Seorang teman Muslim mengatakan bahwa sebenarnya ada banyak Injil lain, selain empat Injil yang diakui secara resmi oleh Gereja. Dikatakan bahwa Injil-Injil itu sengaja disingkirkan karena Injil-injil itu memuat tentang kedatangan Nabi Muhammad. Benarkah demikian? Jika tidak benar, apa alasan injil-injil yang lain itu ditolak? Dan mengapa keempat Injil itu diterima?
Monika Joanita, Jakarta.
Pertama, daftar (Kanon) Perjanjian Baru seperti yang kita miliki sekarang ini, untuk pertama kali dinyatakan secara resmi pada Sinode Hippo, Afrika Utara pada tahun 393 Masehi. Namun, dokumen-dokumen hasil sinode tersebut sudah tidak bisa ditemukan lagi. Yang bisa ditemukan ialah rangkuman tentang keputusan Sinode Hippo dalam dokumen hasil Sinode Kartago yang diadakan pada tahun 397 Masehi. Kanon Perjanjian Baru ini mengakui 27 buku, termasuk keempat Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Sebanyak 27 buku Perjanjian Baru itu disebut Kanonik.
Kedua, pada akhir abad IV Masehi ini, memang bisa ditemukan banyak Injil lain, selain keempat Injil yang diakui secara resmi oleh Gereja. Jumlahnya sangat banyak, sampai ada penulis yang memperkirakan adanya sekitar 70 buah Injil. Meskipun sudah dilarang dan dinyatakan tidak sah, ada sekitar 30 buah injil yang bertahan dan masih bisa ditemukan secara utuh atau sebagian saja. Kebanyakan injil-injil itu dialamatkan pada pribadi-pribadi yang terkenal, misalnya Inji Tomas, Injil Yakobus, Injil Yudas, Injil Petrus, Injil Maria, dll. Injil-injil ini disebut Apokrif, artinya di luar kanon (non-kanonik, atau ekstra-kanonik). Kata Apokrif itu sendiri sebenarnya ‘tersembunyi’, ‘disembunyikan’, atau ‘rahasia’. Disebut “rahasia’ karena memang dimaksudkan untuk dibaca oleh kalangan terbatas karena bisa membingungkan bila dibaca oleh kalangan luas yang belum mempunyai perangkat pemahaman yang memadai. Jadi kata apokrif tidak boleh diartikan sebagai sengaja disembunyikan oleh Gereja. Tulisan-tulian ini ditolak oleh Gereja karena dipandang tidak sesuai dengan keyakinan iman Gereja dan tidak diilhami oleh Roh Allah. Kebanyakan tulisan itu berasal dari abad II atau III Masehi dan sangat dipengaruhi oleh aliran Gnostisisme.
Ketiga, karena penetapan Kanon Perjanjian Baru itu terjadi pada Sinode Hippo pada tahun 393 Masehi, maka sangat aneh bila dikatakan bahwa Gereja sengaja menyingkirkan tulisan-tulisan apokrif itu karena memuat tentang kedatangan Muhammad (lahir tahun 571 Masehi). Agama Islam baru muncul pada abad ke VII, bagaimana mungkin pada tahun 393 sudah diprediksi dan diantisipasi? Sulit menemukan alasan-alasan yang sungguh bisa diterima.
Keempat, empat Injil Kanonik (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) adalah tulisan dengan bentuk sastra yang khas yang kurang lebih menceritakan secara utuh kisah Yesus Kristus sejak awal hidup-Nya sampai sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Banyak injil non-kanonik menyajikan hanya sebagian dari kisah Yesus. Misalnya, Injil Yudas, hanya berkisah tentang hari-hari terakhir Yesus. Keempat Injil kanonik juga berasal dari abad pertama, yang dipandang lebih memiliki wibawa atau otoritas daripada tulisan-tulisan yang disusun selama abad kedua. Tulisan-tulisan dari abad pertama menunjukkan kriteria yang menentukan, yaitu bahwa tulisan itu disusun dengan maksud menumbuhkan iman pembaca. Ini sesuai dengan Yoh. 20:31, “semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Tulisan yang mengembangkan iman ini terus digunakan, disalin dan disebarluaskan. Biasanya tulisan-tulisan ini mendapatkan dukungan dari pemimpin Gereja. Sebaliknya, tulisan-tulisan yang non-Kanonik biasanya dinyatakan dilarang. Penggunaan tulisan-tulisan itu oleh komunitas-komunitas dan restu dari pemimpin Gereja juga ikut mempengaruhi penentuan kanon.
Konsultasi Iman “Majalah Hidup-Mingguan Katolik, 37 tahun ke- 71, 10 September 2017” hlm. 18, oleh Petrus Maria Handoko CM, Imam Kongregasi Misi, Doktor Teologi Dogmatik Universitas Gregoriana Roma.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon