang kawin dengan gadisnya berbuat baik, dan orang yang tidak kawin berbuat lebih baik." (7:38).

Paulus bukanlah rasul pertama yang menyimpulkan bahwa selibat, dalam beberapa artian, "lebih baik" daripada menikah. Setelah pengajaran Yesus dalam Matius 19:12 mengenai cerai dan menikah lagi, para murid berseru, "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." (Matius 19:10). Ucapan ini memulai pengajaran Yesus akan nilai-nilai selibat "demi kerajaan":

"Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." (Matius 19:11-12).

Perhatikan bahwa selibat "demi kerajaan surga" adalah sebuah karunia, sebuah panggilan yang tidak untuk semua orang, atau bahkan kebanyakan orang, tetapi dikaruniakan kepada sebagian. Orang-orang yang lain terpanggil ke dalam pernikahan. Benar pula bahwa seringkali individu-individu yang berada dalam kedua jenis panggilan tersebut gagal dari syarat-syarat yang dibutuhkan akan status mereka, tetapi hal ini tidak mengecilkan kedua panggilan tersebut, maupun itu berarti bahwa individu yang bersangkutan sebenarnya "tidak benar-benar terpanggil" untuk panggilan tersebut. Dosa seorang imam tidak membuktikan bahwa dia seharusnya tidak pernah mengambil kaul selibat, sama halnya dosa seorang laki-laki atau perempuan yang sudah menikah membuktikan bahwa dia seharusnya tidak menikah. Hal yang mungkin bagi kita untuk gagal dalam panggilan sejati kita.

Selibat sesuatu yang alami dan alkitabiah. "Beranak cuculah" tidak mengikat kepada setiap individu; melainkan, ia adalah pedoman umum bagi umat manusia. Jika tidak, setiap laki-laki maupun wanita yang sudah masuk dalam usia menikah akan berada dalam keadaan berdosa dengan tetap melajang, dan Yesus dan Paulus akan bersalah dalam menganjurkan dosa sekaligus pula melakukannya.

Suami Dari Satu Isteri

Argumen Fundamentalis lainnya, sehubungan dengan yang terakhir, adalah bahwa pernikahan itu keharusan bagi pemimpin-pemimpin Gereja. Paulus berkata bahwa seorang uskup haruslah "suami dari satu istri," dan "seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?" (1 Tim 3:2,4-5). Ini berarti, seolah-olah mereka benar bahwa hanya seorang pria yang sudah menunjukkan kekeluargaannya layak untuk mengurus Jemaat Allah; seorang yang tidak menikah, implikasinya, belum teruji dan terbukti.

Interpretasi ini menuju kepada kekonyolan yang total. Dalam satu hal, bila "suami dari satu istri" benar-benar berarti bahwa seorang uskup harus menikah, dengan logika yang sama "disegani dan dihormati oleh anak-anaknya" berarti bahwa dia harus mempunyai anak-anak. Suami-suami yang tidak beranak (atau ayah dari seorang anak saja, karena Paulus menggunakan kata jamak) tidak masuk kualifikasi.

Faktanya, mengikuti gaya interpretasi konyol tersebut, puncaknya, karena Paulus berkata uskup-uskup harus memenuhi syarat-syarat ini (bukan akan mereka telah memenuhi syarat tersebut, atau akan kandidat-kandidat uskup yang sudah memenuhinya), juga berarti bahwa uskup yang sudah ditahbiskan yang istri maupun anak-anaknya meninggal akan menjadi tidak layak untuk pelayanan! Jelas-jelas penafsiran harafiah seperti ini harus ditolak.

Teori bahwa pemimpin-pemimpin Gereja harus menikah juga berkontradiksi dengan fakta jelas bahwa Paulus sendiri, seorang pemimpin Gereja unggul, lajang dan bahagia dalam kelajangannya. Terkecuali dia seorang munafik, dia tidak dapat memaksakan persyaratan kepada para uskup dimana dia sendiri tidak memenuhinya. Pertimbangkan pula, implikasi dari sikap positif Paulus terhadap selibat dalam 1 Korintus 7: Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi dan perhatiannya terbagi-bagi, tetapi hanya mereka yang layak untuk menjadi uskup-uskup; sedangkan mereka yang tidak menikah dan memusatkan perhatiannya kepada Tuhan, ditolak dari pelayanan!

Saran bahwa laki-laki yang tidak menikah belum teruji atau terbukti jugalah konyol. Setiap panggilan mempunyai tantangannya sendiri; laki-laki selibat harus melatih "pengendalian diri" (1 Kor 7:9); suami harus mengasihi dan berkorban demi istrinya (Ef 5:25); dan seorang ayah harus membesarkan anak-anaknya dengan baik (1 Tim 3:4). Setiap laki-laki harus memenuhi standar Rasul Paulus dalam "mengurus rumah tangganya dengan baik", sekalipun "rumah tangga" ini adalah dirinya sendiri. Bila itu seorang laki-laki selibat menemui standar yang lebih tinggi dari seorang pria berkeluarga yang terhormat.

Jelasnya, maksud dari persyaratan Rasul Paulus bahwa seorang uskup "suami dari satu istri" bukanlah bahwa dia harus mempunyai satu istri, tetapi bahwa dia harus mempunyai satu istri saja. Dinyatakan sebaliknya, Paulus berkata bahwa seorang uskup harus tidak mempunyai anak-anak yang tidak bisa diatur atau tidak disiplin (bukan dia harus mempunyai anak-anak yang harus berperilaku baik), dan tidak boleh menikah lebih dari sekali (bukan dia harus menikah).

Sejatinya, secara tepat mereka yang secara unik "memusatkan perhatian akan perkara-perkara Tuhan" (1 Kor 7:32), kepada mereka yang telah diberikan untuk "membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga" (Mat 19:12), yang secara ideal cocok untuk mengikuti langkah-langkah mereka yang telah "meninggalkan segala-galanya" demi mengikuti Kristus (bdk. Mat 19:27) -- panggilan sebagai imam kaum religi yang dikonsekrasi (para biarawan dan biarawati).

Karena itu Paulus memperingatkan Timotius, seorang uskup muda, bahwa mereka yang dipanggil menjadi "prajurit" Kristus harus menghindari "hal-hal sipil": "Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus. Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya." (2 Tim 2:3-4). Dalam terang kata-kata Paulus pada 1 Korintus 7 mengenai keuntungan dari selibat, pernikahan dan keluarga jelas-jelas menonjol dalam kaitannya dengan "hal-hal sipil".

Sebuah contoh dari pelayanan selibat juga bisa dilihat pada Perjanjian Lama. Nabi Yeremia, sebagai bagian dari pelayanan nubuatannya, dilarang untuk mengambil seorang istri: "Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya: "Janganlah mengambil isteri dan janganlah mempunyai anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan di tempat ini."" (Yer 16:1-2). Tentunya, ini berbeda dengan selibat imamat Katolik, yang tidak ditahbiskan secara ilahi; tetapi preseden ilahi masih mendukung legitimasi dari institusi manusia ini.

Dilarang Untuk Menikah

Tetapi tiada satupun dari ayat-aya ini memberikan kita contoh akan selibat sebagai mandat dari manusia. Selibat Yeremia itu sebuah keharusan, tetapi itu dari Tuhan. Ucapan Paulus kepada Timotius akan "hal-hal sipil" hanyalah peringatan umum, bukan perintah spesifik; dan bahkan dalam 1 Korintus 7 Rasul Paulus menganjurkan untuk selibat dengan menambahkan: "Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan." (7:35)

Ini membawa kita kepada serangan terakhir kaum Fundamentalis: bahwa, dengan mensyaratkan sebagian dari imam dan kaum religinya untuk tidak menikah, Gereja Katolik jatuh kedalam kutukan Paulus dalam 1 Timotius 4:3 kepada para pembelot yang "melarang pernikahan".

Faktanya, Gereja Katolik tidak melarang siapa pun untuk menikah. Tidak ada yang diharuskan mengambil kaul selibat; mereka yang melakukan hal itu, melakukannya dengan sukarela. Mereka demikian "karena kemauan sendiri" (Mat 19:12); tiada yang melarang hal itu kepada mereka. Seorang Katolik yang tidak ingin mengambil kaul tersebut tidak perlu melakukannya, dan dia bebas untuk menikah dengan restu dari Gereja. Gereja secara sederhana memilih kandidat-kandidat untuk imamat (atau, pada ritus Timur, untuk episkopat) dari mereka yang secara sukarela untuk tidak menikah.

Tetapi apakah ada preseden alkitabiah akan praktisi yang membatasi keanggotaan ke dalam group hanya kepada mereka yang secara sukarela berkaul selibat? Ya. Rasul Paulus, menulis sekali lagi kepada Timotius, menyebut para janda yang bersumpah tidak menikah lagi (1 Tim 5:9-16); dengan tertentu menasihati: "Tolaklah pendaftaran janda-janda yang lebih muda. Karena apabila mereka sekali digairahkan oleh kebirahian yang menceraikan mereka dari Kristus, mereka itu ingin kawin dan dengan memungkiri kesetiaan mereka yang semula kepada-Nya, mereka mendatangkan hukuman atas dirinya." (5:11-12).

"Kesetiaan mereka yang semula" yang dipungkiri oleh pernikahan lagi tidak mungkin mengacu kepada pernikahan mereka yang pertama, karena Paulus tidak mengutuk para janda untuk menikah lagi. (cf. Rom 7:2-3). Itu hanya bisa mengacu kepada sumpah untuk tidak menikah yang diambil para janda yang masuk ke dalam grup ini. Hasilnya, mereka adalah bentuk awal dari group perempuan religi -- Biarawati Perjanjian Baru. Gereja Perjanjian Baru memiliki tatanan dengan keharusan selibat, sama halnya Gereja Katolik saat ini. Pelarang Pernikahan yang dimaksud Rasul Paulus pada saat itu adlaah sekte Gnostik. Gnostik mencela pernikahan, seks, dan menganggap tubuh itu pada hakekatnya jahat. Beberapa bidaah awal masuk ke dalam penjabaran ini, pula kaum Albigensian dan Kataris pada abad pertengahan (yang, ironisnya, dikagumi beberapa penulis anti-Katolik yang tidak kritis, nampaknya hanya karena kebetulan mereka bersikeras untuk menggunakan versi terjemahan bahasa mereka masing-masing akan Alkitab; lihat pada traktat Catholic Answer berjudul Catholic Inventions).

Martabat Dari Selibat dan Pernikahan

Kebanyakan umat Katolik menikah, dan semua umat Katolik diajarkan untuk menghormati pernikahan sebagai institusi kudus -- sebuah sakramen, tindakan Allah akan jiwa kita; salah satu dari hal-hal terkudus yang kita alami dalam hidup ini.

Faktanya, justru karena kesucian pernikahanlah membuat selibat itu berharga; hanya karena apa yang baik dan kudus dalam sendirinya itu bisa diserahkan kepada Allah sebagai persembahan. Sama layaknya puasa mengandaikan kebaikan dari makanan, selibat juga mengandaikan kebaikan dari pernikahan. Dengan memandang rendah selibat, maka dari itu, sama dengan memandang rendah pernikahan itu sendiri -- seperti yang ditunjukkan oleh Bapa-bapa Gereja.

Selibat juga sebuah institusi penegasan kehidupan. Dalam Perjanjian Lama, dimana selibat hampir tidak diketahui, yang tidak beranak seringkali dicela oleh orang-orang lain dan oleh diri mereka sendiri; hanya melalui anak-anak, dirasakan, seseorang mempunyai nilai. Dengan menolak pernikahan, sang selibat menegaskan nilai hakiki dari setiap hidup manusia dalam kesendiriannya, terlepas dari keturunan.

Pada akhirnya, selibat adalah pertanda eskatologi akan Gereja, sebuah tanda kehidupan saat ini akan selibat universal dari sorga: "Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga." (Mat 22:30)

NIHIL OBSTAT: I have concluded that the materials
presented in this work are free of doctrinal or moral errors.
Bernadeane Carr, STL, Censor Librorum, August 10, 2004
IMPRIMATUR: In accord with 1983 CIC 827
permission to publish this work is hereby granted.
+Robert H. Brom, Bishop of San Diego, August 10, 2004

CATATAN KAKI:
Sumber asal: http://www.catholic.com/tracts/celibacy-and-the-priesthood
Diterjemahkan oleh Maximinus