Perayaan Hari Minggu Berasal Dari Perayaan Pagan, Benarkah? |
Banyak kelompok sekte atau
aliran tertentu yang meragukan kebenaran perayaan Hari Minggu. Mereka
beranggapan bahwa perayaan tersebut berasal dari penyembahan dewa Matahari atau
ritual pagan. Tentu saja hal ini perlu kita jawab secara sederhana dan berdasarkan
Alkitab, sehingga kelompok yang sering menuduh tanpa dasar dapat memahami
dengan benar. Pada kesempatan ini tim jalapress.com akan memberikan penjelasan
sederhana, singkat dan jelas.
Pertama, perlu kita ketahui
bahwa nama-nama hari diambil dari nama dewa dan dewi, Senin (Diana), Selasa
(Mars), Rabu (Merkurius), Kamis (Jupiter), Jum’at (Venus), Sabtu (Saturnus) dan
Minggu (Apollo). Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang yang menuduh
perayaan Hari Minggu sebagai penyembahan salah satu dewa tidak benar. Jika
benar tuduhan mereka, maka pernyataan yang sama dapat ditujukan kepada mereka,
bahwa mereka menyembah salah satu dewa, ketika beribadah pada hari apa saja.
Kedua, Kebangkitan Yesus dari kematian terjadi pada hari pertama setelah
hari Sabat (bdk. Mrk. 16:2, 9; Luk. 24:1, Yoh. 20:1). Selain itu, Yesus
menampakkan diri kepada dua orang murid yang menuju Emaus dan kepada kesebelas
rasul pada hari Minggu (bdk. Luk. 24:13-36, Yoh. 20:19). Seperti kita ketahui,
seminggu kemudian Yesus menampakkan diri kepada Thomas. Yesus menunjukkan
kepada Thomas luka-luka yang dialami ketika penyaliban (bdk. Yoh. 20:26). Perlu
kita ketahui pula bahwa Hari Pentakosta terjadi pada hari minggu (bdk. Luk.
24:49, Kis. 1;4-5).
Ketiga, Bila kita menelusuri kebiasaan Para Rasul,
kita akan menemukan bahwa mereka selalu
melaksanakan Misa tiap hari termasuk hari Minggu. Pada pertemuan itu mereka
selalu memecah-mecahkan roti sebagaimana pesan Yesus kepada mereka (bdk. 1 Kor.
11:23-29). Selain itu mereka juga selalu mengadakan Misa dikeluarga-keluarga
jemaat ((bdk. Kis. 2:46). Dengan demikian kita menemukan bahwa Para Rasul tidak
pernah memerintahkan bahwa perayaan harus dilakukan seperti perayaan Yahudi
yakni pada Hari Sabat. Mereka justru melakukan Misa atau peribadatan pada semua
hari termasuk hari Minggu. Kiranya kita semakin mengetahuii bahwa sejak dari
zaman Para Rasul perayaan hari Minggu
sebagai Hari Tuhan telah dilakukan (bdk. 1 Kor. 16:2, Kis. 20:7-12). Selain
itu, Kitab Wahyu menyebut hari pertama Minggu sebagai Hari Tuhan (bdk. Wahyu
1:10). Hal ini merupakan ciri khas yang membedakan umat Kristiani dengan
penganut agama lain. Rasul Paulus dan Penginjil Lukas dalam berbagai surat
menyebut istilah Hari Tuhan (bdk. Flp. 2:11, Kis. 2:36, 1 Kor. 12:3).
Berdasarkan teks-teks Kitab Suci di atas kita dapat mengerti bahwa perayaan
yang dilakukan oleh Para Rasul pada hari Kebangkitan menjadi norma. Hal itu
karena Yesus sendiri yang menjadi pusat dan penggenapan Perjanjian Lama.
Keempat, Berdasarkan perkembangannya, kita juga dapat melihat bahwa Rasul Paulus seringkali hadir di sinagoga untuk mewartakan Yesus pada hari Sabat (bdk. Kis. 13:27). Namun demikian jemaat perdana melaksanakan perayaan pada hari Sabat dan hari Minggu. Hal ini bukan sesuatu yang aneh sebab dalam Para Rasul sendiri beribadah setiap hari (bdk Kis. 2:46). .
Keempat, Hari Kebangkitan Yesus dan
Penciptaan. Kebangkitan Kristus terjadi pada di hari pertama minggu itu”
berkaitan dengan kisah penciptaan pada hari pertama, dimana semua diciptakan
secara baru berdasarkan Citra Allah (bdk. Kej. 1:1-24). Secara sederhana kita
dapat mengerti bahwa kebangkitan Yesus pada hari pertama adalah pemulihan
kehidupan atau hari kemenangan atas maut. Yesus menjadikan segalanya menjadi
baru sehingga ia disebut sebagai yang sulung dari segala ciptaan, yang sulung
yang pertama bangkit dari antara orang mati (bdk. Kol. 1:15-18). Dengan
demikian semakin jelas bahwa perayaan hari Minggu berada di atas semua hari
lain karena makna “kemenangan atas maut atau penciptaan kembali umat manusia”
oleh kebangkitan Kristus (bdk. Kol. 2:12, Rom. 6:4-6).
Perayaan Hari Minggu sebagai Hari Tuhan juga
diteguhkan oleh kesaksian dari Bapa-Bapa Gereja, yang merupakan salah seorang
murid dari Para Rasul.[1] Berikut kesaksian mereka
antara lain;
1. St. Ignatius dari Antiokhia (35-107 Masehi)
dalam suratnya kepada Jemaat di Magnesia mengatakan: “Jika mereka yang hidup di
keadaan terdahulu harus datang menuju pengharapan yang baru, dengan tidak lagi
menerapkan hari Sabat tetapi melestarikan Hari Tuhan, pada hari hidup kita
telah muncul melalui Dia dan kematiannya…., misteri itu, yang darinya kita
menerima iman kita, dan di dalamnya kita berteguh agar dapat dinilai sebagai
para murid Kristus, pemilik kita satu-satunya. Bagaimana mungkin kita dapat
hidup tanpa-Nya, sedangkan faktanya para nabi juga sebagai para muridNya di
dalam Roh Tuhan, menantikan Dia sebagai Pemilik?” (bdk. St. Ignatius, to the
Magnesians 9, 1-2: SC 10, 88-89).
2. St. Yustinus Martir (150-160) dalam First
Apology, mengatakan: “…pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota
maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat, dan ajaran-ajaran para rasul
atau tulisan-tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengijinkan,
lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata-kata
pengajaran dan mendorong agar dilakukan hal-hal baik tersebut. Lalu kami semua
berdiri dan berdoa, dan seperti dikatakan sebelumnya, ketika doa selesai, roti
dan anggur dan air dibawa, dan pemimpin selanjutnya mempersembahkan doa- doa
dan ucapan syukur… dan umat menyetujuinya, dengan mengatakan Amin, dan lalu
diadakan pembagian kepada masing- masing umat, dan partisipasi atas apa yang
tadi telah diberkati, dan kepada mereka yang tidak hadir, bagiannya akan
diberikan oleh diakon. Dan mereka yang mampu dan berkehendak, memberikan
(persembahan) yang dianggap layak menurut kemampuan mereka, dan apa yang
dikumpulkan oleh pemimpin, ditujukan untuk menolong para yatim piatu dan para
janda dan mereka yang, karena sakit maupun sebab lainnya, hidup berkekurangan,
dan mereka yang ada dalam penjara dan orang asing di antara kami, pendeknya, ia
(pemimpin) mengatur [pertolongan bagi] semua yang berkekurangan. Tetapi hari
Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu
adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, …. telah menciptakan dunia;
dan Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari yang sama telah bangkit dari mati.
Sebab Ia telah disalibkan pada hari sebelum hari Saturnus (Sabtu); dan pada
hari setelah hari Saturnus itu, yaitu hari Minggu, setelah menampakkan diri
kepada para rasul dan murid-Nya, Ia mengajarkan kepada mereka hal- hal ini…..”
(St. Justin, First Apology, ch. 67).
3. Pernyataan para martir di zaman Diocletian
(sekitar tahun 303)
Di zaman penganiayaan Diocletian di sekitar tahun 303, perkumpulan jemaat dilarang dengan keras, namun banyak di antara mereka dengan berani menentang dekrit kerajaan Roma, dan menerima kematian daripada kehilangan kesempatan mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu, sebagaimana disebutkan oleh St. Yustinus sebagai “Ibadah Minggu/ the Sunday Assembly“. Inilah yang terjadi pada para martir di Abitinam di Prokonsular Afrika, yang menjawab demikian kepada para penganiaya mereka: “Tanpa takut apapun kami merayakan Perjamuan Tuhan, sebab hal itu tak dapat dilewati, itu adalah hukum kami; Kami tak dapat hidup tanpa Perjamuan Tuhan.” Salah satu dari para martir itu mengatakan, “Ya, saya pergi ke Ibadah, dan merayakan Perjamuan Tuhan, dengan saudara-saudariku, sebab aku seorang Kristen.” (Acta SS. Saturnini, Dativi et aliorum plurimorum Martyrum in Africa, 7, 9, 10: PL 8, 707, 709-710.)
Di zaman penganiayaan Diocletian di sekitar tahun 303, perkumpulan jemaat dilarang dengan keras, namun banyak di antara mereka dengan berani menentang dekrit kerajaan Roma, dan menerima kematian daripada kehilangan kesempatan mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu, sebagaimana disebutkan oleh St. Yustinus sebagai “Ibadah Minggu/ the Sunday Assembly“. Inilah yang terjadi pada para martir di Abitinam di Prokonsular Afrika, yang menjawab demikian kepada para penganiaya mereka: “Tanpa takut apapun kami merayakan Perjamuan Tuhan, sebab hal itu tak dapat dilewati, itu adalah hukum kami; Kami tak dapat hidup tanpa Perjamuan Tuhan.” Salah satu dari para martir itu mengatakan, “Ya, saya pergi ke Ibadah, dan merayakan Perjamuan Tuhan, dengan saudara-saudariku, sebab aku seorang Kristen.” (Acta SS. Saturnini, Dativi et aliorum plurimorum Martyrum in Africa, 7, 9, 10: PL 8, 707, 709-710.)
4. St. Basil (329-379). St. Basilius menjelaskan
bahwa hari Minggu melambangkan hari yang sungguh-sungguh satu-satunya yang akan
sesuai dengan saat ini, suatu hari tanpa akhir yang tidak mengenal senja maupun
pagi, suatu masa yang tak akan punah, yang tak akan menjadi tua; Minggu adalah
nubuat kehidupan tanpa akhir yang memperbarui pengharapan umat Kristen dan
menguatkan mereka di sepanjang jalan mereka. (Cf. St. Basil, On the Holy
Spirit, 27, 66: SC 17, 484-485. Cf. also Letter of Barnabas 15, 8-9: SC 172,
186-189; St. Justin, Dialogue with Trypho 24; 138: PG 6, 528, 793; Origen,
Commentary on the Psalms, Psalm 118(119), 1: PG 12, 1588.)
5. St. Hieronimus (347-420)
“Sunday
is the day of the Resurrection, it is the day of Christians, it is our day,
Hari Minggu adalah hari Kebangkitan [Kristus], hari itu adalah hari umat
Kristen, itu adalah hari kita.” (St. Jerome, In Die Dominica Paschae II, 52:
CCL 78, 550.)
6. St. Agustinus (354-430)
St.
Agustinus, juga mengajarkan tentang hari Minggu sebagai Hari Tuhan, sebagai
berikut: “Oleh karena itu, Tuhan juga telah menempatkan meterai-Nya pada
hari-Nya, yang adalah hari ke-tiga setelah Sengsara-Nya. Namun demikian, dalam
siklus mingguan, hari itu [Minggu] adalah hari ke-delapan setelah hari
ke-tujuh, yaitu hari setelah hari Sabat, dan hari yang pertama dalam minggu.”
(St. Augustine, Sermon 8 in the Octave of Easter 4: PL 46, 841.) Dalam
pengajarannya tentang akhir zaman, yang menggenapi simbolisme akhir dari hari
Sabat, St. Agustinus menyimpulkan hari akhir itu sebagai, “kedamaian dari
ketenangan, kedamaian Sabat, sebuah kedamaian tanpa senja.” (St. Augustine,
Confession, 13, 50: CCL 27, 272.) Dengan merayakan hari Minggu, baik sebagai
hari pertama dan hari kedelapan, umat Kristiani diarahkan kepada tujuan akhir
kehidupan kekal. (lih. St. Augustine, Epistle. 55, 17: CSEL 34, 188)
Kiranya semakin jelas bagi umat Kristiani
bahwa Perayaan Hari Minggu sesuai dengan ajaran Para Rasul dan para Bapa
Gereja. Ajaran tersebut mempunyai dasar dan landasan Alkitabiah yang tak
terbantahkan oleh siapapun. Perayaan Hari Minggu adalah perayaan Kristiani yang
telah memperoleh “kemenangan atas maut dan menjadi ciptaan baru seperti sejak
semula ketika Allah menciptakan.”
Penulis: Silvester
Detianus Gea
[1]
Pendapat Para Bapa Gereja dikutip dari www.katolisitas.org.
EmoticonEmoticon