Selibat dan Menikah Ajaran Yesus
Serangan-serangan kaum
Fundamentalis pada hidup selibat dapat dilihat dalam berbagai bentuk -- tidak
semuanya selaras satu dengan yang lainnya. Hampir semua yang disampaikan penuh
dengan berbagai kesimpangsiuran.
Kekeliruan pertama dan
paling mendasar adalah mereka mengira bahwa selibat merupakan dogma atau
doktrin -- bagian dari iman yang sentral dan tidak dapat diubah, yang
dipercayai oleh umat Katolik berasal dari Yesus dan para rasul. Dengan itu
sebagian kaum Fundamentalis begitu memperhatikan referensi dari Alkitab
terhadap ibu-mertua Petrus (Markus 1:30), nampaknya beranggapan bahwa, bila
Katolik tahu bahwa Petrus menikah, maka mereka tidak dapat menganggap dia
sebagai Paus pertama. Sekali lagi, lini waktu yang dimaksud oleh kaum
Fundamentalis akan "ciptaan-ciptaan Katolik" (sebuah bentuk tulisan
populer) menetapkan "keharusan selibat imamat" kepada tahun ini atau
itu di dalam sejarah Gereja, mengandaikan bahwa sebelum keharusan ini Gereja
bukanlah Katolik.
Kaum Fundamentalis ini
seringkali terkejut bila mengetahui bahwa selibat bukanlah aturan kepada semua
imam Katolik. Faktanya, untuk Katolik Ritus Timur, imam yang menikah adalah hal
umum, sama layaknya dengan Kristen Ortodoks dan Oriental.
Bahkan di dalam gereja-gereja
Timur, sesungguhnya, selalu ada beberapa pembatasan-pembatasan akan pernikahan
dan pentahbisan. Sekalipun pria yang sudah menikah bisa menjadi imam, imam yang
tidak menikah tidak boleh menikah, dan imam yang sudah menikah, bila menjadi
duda, tidak boleh menikah lagi. Terlebih lagi, ada disiplin Timur kuno yang
memilih para uskup dari para biarawan yang selibat, jadi semua uskup-uskup
mereka tidak menikah.
Tradisi dalam Gereja
Barat atau Ritus Latin adalah bagi imam-imam dan para uskup untuk mengambil
kaul selibat, sebuah aturan yang sudah dikukuhkan sejak awal abad pertengahan.
Akan tetapi, ada beberapa pengecualian. Sebagai contoh, ada imam-imam Ritus
Latin yang menikah yang adalah mereka yang pindah dari Lutheranisme dan
Epikospalisme.
Beberapa variasi-variasi
dan pengecualian-pengecualian ini mengindikasikan, bahwa selibat bukanlah dogma
yang tidak dapat diubah tetapi hanyalah sebuah aturan (disiplin). Fakta bahwa
Petrus menikah tidak bertentangan dengan iman Katolik, karena pastor dari
Gereja Katolik Maronit juga menikah.
Apakah Pernikahan itu
Keharusan?
Kebingungan lain dari
kaum Fundamentalis yang agak berbeda adalah anggapan bahwa selibat itu tidak
alkitabiah, bahkan "tidak alami." Setiap manusia, klaimnya, harus
mematuhi perintah Alkitab untuk "Beranak cuculah" (Kej 1:28); dan
Paulus memerintahkan supaya "setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri
dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri" (1 Kor 7:2). Bahkan
diargumentasikan bahwa selibat entah bagaimana "menyebabkan", atau
paling tidak mempunyai keterkaitan dengan peningkatan insiden dari perilaku
seksual yang haram atau menyimpang.
Semua ini tidak benar.
Sekalipun hampir semua orang pada suatu titik dalam hidup mereka dipanggil
untuk menikah, panggilan selibat sudah dengan jelas dianjurkan -- dan
dipraktisikan -- oleh Yesus maupun Paulus.
Jauh dari
"memerintahkan" pernikahan di dalam 1 Korintus 7, pada bab yang sama
tersebut Rasul Santo Paulus nyatanya mendukung selibat bagi mereka yang mampu
akan itu: "Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada
janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti
aku. Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin.
Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu." (1 Kor 7:8-9).
Hanya karena
"bahaya percabulan" (7:2) itulah Paulus memberikan pengajaran
mengenai setiap laki-laki dan wanita memiliki seorang pasangan dan memenuhi
"kewajibannya" (7:3); dia secara spesifik menjelaskan, "Hal ini
kukatakan kepadamu SEBAGAI KELONGGARAN, BUKAN SEBAGAI PERINTAH. Namun demikian
alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima
dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia
itu." (1 Kor. 7:6-7).
Paulus melangkah lebih
jauh lagi untuk berargumen mengenai selibat lebih dari pernikahan:
"...Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau
mencari seorang... orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan
aku mau menghindarkan kamu dari kesusahan itu... Orang yang tidak beristeri
memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya;
Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia
dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi.
Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka
pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang
bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan
suaminya." (7:27-34)
Kesimpulan Paulus:
"Jadi orang yang kawin dengan gadisnya berbuat baik, dan orang yang tidak
kawin berbuat lebih baik." (7:38).
Paulus bukanlah rasul
pertama yang menyimpulkan bahwa selibat, dalam beberapa artian, "lebih
baik" daripada menikah. Setelah pengajaran Yesus dalam Matius 19:12
mengenai cerai dan menikah lagi, para murid berseru, "Jika demikian halnya
hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." (Matius
19:10). Ucapan ini memulai pengajaran Yesus akan nilai-nilai selibat "demi
kerajaan":
"Tidak semua orang
dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang
tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada
orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat
dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa
yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." (Matius 19:11-12).
Perhatikan bahwa selibat
"demi kerajaan surga" adalah sebuah karunia, sebuah panggilan yang
tidak untuk semua orang, atau bahkan kebanyakan orang, tetapi dikaruniakan
kepada sebagian. Orang-orang yang lain terpanggil ke dalam pernikahan. Benar
pula bahwa seringkali individu-individu yang berada dalam kedua jenis panggilan
tersebut gagal dari syarat-syarat yang dibutuhkan akan status mereka, tetapi
hal ini tidak mengecilkan kedua panggilan tersebut, maupun itu berarti bahwa
individu yang bersangkutan sebenarnya "tidak benar-benar terpanggil"
untuk panggilan tersebut. Dosa seorang imam tidak membuktikan bahwa dia
seharusnya tidak pernah mengambil kaul selibat, sama halnya dosa seorang
laki-laki atau perempuan yang sudah menikah membuktikan bahwa dia seharusnya
tidak menikah. Hal yang mungkin bagi kita untuk gagal dalam panggilan sejati
kita.
Selibat sesuatu yang
alami dan alkitabiah. "Beranak cuculah" tidak mengikat kepada setiap
individu; melainkan, ia adalah pedoman umum bagi umat manusia. Jika tidak,
setiap laki-laki maupun wanita yang sudah masuk dalam usia menikah akan berada
dalam keadaan berdosa dengan tetap melajang, dan Yesus dan Paulus akan bersalah
dalam menganjurkan dosa sekaligus pula melakukannya.
Suami
Dari Satu Isteri
Argumen Fundamentalis
lainnya, sehubungan dengan yang terakhir, adalah bahwa pernikahan itu keharusan
bagi pemimpin-pemimpin Gereja. Paulus berkata bahwa seorang uskup haruslah
"suami dari satu istri," dan "seorang kepala keluarga yang baik,
disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai
keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?" (1 Tim
3:2,4-5). Ini berarti, seolah-olah mereka benar bahwa hanya seorang pria yang
sudah menunjukkan kekeluargaannya layak untuk mengurus Jemaat Allah; seorang
yang tidak menikah, implikasinya, belum teruji dan terbukti.
Interpretasi ini menuju
kepada kekonyolan yang total. Dalam satu hal, bila "suami dari satu
istri" benar-benar berarti bahwa seorang uskup harus menikah, dengan
logika yang sama "disegani dan dihormati oleh anak-anaknya" berarti
bahwa dia harus mempunyai anak-anak. Suami-suami yang tidak beranak (atau ayah
dari seorang anak saja, karena Paulus menggunakan kata jamak) tidak masuk
kualifikasi.
Faktanya, mengikuti
gaya interpretasi konyol tersebut, puncaknya, karena Paulus berkata uskup-uskup
harus memenuhi syarat-syarat ini (bukan akan mereka telah memenuhi syarat
tersebut, atau akan kandidat-kandidat uskup yang sudah memenuhinya), juga
berarti bahwa uskup yang sudah ditahbiskan yang istri maupun anak-anaknya
meninggal akan menjadi tidak layak untuk pelayanan! Jelas-jelas penafsiran
harafiah seperti ini harus ditolak.
Teori bahwa
pemimpin-pemimpin Gereja harus menikah juga berkontradiksi dengan fakta jelas
bahwa Paulus sendiri, seorang pemimpin Gereja unggul, lajang dan bahagia dalam
kelajangannya. Terkecuali dia seorang munafik, dia tidak dapat memaksakan
persyaratan kepada para uskup dimana dia sendiri tidak memenuhinya.
Pertimbangkan pula, implikasi dari sikap positif Paulus terhadap selibat dalam
1 Korintus 7: Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi
dan perhatiannya terbagi-bagi, tetapi hanya mereka yang layak untuk menjadi
uskup-uskup; sedangkan mereka yang tidak menikah dan memusatkan perhatiannya
kepada Tuhan, ditolak dari pelayanan!
Saran bahwa laki-laki
yang tidak menikah belum teruji atau terbukti jugalah konyol. Setiap panggilan
mempunyai tantangannya sendiri; laki-laki selibat harus melatih
"pengendalian diri" (1 Kor 7:9); suami harus mengasihi dan berkorban
demi istrinya (Ef 5:25); dan seorang ayah harus membesarkan anak-anaknya dengan
baik (1 Tim 3:4). Setiap laki-laki harus memenuhi standar Rasul Paulus dalam
"mengurus rumah tangganya dengan baik", sekalipun "rumah
tangga" ini adalah dirinya sendiri. Bila itu seorang laki-laki selibat
menemui standar yang lebih tinggi dari seorang pria berkeluarga yang terhormat.
Jelasnya, maksud dari
persyaratan Rasul Paulus bahwa seorang uskup "suami dari satu istri"
bukanlah bahwa dia harus mempunyai satu istri, tetapi bahwa dia harus mempunyai
satu istri saja. Dinyatakan sebaliknya, Paulus berkata bahwa seorang uskup
harus tidak mempunyai anak-anak yang tidak bisa diatur atau tidak disiplin (bukan
dia harus mempunyai anak-anak yang harus berperilaku baik), dan tidak boleh
menikah lebih dari sekali (bukan dia harus menikah).
Sejatinya, secara tepat
mereka yang secara unik "memusatkan perhatian akan perkara-perkara
Tuhan" (1 Kor 7:32), kepada mereka yang telah diberikan untuk
"membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan
Sorga" (Mat 19:12), yang secara ideal cocok untuk mengikuti
langkah-langkah mereka yang telah "meninggalkan segala-galanya" demi
mengikuti Kristus (bdk. Mat 19:27) -- panggilan sebagai imam kaum religi yang
dikonsekrasi (para biarawan dan biarawati).
Karena itu Paulus memperingatkan
Timotius, seorang uskup muda, bahwa mereka yang dipanggil menjadi
"prajurit" Kristus harus menghindari "hal-hal sipil":
"Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus.
Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan
soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada
komandannya." (2 Tim 2:3-4). Dalam terang kata-kata Paulus pada 1 Korintus
7 mengenai keuntungan dari selibat, pernikahan dan keluarga jelas-jelas menonjol
dalam kaitannya dengan "hal-hal sipil".
Sebuah contoh dari
pelayanan selibat juga bisa dilihat pada Perjanjian Lama. Nabi Yeremia, sebagai
bagian dari pelayanan nubuatannya, dilarang untuk mengambil seorang istri:
"Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya: "Janganlah mengambil isteri
dan janganlah mempunyai anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan di tempat ini.""
(Yer 16:1-2). Tentunya, ini berbeda dengan selibat imamat Katolik, yang tidak
ditahbiskan secara ilahi; tetapi preseden ilahi masih mendukung legitimasi dari
institusi manusia ini.
Dilarang
Untuk Menikah
Tetapi tiada satupun
dari ayat-aya ini memberikan kita contoh akan selibat sebagai mandat dari
manusia. Selibat Yeremia itu sebuah keharusan, tetapi itu dari Tuhan. Ucapan Paulus
kepada Timotius akan "hal-hal sipil" hanyalah peringatan umum, bukan
perintah spesifik; dan bahkan dalam 1 Korintus 7 Rasul Paulus menganjurkan untuk
selibat dengan menambahkan: "Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu
sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi
sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan
tanpa gangguan." (7:35)
Ini membawa kita kepada
serangan terakhir kaum Fundamentalis: bahwa, dengan mensyaratkan sebagian dari
imam dan kaum religinya untuk tidak menikah, Gereja Katolik jatuh kedalam
kutukan Paulus dalam 1 Timotius 4:3 kepada para pembelot yang "melarang
pernikahan".
Faktanya, Gereja
Katolik tidak melarang siapa pun untuk menikah. Tidak ada yang diharuskan
mengambil kaul selibat; mereka yang melakukan hal itu, melakukannya dengan
sukarela. Mereka demikian "karena kemauan sendiri" (Mat 19:12); tiada
yang melarang hal itu kepada mereka. Seorang Katolik yang tidak ingin mengambil
kaul tersebut tidak perlu melakukannya, dan dia bebas untuk menikah dengan
restu dari Gereja. Gereja secara sederhana memilih kandidat-kandidat untuk
imamat (atau, pada ritus Timur, untuk episkopat) dari mereka yang secara
sukarela untuk tidak menikah.
Tetapi apakah ada
preseden alkitabiah akan praktisi yang membatasi keanggotaan ke dalam group
hanya kepada mereka yang secara sukarela berkaul selibat? Ya. Rasul Paulus,
menulis sekali lagi kepada Timotius, menyebut para janda yang bersumpah tidak
menikah lagi (1 Tim 5:9-16); dengan tertentu menasihati: "Tolaklah
pendaftaran janda-janda yang lebih muda. Karena apabila mereka sekali
digairahkan oleh kebirahian yang menceraikan mereka dari Kristus, mereka itu
ingin kawin dan dengan memungkiri kesetiaan mereka yang semula kepada-Nya,
mereka mendatangkan hukuman atas dirinya." (5:11-12).
"Kesetiaan mereka
yang semula" yang dipungkiri oleh pernikahan lagi tidak mungkin mengacu
kepada pernikahan mereka yang pertama, karena Paulus tidak mengutuk para janda
untuk menikah lagi. (cf. Rom 7:2-3). Itu hanya bisa mengacu kepada sumpah untuk
tidak menikah yang diambil para janda yang masuk ke dalam grup ini. Hasilnya,
mereka adalah bentuk awal dari group perempuan religi -- Biarawati Perjanjian
Baru. Gereja Perjanjian Baru memiliki tatanan dengan keharusan selibat, sama halnya
Gereja Katolik saat ini. Pelarang Pernikahan yang dimaksud Rasul Paulus pada
saat itu adlaah sekte Gnostik. Gnostik mencela pernikahan, seks, dan menganggap
tubuh itu pada hakekatnya jahat. Beberapa bidaah awal masuk ke dalam penjabaran
ini, pula kaum Albigensian dan Kataris pada abad pertengahan (yang, ironisnya,
dikagumi beberapa penulis anti-Katolik yang tidak kritis, nampaknya hanya
karena kebetulan mereka bersikeras untuk menggunakan versi terjemahan bahasa
mereka masing-masing akan Alkitab; lihat pada traktat Catholic Answer berjudul
Catholic Inventions).
Martabat
Dari Selibat dan Pernikahan
Kebanyakan umat Katolik
menikah, dan semua umat Katolik diajarkan untuk menghormati pernikahan sebagai
institusi kudus -- sebuah sakramen, tindakan Allah akan jiwa kita; salah satu
dari hal-hal terkudus yang kita alami dalam hidup ini.
Faktanya, justru karena
kesucian pernikahanlah membuat selibat itu berharga; hanya karena apa yang baik
dan kudus dalam sendirinya itu bisa diserahkan kepada Allah sebagai
persembahan. Sama layaknya puasa mengandaikan kebaikan dari makanan, selibat
juga mengandaikan kebaikan dari pernikahan. Dengan memandang rendah selibat,
maka dari itu, sama dengan memandang rendah pernikahan itu sendiri -- seperti
yang ditunjukkan oleh Bapa-bapa Gereja.
Selibat juga sebuah
institusi penegasan kehidupan. Dalam Perjanjian Lama, dimana selibat hampir
tidak diketahui, yang tidak beranak seringkali dicela oleh orang-orang lain dan
oleh diri mereka sendiri; hanya melalui anak-anak, dirasakan, seseorang
mempunyai nilai. Dengan menolak pernikahan, sang selibat menegaskan nilai
hakiki dari setiap hidup manusia dalam kesendiriannya, terlepas dari keturunan.
Pada akhirnya, selibat
adalah pertanda eskatologi akan Gereja, sebuah tanda kehidupan saat ini akan
selibat universal dari sorga: "Karena pada waktu kebangkitan orang tidak
kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga."
(Mat 22:30)
NIHIL OBSTAT: I have
concluded that the materials
presented in this work
are free of doctrinal or moral errors.
Bernadeane Carr, STL, Censor
Librorum, August 10, 2004
IMPRIMATUR: In accord
with 1983 CIC 827
permission to publish
this work is hereby granted.
+Robert H. Brom, Bishop
of San Diego, August 10, 2004
CATATAN KAKI:
Sumber asal:
http://www.catholic.com/tracts/celibacy-and-the-priesthood
Diterjemahkan oleh
Maximinus
EmoticonEmoticon