Mengenal Didache




Didache atau Didakhe (Yunani Koine Διδαχὴ, Didachē), atau Ajaran-Ajaran Rasul adalah nama yang umum diberikan kepada sebuah risalah Kristen awal (yang diduga berasal dari suatu masa pada tiga abad pertama sejarah Gereja), yang memuat pengajaran untuk komunitas-komunitas Kristen. Teksnya sendiri kemungkinan merupakan katekismus tertulis pertama, dengan tiga bagian utama yang membahas pengajaran Kristen, ritual-ritual seperti baptisan dan ekaristi, serta organisasi gereja. Didache dianggap oleh sebagian Bapak Gereja sebagai bagian dari Perjanjian
Baru oleh sebagian lainnya ditolak karena isinya diragukan, sehingga akhirnya tidak diterima ke dalam kanon, kecuali Gereja Ortodoks Ethiopia yang menerimanya dalam “kanon yang lebih luas”. Gereja Katolik Roma menerimanya sebagai bagian dari tulisan para Bapak Rasuli. Penemuan naskah ini pada akhir abad ke-19 menimbulkan gema yang hebat di kalangan ilmiah gereja, sebab sarjana-sarjana patristik telah mengetahui keberadaan apa yang disebut “Ajaran Rasul-rasul”, namun mereka tidak pernah menemukan satu pun petunjuk tentangnya sampai penemuan tersebut.
Dari penjelasan tentang didache diatas lalu muncul pertanyaan. Mengapa buku atau kitab-kitab lain yang ditemukan lebih tua dari didache tidak dimasukan ke dalam Kanon Kitab Suci ? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah karena memang didache hanya mencatat kebiasaan-kebiasaan dalam komunitas Kristen dan tidak banyak bicara tentang Guru dari Nazaraeth. Selain itu didache juga ingin mengajak para umat Kristen bahwa ajaran didache benar-benar ajaran dari para rasul.

B. Ajaran Didache
Judul “Didache” dalam naskah yang ditemukan tahun 1873
Injil Didache berisi 16 pasal yang umumnya dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu:
Berikut adalah beberapa uraian singkat ajaran-ajaran didache yang terdiri 4 bagian dan berisi 16 pasal :
a. Ajaran didache bagian pertama terdiri dari : 6 pasal
• Pasal 1-4 mengajarkan kepada umat Kristen jalan keselamatan, untuk dapat menuju jalan keselamatan tersebut manusia harus melakukan perbuatan-perbuatan baik yang dikehendaki oleh Tuhan. Contohnya : mengasihi Tuhan, mengasihi sesama seperti diri sendiri dan kasihilah juga musuh-musuhmu. Contoh-contoh perbuatan baik tersebut sama dengan perbuatan yang diajarkan oleh Tuhan di dalam 10 perintah Allah. Perintah 1-2 berhubungan dengan perbuatan baik kepada Allah. Perintah 3-4 berhubungan dengan perbuatan baik kepada sesama.
• Pasal 5-6 mengajarkan kepada umat Kristen jalan kematian, jika manusia melakukan perbuatan-perbuatan penyangkalan iman niscaya ia akan masuk ke dalam jalan kematian tersebut. Contoh perbuatan penyangkalan iman tersebut adalah pembunuhan,perzinahan, pencurian, penyembahan berhala, sihir. Perbuatan-perbuatan tersebut berkaitan juga dalam 10 perintah Allah yang terdapat dalam perintah 5-10 tentang pebuatan penyangkalan iman yang tidak boleh dilakukan manusia.

b. Ajaran didache bagian kedua terdiri dari : 3 pasal, pasal 7-10 bagian liturgi, atau ritual, berisi ajaran-ajaran yaitu :
• Pasal 7 berkenaan tentang hal pembaptisan, di dalam didache dikemukakan jika seseorang ingin di baptis tata cara pembaptisannya dengan cara mengucurkan/menuangkan air pada dahi calon baptis lalu imam atau minister sambil mengucapkan doa atau forma : “Aku membaptis Engkau dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin. Lalu untuk calon baptis dan juga imam atau minister yang akan melakukan pembaptisan hendaknya berpuasa selama satu atau dua hari sebelum menerima pembaptisan. Akan tetapi kondisi semacam ini berbanding terbalik pada saat didache ditemukan. Saat ini calon baptisan agama Kristen cenderung ingin menyempurnakan tata cara pembaptisan dengan mencelupkan kepala calon baptis selama tiga kali ke dalam air. Apakah tindakan ini boleh dilakukan ?namun dalam dokumen didache sudah jelas diatur.
• Pasal 8 berkenaan dengan puasa dan berdoa.
tentang hal berpuasa didache mengajarkan untuk berpuasa pada hari ke empat dan hari persiapan, janganlah berpuasa seperti orang-orang munafik yang ingin menunjukan bahwa ia sedang berpuasa pada sesamanya. Jika berpuasa hendaknya jangan diketahui oleh sesame dan hanya diketahui oleh Tuhan saja. Tetapi orang-orang sekarang ini justru berpusa dengan menceritakan kepada sesama bahwa ia sedang berpuasa agar dirinya dipandang suci oleh sesama-Nya tersebut.
tentang hal berdoa didache mengajarkan kepada umat Kristen hendaknya jika berdoa jangan seperti orang munafik yang setiap kali berdoa ingin dilihat oleh sesamanya dengan membuka pintu dan jendela rumah. Tetapi berdoalah dengan menutup rapat pintu dan jendela lalu doakanlah doa yang telah diajarkan Yesus pada umat-Nya yaitu doa Bapa Kami sehari tiga kali.
• Pasal 9 dan 10 berkenaan dengan perjamuan ekaristi dan memotong-motong roti.
tentang Perjamuan Ekaristi dalam didache juga memuat kata-kata institusi (dahulu) tetapi sekarang juga berubah menjadi rumusan institusi yang tertuang dalam Perjamuan Ekaristi pada saat imam mendoakan rumusan doa syukur agung yang berbunyi sebagai berikut : “Terimalah dan makanlah! Inilah tubuh-Ku yang dikurbankan bagimu.”
tentang hal memecah-mecahkan roti mereka bertekun pada ajaran Para Rasul dan selalu berkumpul bersama untuk memecah-mecahkan roti secara bersama-sama. Pada zaman Pada Rasul yang memimpin Perayaan Ekaristi adalah seorang kepala keluarga bukanlah seorang Imam, Mengapa pada zman Para Rasul Perayaan Ekaristi dipimpin oleh seorang kepala keluarga? Karena para kepala Keluarga selalu berkumpul bersama Para Rasul untuk berdoa dan memecahkan roti lalu pemimpin keluarga tersebut pergi berkeliling rumah bersama Para Rasul untuk memimpin Perayaan Ekaristi
• Pasal 10-11 tentang Hierarki Gereja
Pada saat ditemukannya dokumen didache sudah terdapat juga hierarki-hierarki gereja, tetapi pada zaman Para Rasul hierarkinya dalam bentuk pengajaran yang pengajarannya dilakukan oleh Para Rasul dan Nabi-Nabi. Umat yang kedatangan Para Rasul dirumahnya tersebut harus mau menerima kedatangan Para Rasul tersebut sebagai Tuhan. Karena dia mengajarkan kebenaran. Sama halnya dengan tugas dan hierarki pada saat ini yang mempunyai tugas diantaranya :
1. Mengajar (munus diocendi) contohnya : berkatekese, dikeluarkannya ensiklik, surat gembala.
2. Menyucikan (munus sangtivicandi) contohnya : merayakan sakramen.
3. Memimpin (munus governocandi) contohnya : menetapkan Kitab Hukum Kanonik, melayani, dan melindungi umat dari serangan yang dapat menggoyahkan iman.

c. Ajaran didache pada bagian ketiga terdiri dari: 4 pasal, pasal 11-15 mengenai pelayanan dan para rasul yang berkeliling.

• Mengenai Pelayanan
Para Rasul terbiasa berkumpul bersama-sama untuk melakukan kegiatan pelayanan dengan berkeliling. Maka dari itu dokumen didache mengajarkan untuk mengangkat orang-orang yang pantas bagi Tuhan layaknya seorang Uskup atau Diakon yang berhati lembut, bukan para pecinta harta, jujur dan telah diuji. Dengan menangkat seorang Uskup maka Uskup tersebut melakukan tugas pelayanannya dengan memuliakan Tuhan pada masa kini.
d. Ajaran didache pada bagian ke empat Pasal 16 membahas tentang menunggu kedatangan Tuhan.
• Menunggu kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya tentunya berkaitan juga dengan eklesiologi (akhir jaman). Tuhan datang untuk kedua kalinya sebagai hakim terakhir yang mengadili orang yang hidup dan mati. Saat Tuhan datang untuk kedua kali iman yang dimiliki didunia tidak akan ada artinya, tidak ada seorang pun yang menjadi orang-orang sempurna. Pada hari-hari terakhir banyak muncul Nabi-nabi palsu, rasa kasih berubah menjadi rasa kebencian, domba-domba akan menjadi serigala, banyak orang ragu-ragu dan binasa tetapi orang-orang yang sabar dalam keimanan akan terbebas dari utusan ini. Saat itulah tanda-tanda kebenaran muncul. 1. Pertama : tanda terbukanya langit
2. Kedua : tanda suara sangkakala
3. Ketiga : bangkitnya orang mati
Akan tetapi tidak semua orang, sebagaimana dikatakan Tuhan datang diiringi orang-orang suci. Pada saat itu, manusia melihat Tuhan yang datang di atas awan-­awan di langit.
C. Waktu dan Tempat Penulisan
Melalui kajian yang mendalam terhadap teks-teks Didache untuk mengetahui waktu penulisannya, peneliti-peneliti modern memastikan bahwa Didache ditulis pada abad pertama Masehi. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bagian otentisitas teks Didache, waktu penulisannya tidak mungkin melewati seperempat pertama abad kedua Masehi, dan apabila telah terbukti bahwa Didache lebih tua daripada Surat Barnabas, maka ia tidak mungkin ditulis setelah tahun 120 M.
Struktur bahasanya yang sederhana menunjukkan waktu penulisannya, yaitu periode yang langsung mengikuti masa Rasul-rasul, atau yang sekarang disebut sebagai periode apostolis. Sesungguhnya, kesederhanaan struktur bahasa juga merupakan fakta yang sangat penting dalam mengkaji legalitas kitab-kitab Perjanjian Baru.
Tetapi, tidak dapat dipastikan bahwa Didache berasal dari Antiokhia, atau ditulis di kota Antiokhia. Sebab, adat istiadat yang berasal dari Paulus dan Lukas – yang populer di Antiokhia – adalah adat istiadat yang berbeda dengan Didache. Hal ini menegaskan bahwa ia tidak berasal dari Antiokhia. Selain itu, St. lgnatius dari Antiokhia tidak mengenal Didache, karena ia tidak mengutip Didache sedikit pun di dalam surat­-suratnya, yaitu surat-surat yang memperlihatkan aturan-aturan yang sangat berbeda dengan Didache.

D. Identitas Penulis
Semua usaha untuk menemukan identitas penulis Didache tidak berhasil, terutama karena kurangnya data tentang hal ini yang kita miliki sekarang. Asumsi yang paling mendekati kenyataan adalah ia ditulis oleh seorang Kristen Yahudi (Jewish Christian), atau paling tidak oleh orang Kristen yang berasal dari penganut agama Yahudi, karena ia menyebutkan makanan yang diharamkan Perjanjian Lama, yang tidak berubah sampai sekarang kecuali tentang keharaman makanan persembahan bagi berhala; Dan, karena ia mencela kemunafikan orang-orang Farisi, seolah-olah ia bergaul dan mengenal mereka.

E. Penerima Didache
Dengan demikian, jelas bahwa Didache dikirimkan kepada jemaat Kristen yang berasal dari bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Ringkasnya, Didache adalah teks yang menghimpun adat istiadat yang saling bertentangan yang diberikan formula baru pada masa tertentu oleh penulis yang tidak kita ketahui yang sulit kita tentukan, tetapi memiliki kekuasaan yang kuat terhadap sekelompok jemaat Kristen yang mungkin berasal dari kalangan bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Karena itu, judul panjang Didache, yaitu “Ajaran Tuhan kepada Bangsa­bangsa.”, dengan tegas menjelaskan asumsi tersebut. Selain itu sikap kita terhadap didache yang telah diajarkan oleh Para Rasul adalah dengan mempercayai ajaran-ajaran dan tradisi-tradisinya dan tetap mewariskannya serta tidak mengubah-ubah ajaran Para Rasul tersebut.

Sumber Pustaka :
1. Aaron Milavec, The Didache : text, translation, analysis, commentary Milavec Collegevi Minnesota : Liturgical Press, 2004.
2. Rm. Fx. Adisusanto SJ, Menyusuri Sejarah Pewartaan Gereja, Jilid I, Yogyakarta, Lembaga Pengembangan Kateketik Pusat, 1997

Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi (sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memosting tulisan yang  sama di  https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/ajaran-didache/

Wahyu Allah Dipahami Dalam Terang Iman





Gereja pernah berpandangan bahwa Allah mendiktekan sabda-Nya kepada para penulis suci. Seolah-olah penulis itu mendengarkan Allah berbicara lalu menulisnya huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat. Dengan demikian, Kitab Suci tidak dapat salah dilihat dari sudut dan segi mana pun. Pandangan semacam ini tidak dapat diterima karena Kitab Suci tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan kebenaran ilmiah, tetapi untuk mengungkapkan kebenaran iman.  Allah menyatakan diri dan kehendak-Nya melalui orang-orang tertentu, alam dan peristiwa sejarah. Orang-orang yang terpilih itu kemudian mengungkapkan kebenaran-kebenaran mengenai Allah dan kehendak-Nya itu dengan sarana-sarana yang sangat manusiawi. Mereka mengambil berbagai unsure pengetahuan, cerita rakyat, bahkan legenda, yang berkembang pada zamannya. Selain itu, bakat dan kemampuan para penulis itu juga sangat mempengaruhi bagaimana mereka mengungkapkan kebenaran-kebenaran iman. Kebenaran-kebenaran iman yang menyangkut kebenaran mengenai Allah dan kehendak-Nya itulah yang sesungguhnya hendak disampaikan oleh para penulis. Sedangkan, unsur-unsur pengetahuan dan budaya itu hanyalah sarana penyampaian. Karena itu, orang tidak perlu terjebak dalam persoalan ini. Kitab Suci tidak dimaksudkan sebagai buku ilmu pengetahuan mengenai alam, masyarakat, matematik, sejarah dll, tetapi sebagai buku iman.  Ketidaksesuaian Kitab Suci dengan ilmu pengetahuan berkaitan dengan persoalan alam dan sejarah tidak perlu membuat bingung karena ilmu yang dipergunakan masih primitif

Manusia zaman itu yakin bahwa langit itu berbentuk kubah yang menahan air yang ada di atasnya (Kej. 1). Bukan persoalan ilmu alam seperti ini yang diwahyukan Allah, melainkan segala sesuatu diciptakan oleh Allah. Demikian juga, bila orang membaca Kitab Keluaran, bukan kebenaran-kebenaran sejarah yang hendak diwahyukan melainkan Allah menaruh perhatian kepada orang-orang tertindas, membebaskan mereka, dan memilih mereka menjadi umat-Nya. Keselamatan manusia tidak akan terpengaruh oleh kenyataan bahwa ada unsure pengetahuan dan sejarah dalam Kitab Suci yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. TERIKAT TEMPAT DAN WAKTU Tempat dan waktu menentukan budaya, serta cara berpikir dan mengungkapkan buah pikiran. Ketika membaca Kitab Suci, orang perlu menyadari hal ini dan berusaha memahaminya dengan memperhatikan pengaruh dari kedua aspek tersebut.  Tempat. Tempat menentukan segala aspek kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya, baik cara hidup, cara berinteraksi satu dengan yang lain, bahkan kehidupan religius mereka. Menusia yang hidup di pantai memiliki cara hidup yang berbeda dari cara hidup orang yang tinggal di padang gurun, dataran rendah, pegunungan, atau hutan. Seorang yang hidup di pantai mencari penghidupannya dengan mencari ikan di laut. Pengalamannya dengan laut terungkap dalam kosakata yang mereka gunakan, dalam cerita yang mereka sampaikan, dalam lagu yang mereka nyanyikan, dan tarian yang mereka miliki. Hal yang sama terjadi dalam masyarakat petani yang tinggal di dataran rendah, dalam masyarakat yang tinggal di hutan atau padang gurun. Kitab Suci lahir dari masyarakat Yahudi yang tinggal di Timur Tengah. Mereka pernah menjadi bangsa pengembara yang tinggal di padang gurun sebelum tinggal sebagai petani di Tanah Kanaan. Mereka pun pernah tinggal di tanah pembuangan Babilonia. Pengaruh tempat hidup Bangsa Israel ini sangat terasa kalau orang membaca Perjanjian Lama. Banyak kata, istilah, ungkapan, dan kebiasaan yang menunjukkan bahwa semua itu berasal dari masyarakat gembala dan petani. Banyak lagu kiasan, gambaran, dan lambang yang diambil dari hidup kegembalaan dan pertanian. Sistem penggembalaan dan pertanian yang mereka lakukan berbeda dari yang dilakukan di tempat lain. Mereka menanam jelai dan gandum, bukan padi. Mereka menanam anggur dan ara, bukan pepaya atau rambutan. Mereka memelihara ternak dalam jumlah besar sehingga binatang-binatang itu dijaga dan digembalakan di padang.  Waktu. Waktu juga mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam perjalanan waktu teknologi kehidupan dan kebudayaan manusia berkembang. Cara berpikir dan berbicara pun berubah. Misalnya, di zaman modern ilmu pengetahuan berkembang pesat. Banyak hal yang ada dalam dunia ini dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. 

Di masa lampau penjelasan ilmiah belum ada dan pengetahuan manusia sangat terbatas karena semata-mata bergantung pada indera. Banyak hal yang mereka persoalkan dijawab dengan mempergunakan mitologi atau legenda. Masyarakat Sunda kuno menjelaskan mengapa ada gunung yang berbentuk seperti perahu terbalik dengan cerita rakyat, sedangkan para ahli modern menjelaskannya dengan sejarah aktivitas vulkanik gunung itu. Ini terjadi karena masyarakat kuno belum mengenal vulkanologi atau geologi.  Kitab suci mulai ditulis sekita tahun 1000 Sebelum Masehi dan bagian-bagian tertentu Perjanjian Baru ditulis menjelang tahun 100 Masehi. Bahan-bahan yang tertulis dalamnya menyangkut juga zaman yang jauh lebih kuno. Cara berpikir dan cara berbicara masyarakat kuno pun banyak terungkap dalam Kitab Suci. Banyak kosakata yang tidak lagi dipergunakan karena pengalaman hidup mereka juga berkembang. Bahkan pemahaman mereka tentang kehidupan masyarakat manusia dan tentang Allah pun banyak mengalami perubahan.  Contoh:  1. Cara mendidik anak. Dahulu dipergunakan cara keras untuk membuat anak disiplin (Ams. 23:13-14;13:24;20:30). Cara itu tidak dapat dipergunakan untuk mendidik anak zaman sekarang.  2. Pemahaman tentang keadilan Allah. Dahulu manusia belum sampai pada keyakinan akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Allah memberi ganjaran dan hukuman kepada manusia di dunia ini. Menjelang akhir masa Perjanjian Lama pandangan tentang hal ini telah mengalami perubahan. Manusia sudah yakin akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal.


Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Ilmu Pendidikan Teologi (sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memosting tulisan yang sama di website:  https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/kebenaran-iman-vs-ilmiah/

Ajaran Sesat Montanisme



Pengantar

Montanisme adalah gerakan kharismatis dan apokaliptis pada pertengahan dan akhir abad ke-2. Montanisme merupakan suatu mistik di mana inspirasi pribadi (Montanus) memberontak melawan otoritas tradisional seperti misalnya kitab suci dan hierarki Gereja, khususnya para uskup sehingga dari segi dogmatis Montanisme relatif sulit dilumpuhkan. Pelopor gerakan ini berasal dari Phrygia Asia Kecil bernama Montanus, seorang imam. Ia mengklaim diilhami langsung oleh Roh Kudus. Montanus menganggap diri sebagai organ Paraclitus yang dijanjikan Yesus untuk membarui Gereja, sambil memaklumkan berakhirnya dunia dan perlunya mempersiapkan diri bagi akhir zaman dengan praktik moral yang murni.

Bergabung bersama dengan Montanus, dua perempuan, yakni Maximilla dan Priscilla, yang masing-masing telah meninggalkan suaminya. Mereka inilah buah-buah pertama pencurahan eskatologis Roh Kudus (Joel 2:28-32). Menurut mereka ini, Penghibur menuntut perilaku yang suci. Misalnya perkawinan kedua, bahkan perkawinan sendiri dianggap bernilai rendah; berpuasa secara ketat; menetapkan xerofagia (menyantap makanan kering, tanpa daging); tidak menyangkal iman dan kemartiran. Sebab, menurut mereka, darah martir adalah anak kunci Kerajaan Surga. Mereka menolak mengampuni dosa besar, misalnya pembunuhan, murtad, zinah. Menolak setiap bentuk otoritas kegerejaan dan menyerahkan diri tanpa syarat pada (nabi-nabi baru) yang melalui mereka ini Roh berbicara. Injil tidak dinilai lagi sebagai warta keselamatan bagi orang sakit, belas kasih bagi yang lemah, melainkan hanya disorot dari perspektif kematiran saja.

Tujuan Gerakan Montanisme

Membaca kata-kata nubuat pemimpin-pemimpin Montanisme, kita dapat mengetahui apa yang ingin mereka capai atau apa tujuan gerakan montanisme, yakni: “Kristus telah datang kepadaku dalam rupa seorang wanita yang mengenakan pakaian yang bercahaya; Ia telah menanamkan di dalam diriku dan menyatakan kepadaku bahwa tempat ini (Pepuza) kudus, dan bahwa di sinilah Yerusalem akan turun dari sorga.”
“Janganlah harapkan mati di atas tempat tidur atau oleh demam, melainkan mati dalam kematian, supaya dipermuliakan Dia yang telah menderita bagimu.” Kaum montanisme memiliki keyakinan bahwa akhir dunia sudah sampai, oleh sebab itu tinggalkan hal-hal yang duniawi dan datanglah ke Pepuza (sebuah desa di Asia Kecil) karena di sana Tuhan akan mendirikan Yerusalem yang baru maka kelompok montanisme berbondong-bondong datang ke desa tersebut, sesudah menjual segala harta bendanya. Mereka rajin mencatat pernyataan-pernyataan dari mulut pemimpin-pemimpin mereka dan mereka menganggap pernyataan tersebut sama nilainya dengan sabda dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Semangat mereka begitu besar sehingga mereka tidak takut akan tantangan atau hambatan.

Latar Belakang Terjadinya Gerakkan Montanisme

Gerakkan montanisme merealisasikan keyakinannya adalah dengan menghidupkan kembali pengharapan lama akan kedatangan Tuhan kembali, tentang adanya karunia-karunia Roh, dan menghidupkan kembali hukum disiplin Gerejawi yang keras. Hal ini mereka lakukan karena mereka mempunyai anggapan bahwa orang-orang Kristen sudah tidak begitu lagi merasakan kerinduan akan kedatangan Tuhan kembali seperti pada zaman Para Rasul atau penantian akan Tuhan sudah memudar. Di samping itu, mereka menganggap bahwa jabatan Gereja oleh sebagian orang terlalu membelenggu Roh yang bebas. Gerakan tersebut mereka lakukan, juga sebagai sikap protes montanisme terhadap keadaan Gereja yang disebutkan suam dan diduniawikan.

Unsur-unsur dalam gerakan ini (entusiasme serta fenomen kenabiaan) dapat disejajarkan dengan semangat jemaat Kristen purba di Jerusalem. Montanisme ada kalanya dipandang (misalnya oleh Adolf Von Harnack) sebagai ikhtiar untuk kembali ke semangat Gereja purba (di Jerusalem). Sebab Gereja dewasa ini sedang mengalami proses pelembagaan dan sekularisasi yang tidak sehat sama sekali. Mungkin saja gerakan ini dimengerti sebagai model gerakan-gerakan apokaliptis yang muncul di kemudian hari dalam sejarah agama Kristen. Di Roma pada mulanya aliran ini didukung Paus Viktor (+198) dan Zephirinus (+217), tetapi akhirnya diserang balik oleh Tertulianus melalui tulisan-tulisannya. Gerakan ini pernah dikecam secara resmi dalam sinode-sinode Asia sebelum tahun 200 Masehi, dan akhirnya juga oleh Paus Zephirinus. Montanisme, yang tercerai berai dalam pelbagai sekte dan diperangi dari abad IV oleh otoritas sipil (Konstantinus memerintahkan untuk menyita tulisan-tulisan yang berbau montanis. Kaisar Arcardius (398) mengeluarkan dekrit tentang pembakaran semua karya montanis) namun gerakan montanisme dapat bertahan relatif lama, yakni sampai abad ke-7.

Pengaruh Terhadap Gereja

Memperhatikan bahwa montanisme dari segi dogmatis relatif sulit dilumpuhkan, tentu ajarannya membuat pengikut Kristus (orang Kristen) bingung karena ajarannya menggoyahkan iman, terlebih melihat semangat Montanus yang sangat tinggi dan serius dalam mencari kebenaran. Apa yang benar dipertanyakan dan segala bentuk praksis diperbaharui kembali sehingga banyak orang yang sederhana dan tidak kuat imannya merasa terganggu, ragu-ragu, dan akhirnya menimbulkan ketidak tentraman dalam hidup bersama karena terjadi berbagai perbedaan dalam praksis ajaran iman Kristen. Namun gerakan montanisme ini dalam kehidupan mengereja terkadang dirasa perlu juga, agar iman umat Kristen tertantang untuk lebih memahami secara mendalam ajaran iman Gereja.

Tanggapan

Saya secara pribadi kagum melihat pemikiran dan sikap hidup Montanus dalam menyampaikan ajarannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang perlu dalam menantikan kedatangan Tuhan Yesus Kristus yang kedua kalinya. Saya dan kita semua dapat belajar banyak hal dari gerakan ini yakni kepekaan mereka dalam melihat sikap yang perlu dilakukan dan bagaimana perjuangan dalam menghidupkan ajaran yang mulai dilupakan dalam hal ini mengenai parousia, demikian juga melihat semangat mereka yang kuat dan berani dalam menghadapi hambatan sehingga dapat bertahan dari abad ke- 2 sampai abad ke-7, yang adalah jangka waktu yang cukup panjang, hidup dalam disiplin hidup yang keras.
Namun saya tidak setuju dengan apa yang diajarkan gerakan montanisme tentang bagaimana bersikap dalam menantikan Kristus, terlebih dengan sikap Montanus yang hanya menonjolkan diri sebagai Gereja dan Roh Kudus serta dengan meremehkan peristiwa-peristiwa hidup secara berlebihan. Sebenarnya apa yang terjadi di dunia ini dan segala dinamikanya adalah sesuatu yang baik untuk mewujudkan kasih Allah secara nyata dan untuk mencapai kekudusan dengan melakukan kebaikan-kebaikan bagi orang lain. Oleh sebab itu dalam menantikan kedatangan Yesus yang kedua kalinya alangkah baiknya umat tidak bersikap secara berlebih-lebihan melainkan melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti biasa dengan baik dan bertanggung jawab.

Bagi saya untuk memahami atau mengerti tentang akhir zaman serta untuk menjaga kemurniaan ajaran Kristen, kita semua yang adalah jemaat Kristen, terutama institusi Gereja sangat penting saling melindungi sesama umat dari pelbagai tantangan yang dilihat dapat membahayakan kesatuan dalam iman dan akhirnya dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan dalam praksis-praksis dalam gereja Katolik. Alangkah, baiknya bila kita sebagai pengikut Kristus kembali ke ajaran pokok Gereja yakni Iman Katolik dan Dokumen Konsili Vatikan II, agar iman kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai macam pengajaran yang baru tentang bagaimana beriman kepada Kristus, dan oleh berbagai peristiwa-peristiwa penampakkan yang hanya direkayasa oleh seseorang atau pun tentang isu-isu tentang hari kiamat yang selalu menjadi gosip setiap tahun.

Berbicara tentang akhir zaman berdasarkan Iman Katolik yakni bagi manusia perorangan kematian merupakan akhir hidup di dunia ini. Akan tetapi, seluruh dunia pun akan mati. Itu disebut “akhir zaman”. Sebagaimana manusia perorangan baru mencapai tujuan hidupnya dalam pertemuan dengan Allah, begitu juga dunia. Seperti yang dilukiskan Paulus dalam Roma 8:19-26. Yang mencolok adalah kata “mengeluh”. Makhluk-makhluk mengeluh, kita mengeluh, Roh Kudus pun “berdoa dengan keluhan yang tak terucapkan”. Keluhan ini dihubungkan dengan “menantikan” dan “pengharapan”. Dari satu pihak kita sadar bahwa dunia ini menjurus ke hidup yang sejati, yakni “pengangkatan sebagai anak”, sebab hidup yang sejati ialah “mengenal satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah diutus-Nya” (Yoh. 17:3). Dan “Apabila Kristus menyatakan diri, kita akan sama menjadi sama seperti Dia” (1 Yoh. 3:2). Mengenal Allah, dan mengenal-Nya sungguh-sungguh, “muka dengan muka” (1 Kol. 13:12), hanya mungkin kalau kita diperbolehkan mengambil bagian dalam hidup Allah sendiri. Yang akan masuk ke dalam dunia Allah, bukan hanya kita, melainkan seluruh ciptaan. Keselamatan yang masih tersembunyi sudah merupakan dinamika hidup, karena pengharapan, bagi seluruh ciptaan.

Di dunia ini hidup kita masih bersifat perjuangan. Kita memang merasa pasti mengenai tujuan, tetapi sering ragu-ragu mengenai jalannya. Lebih kerap lagi, ketidakjelasan itu menjadi alasan kita menyimpang dari jalan dan tidak terarah kepada pertemuan dengan Allah.

“Tuhanlah tujuan sejarah manusia, titik sasaran segala dambaan sejarah dan kebudayaan manusia; kita yang dihidupkan dan dihimpun dalam Roh-Nya, berziarah menuju pemenuhan sejarah manusia” (GS 45). Maka yang penting dalam hidup sekarang ialah mencari keterarahan kepada Tuhan.
Mengenai “dunia baru dan surga baru” Konsili Vatikan II menyatakan: Kita tidak mengetahui, kapan dunia dan umat manusia akan mencapai kepenuhannya; tidak mengetahui pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan yang telah rusak akibat dosa, akan berlalu. Tetapi kita diberi ajaran, bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru, kediaman keadilan dan kebahagiaan, yang memenuhi, bahkan melampaui segala kerinduan akan kedamaian, yang pernah timbul dalam hati manusia (GS 39). Akhirat oleh Konsili dilihat sebagai “penyelesaian” seluruh sejarah dunia, dengan segala cita-cita dan kerinduannya. Memang tidak diketahui cara dan waktunya, tetapi diketahui bahwa semua itu akan datang dari Allah.

Pengharapan kita tidak berdasarkan keinginan kita sendiri, tetapi berpangkal pada kebaikan Tuhan. Kasih Allah akan melampaui segala harapan dan dugaan kita. Maka yang pokok adalah iman akan kebaikan Tuhan, seperti dikatakan oleh St. Paulus: “Kita, yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia, kita juga beroleh jalan masuk-oleh iman-kepada kasih-karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Kita juga bermegah dalam kesengsaraan” (Roma 5:1-2).

Kesetiaan Tuhan merupakan dasar pengharapan kita. Yang diimani adalah Tuhan, bukan perkembangan dunia, maka segala perubahan dan ketidakjelasan tidak dapat menggoncangkan iman dan pengharapan kita.
Menanggapi semua ini maka saya menyarankan agar semua orang yang terlibat dalam pengajaran iman Katolik, baik para Imam, katekis dan guru agama agar terus menekankan pemahaman yang baik dan benar (sesuai dengan iman Katolik) tentang pengertian kedatangan Kristus yang kedua kalinya, dalam setiap kegiatan pewartaan. Misalnya dalam seminar tentang eskatologi, dalam mengajar katekumen, dalam pendidikan agama di sekolah maupun dalam penulisan sebuah buku.

Kesimpulan

Montanisme merupakan sebuah gerakan kharismatis dan apoliptis pada pertengahan dan akhir abad ke-2, dipelopori oleh Montanus yang adalah seorang imam dari Phrygia (Asia Kecil) dan ia mengklaim dirinya diilhami langsung oleh Roh Kudus. Gerakan montanisme memiliki keyakinan bahwa akhir dunia sudah tiba, oleh sebab itu mereka meninggalkan hal-hal duniawi dan datang ke Pepuza (desa kecil di Asia Kecil) karena di sana Tuhan akan mendirikan Yerusalem yang baru. Mereka memiliki keyakinan dengan menghidupkan kembali pengharapan lama akan kedatangan Tuhan, tentang adanya karunia-karunia Roh, dan menghidupkan kembali hukum disiplin Gerejawi yang keras atau praktik moral yang murni.
Waspadalah ajaran ini sudah mulai bangkit kembali dalam gerakan-gerakan rohani, sebagaimana yang sempat terjadi di Surabaya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Eddy Kristiyanto, OFM. “Gagasan yang Menjadi Peristiwa. Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal. 30-31.
2. Van Den End, Thomas. HARTA DALAM BEJANA. Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2008. Hal. 42-46.
3. Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik, Jakarta: OBOR, 1997. Hal. 468-473.
4. R. Hardawiryana, SJ (penerjemah). Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: OBOR, (1993) Februari 2012.

Tulisan yang sama telah diposting dalam website:  https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/ajaran-sesat-montanisme/

Ajaran Sesat Gnostisisme



A. LATAR BELAKANG

Di dalam kekristenan, gerakan Gnostik muncul pertama kali sebagai sebuah sekolah pemikiran. Pada akhir abad ke II, semua Gnostik melepaskan diri dari Gereja Universal. Dalam Perjanjian Baru yang disusun seperti surat 1 Yohanes dan surat-surat Pastoral Paulus, bentuk-bentuk ajaran sesat dimunculkan yang serupa dengan sistem-sistem ajaran Gnostik. Para Gnostis memanfaatkan karya-karya Yahudi, Kristen, dan Kafir, untuk kemudian disintesiskan, dan akhirnya sampai pada pokok penganjaran, bahwa keselamatan itu dicapai manakala unsur rohani, yang suci, dalam diri manusia terbebaskan dari unsur materi, yang sifatnya selalu jahat.

B. TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk mempelajari aliran Gnostisisme pada akhir abad II yang menyebabkan permasalahan yang panjang dalam Gereja. Dengan mempelajari aliran Gnostisisme, diharapkan dapat menemukan hal-hal positif dan negatif guna memperbaiki masa depan. Memperbaiki masa depan untuk umat beriman agar dapat mengetahui kaidah ajaran Kristen yang sejati dan menghayatinya dengan sepenuh hati.

C. METODE

Dalam penulisan makalah ini saya memakai metode sumber bacaan, dari buku-buku sejarah Gereja. Dari buku-buku itu, saya mencoba merumuskan ajaran-ajaran Gnostisisme. Dengan demikian sejarah Gnostisisme yang terjadi beberapa abad silam dapat dipelajari dengan mudah.

D. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Gnostisisme?
2. Beberapa tokoh Gnostik dan ajarannya yang bertentangan dengan iman Kristen.
3. Tanggapan Gereja terhadap ajaran Gnostik.
4. Tanggapan saya.

E. PENGERTIAN GNOSTISISME

Apakah Gnostisisme itu ?. Kata Gnostisisme berasal dari bahasa Yunani: gnōsis, yang artinya : Pengetahuan. Gnostisisme adalah suatu paham atau aliran tentang penyelamatan melalui pengetahuan. Pada akhir abad ke II, penganut Gnostik mengutip “kata-kata Yesus dalam Injil yang dipakai umat Kristiani” demi mendukung ajaran-ajaran mereka. Tokoh-tokoh Gnostik mengarang “injil-injil” baru, antara lain “Injil Thomas” yang mengajarkan ajaran dualistik : materi bertentangan dengan Roh, dan alam semesta merupakan suatu wujud yang buruk dari Pencipta. Gnostisisme menyangkal wahyu objektif yang terpenuhi pada zaman para rasul. Gnostisisme menolak kenyataan bahwa Kristus telah menetapkan kuasa mengajar dalam gereja-Nya, untuk menafsirkan dengan tepat arti sabda Allah yang diwahyukan.

F. BEBERAPA TOKOH GNOSTISISME DAN AJARANNYA

a. Valentinus

Menurut Valentinus, Dunia yang penuh penderitaan, diciptakan oleh Allah yang jahat. Allah adalah terang, dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang rohani murni. Tetapi ada malaikat yang ingin mengenal hakekat Allah yang Tertinggi itu. Malaikat itu tidak dapat mengenal hakekat Allah, sehingga dalam dirinya timbul rasa sedih dan gelisah.

Kesedihan dan kegelisahan itu dibuang keluar dari dunia terang, maka terbentuklah materi (zat jasmani). Dari materi itu Allah menciptakan dunia. Dunia itu menjadi penjara bagi percikan-percikan terang yang ikut terbuang dari dunia atas. Allah yang jahat itu adalah Allah Bangsa Israel.
Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang jahat. Allah yang maha baik itu diperkenalkan oleh Kristus. Kristus adalah salah seorang dari roh-roh yang hidup dalam dunia terang, tetapi Ia turun dari dunia atas untuk menembus percikan-percikan terang yang telah menjadi roh orang-orang tertentu yang terkurung dalam tubuh.

Kristus mengajar kepada roh-roh itu tentang asal-usul mereka dan tentang jalan untuk kembali ke dunia terang. Kristus sendiri tidak mempunyai tubuh manusia. Tubuhnya yang dipercakapkan dalam Injil hanyalah semu, sehingga pura-pura saja Ia mati di atas kayu salib. Kristus menebus kita bukan dengan jalan kematian dan kebangkitan, Keselamatan itu diperoleh dengan jalan mengingkari tubuh kita (askese) dan memiliki pengetahuan rahasia tentang jalan ke dunia terang.

b. Basilides ( kira-kira 150 ses. Masehi)

Menurut Basilides, bukan Yesus yang menderita sengsara dan disalibkan, melainkan Simon dari Cyrene. Wajah simon telah diubah oleh Allah, agar orang mengira bahwa dialah Yesus, sehingga Simon disalibkan karena kekhilafan dan kekeliruan. Padahal Yesus sendiri memakai rupa simon, berdiri di dekat situ sambil menertawakan mereka. Yesus tidak bersifat jasmani, maka Ia sanggup memakai rupa Simon. Kemudian Yesus naik kepada Allah sambil menertawakan mereka. Maka seharusnya orang-orang tidak percaya kepada yang disalibkan, melainkan kepada Dia yang datang dalam rupa manusia yaitu Yesus yang dianggap disalibkan. Kalau seseorang percaya kepada dia yang disalibkan itu, maka ia masih seorang budak.

"Bapa Gereja memberikan seperti Polikarpus (lahir tahun 69-155) yang adalah saksi mata dan murid Rasul Yohanes berkata : “ Barangsiapa tidak mengakui bahwa Kristus telah datang dalam daging, maka ia adalah antikristus; dan barangsiapa tidak mengakui rahasia salib, maka ia adalah jahat dan ia yang berpegang pada firman Tuhan menurut keinginannya sendiri. Barangsiapa berkata bahwa tidak ada kebangkitan dan penghakiman, maka ia adalah anak sulung iblis “.

c. Beberapa contoh perkataan-perkataan Yesus dalam Injil Thomas yang digunakan dalam ajaran Gnostik antara lain :

(1) Inilah kata-kata rahasia, yang diucapkan oleh Yesus yang hidup itu dan yang dituliskan oleh Didymus Yudas Thomas.
(50) Yesus berkata : kalau mereka berkata kepada kamu : dari manakah asalmu?. Katakanlah kepada mereka : kami berasal dari terang……kami adalah anak-anak dan orang-orang pilihan Sang Bapa yang hidup itu.
(56) Yesus berkata : Siapakah yang telah mengenal dunia, ia telah menemukan mayat…
(62) Yesus berkata : Aku mengatakan rahasia-Ku kepada mereka yang layak bagi rahasia-rahasiaKu. Apa yang dilakukan oleh tangan kananmu, biarlah jangan diketahui oleh tangan kirimu, apa yang dilakukan.
(79) seorang perempuan dari antara orang banyak itu berkata kepadaNya : berbahagialah rahim yang telah mengandung Engkau dan buah dada yang telah memberi Engkau minum. Berbahagialah mereka yang telah mendengarkan firman. Sebab akan tiba masanya kamu akan berkata : berbahagialah rahim yang tidak mengandung dan buah dada yang tidak pernah menyusui.

Ayat-ayat ini, sekilas hampir sama dengan Injil Asli yang kita pakai. Tetapi perlu diketahui penganut Gnostisisme mengganti sebagian besar kata-kata itu untuk membenarkan ajaran mereka. Lebih dari itu mereka ingin mengacaukan iman Kristiani pada zaman itu. Mereka mengakui nama injil mereka adalah Injil Thomas. Semua yang mereka lakukan adalah untuk mengacaukan iman Kristiani. Gereja telah lebih dahulu mengetahui mana ajaran yang benar dari para rasul, yang lahir sebelum tokoh Gnostik ada.

d. Ajaran-ajaran Gnostik yang bertentangan dengan iman Kristiani adalah :

– Perjanjian Baru dipisahkan dari Perjanjian Lama, dengan demikian maknanya diputarbalikkan.
– Allah Pencipta tidak sama dengan Allah Bapa Yesus Kristus. Materi (zat jasmani) bukanlah ciptaan Allah yang baik melainkan dianggap jahat menurut hakekatnya.
– Kehidupan jasmani manusia bukanlah sesuatu yang pada hakekatnya baik,dan menggembirakan, melainkan perkara yang menyedihkan dan patut diingkari.
– Daging tidak akan bangkit dan tidak akan ada dunia yang baru, sebab seluruh materi akan binasa kelak.
– Dalam hal kelakuan orang, tekanan diberikan kepada perjuangan melawan tabiat jasmani kita.
– Yesus tidak disalib, melainkan diangkat oleh Allah Bapa ke Surga.
Bagi Gereja, Gnostik merupakan tantangan yang berat, karena bertolak belakang dengan azas-azas iman Kristen. Salah seorang Teolog yang paling keras melawan Gnostik ialah uskup Ireneus dari Lyon. Uskup Ireneus menulis karya :” Penyingkapan kedok dan sanggahan terhadap pengetahuan yang pura-pura” (kira-kira 180 sesudah Masehi).

G. TANGGAPAN GEREJA

Untuk melawan ajaran Gnostik, Gereja membentuk kaidah ajaran Kristiani, yakni :
1. Pembentukan “Kanon Kitab Suci”. Gereja sudah mempunyai PL sebagai ukuran bagi kepercayaan dan kehidupan anggota-anggotanya. Di samping itu ada 4 Injil-injil dan surat-surat. Gereja menentukan, kitab manakah yang boleh dianggap benar-benar berasal dari murid Tuhan.
2. “Pengakuan Iman”. Pengakuan yang tertua mengenai Kristus : “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor. 12:3; Roma 1:3; Filipi 2:5-11). Kemudian pengakuan ini berkembang menjadi suatu pengakuan iman yang lengkap : “Syahadat Para Rasul”.

3. “Uskup”. Uskup-uskup dipandang selaku pengganti rasul-rasul. Uskup-uskup ini meneruskan ajaran yang mereka terima dari Kristus sendiri. Dengan demikian ajaran-ajaran bidaah/bidat khususnya Gnostik dapat dibantah, sehingga jemaat mempunyai pegangan yang teguh.
Akhirnya, 4 kitab Injil, surat-surat Rasul Paulus, Kisah Para Rasul, surat kepada orang Ibrani dan Wahyu kepada Yohanes mendapat Kanon (Tongkat/ Pedoman) selaku kitab yang asli. Setelah terbentuk Kanon Alkitab yang sah, maka lebih jelas batas antara Gereja dan Gnostik.

H. PENDAPAT SAYA

Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat membuat banyak orang terlena, sehingga melupakan hal-hal hakiki kerohanian. Banyak orang cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dewa. Ilmu pengetahuan dijadikan argumen untuk mengatakan bahwa mereka menolak Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan membuat mereka puas diri dan tidak peduli lagi kegiatan-kegiatan kerohanian. Praktek kehidupan terfokus pada ilmu pengetahuan saja. Sehingga menyebabkan banyak orang yang tidak mau menderita untuk memperoleh apa yang diinginkan. Penderitaan dianggap sebagai hukuman dari Tuhan, sehingga selalu lari dari kenyataan hidup. Tuhan dipandang sebagai hakim yang menghukum manusia melalui penderitaan. Akhirnya banyak orang mempertanyaan, siapakah yang menciptakan dunia yang kejam ini?. Ajaran Gnostik menjawab sesuai situasi dengan keyakinan mereka, meskipun bertentangan dengan iman Kristiani. Iman Kristiani mengajarkan bahwa Tuhan itu maha baik adanya.
Ilmu pengetahuan sesungguhnya dapat membawa pembaharuan dalam kehidupan kita. Kita dapat menjadi manusia yang bijaksana dalam menjalani hidup. Hidup dapat menjadi bermakna dan berarti apabila ilmu itu dibagikan kepada orang lain. Orang lain yang menerimanya dapat menata masa depan. Ajaran Gnostik, dapat memberikan inspirasi yang baik bagi setiap orang beriman agar tidak menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dewa dan menganggap penderitaan sebagai hal negatif. Mengapa ? karena Yesus sendiri dimuliakan melalui sengsara, wafat dan kebangkitannya. Penderitaan dan ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan bagian dari kehidupan. Penderitaan dan ilmu pengetahuan seharusnya membuat setiap orang beriman sadar akan makna hidup yang di anugrahkan Tuhan.

Jadi, kesimpulannya adalah ajaran ini, ajaran manusia bukan dari ajaran Tuhan. Yesus disalibkan, wafat, dan dimakamkan dan bangkit pada hari yang ketiga (Hari minggu).

Sumber:
Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif. 2003 Yogyakarta : Kanisius.
End, van den, Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1986.
Heuken, A. 1991. Ensiklopedia Gereja jilid I A-G. Jakarta : Yayasan cipta loka cakara.

Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi (Sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memposting tulisan yang sama di website:  https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/ajaran-sesat-gnostisisme/

Makna Gelar Yesus Dalam Alkitab




1. Anak Manusia

Sebagaimana dalam Injil-Injil Sinoptik, gelar “Anak Manusia” adalah ungkapan yang dipakai oleh Yesus untuk diri-Nya sendiri. Gelar ini tidak pernah diungkapkan baik oleh para murid-Nya maupun oleh banyak orang (Yoh. 12:34). Gelar Anak Manusia dalam Injil ini cukup berbeda dengan yang ada di dalam Injil Sinoptik. Injil Yohanes menekankan “Pre-eksistensi” Anak Manusia, juga pengangkatan dan pemuliaan-Nya. Penekanan terletak pada keilahian. Makna dibalik kata “Anak Manusia” adalah menunjukkan bahwa Yesus adalah “Figur Eskatologi yang menghubungkan dan menyatukan surga dan bumi”. Sebagaimana Yoh. 3:13: tidak ada seorangpun yang telah naik ke surga, selain dari pada Dia yang telah turun dari surge, yaitu Anak Manusia. Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada? Yoh. 6:62
Yesus, sebagai Anak Manusia, melanjutkan kesatuan-Nya dengan Allah dan tinggal dalam Allah. Dia adalah manusia sempurna, arketipe (tipikal asali manusia yang mempunyai relasi yang dalam dengan Allah) yang melambangkan relasi pribadi yang benar dan fundamental dengan Allah. Asalnya yang ilahi adalah dasar untuk pengangkatan dan pemuliaannya sebagaimana tindakan penyelamatan-Nya. Bapa telah mengesahkan meterai-Nya pada Anak Manusia (6:27) dan dari Bapa, dia telah menerima pesan-Nya (3:11-13). Ini menjadi jaminan akan kembalinya Anak Manusia di masa depan (6:62). Gelar ini mengandung makna “Pre-eksistensi”. Dan ketika orang bertemu Anak Manusia di bumi, dia melihat atau menghadapi Dia Yang Ilahi.

2. Anak Domba Allah

Mempersembahkan “anak domba” merupakan tradisi (Perjanjian Lama) agama Yahudi untuk memperoleh pengampunan dari Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, “Anak Domba” bukan lagi domba (binatang), melainkan Yesus Kristus. Yesus Kristus telah mempersembahkan diri sampai wafat di kayu salib demi keselamatan umat manusia (Yoh.1:29) .

3. Rabbi

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi disebut Rabbi oleh umat Yahudi. Rabbi artinya Guru. Yesus Kristus dipanggil sebagai Rabbi (Yoh. 1:38) karena kecerdasan dan kepintarannya dalam menjelaskan ajaran Taurat kepada orang banyak.

4. Mesias

Pada zaman itu orang-orang Yahudi (Terutama Kaum Esseni) mengharapkan Mesias yang jaya dalam bidang politik. Mesias (Kristus) yang mereka harapkan itu tidak sesuai harapan. Mesias yang datang justru Mesias yang menderita (demi keselamatan manusia) Yoh.1:41. Injil Yohanes menekankan Yesus sebagai Mesias yang melebihi harapan banyak orang, yakni Mesias yang membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia (bdk. Yoh. 20:31).

5. Anak Allah

Yesus adalah Anak Allah, sebab Allah menyucikan-Nya dan mengutus-Nya ke dunia untuk sebuah misi. Dalam Perjanjian Lama, gelar Anak Allah dipakai untuk utusan Ilahi (Malaikat). Jadi, gelar ini biasanya menunjuk pada keilahian. Meskipun demikian, ungkapan Anak Allah dalam pandangan Injil Yohanes, lebih cocok untuk mengungkapkan “relasi Yesus yang sangat istimewa dengan Allah (Yoh. 1:14, 1:34; 1:49,5:19,5:2-10,3:36,6:40,5:22,8:36,5:20,10:17,15:9,5:17,5:18-19,10:32,14:10,8:26-28,8:40,14:24,6:47, 10:15, 3:35, 10:30, 10:38, 14:10,11, 5:20, 8:47, 3:31-32, 12:27-28, 18:6.
Sebagai Anak Allah, Bapa memberikan kepada Yesus segala sesuatu yang bersifat ilahi. Maka dari itu, Yesus dapat mengetahui hal-hal secara adikodrati. Dalam doa-Nya pun, ungkapan-Nya berbeda dengan yang lainnya (Yoh. 11:41-42). Gelar Anak Allah memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa Yesus adalah Dia Yang Ilahi.

6. Yesus (Anak Yusuf dari Nazaret)

Kata “Yesus” berasal dari bahasa latin “lesous” sedangkan dari bahasa Aramaic “Eesho” dan dalam bahasa Arab “Isa”. Yesus artinya “Yang di urapi”. Nama Yesus merupakan nama yang di wartakan oleh malaikat Gabriel ketika mengunjungi Maria
( dalam Injil Sinoptik ). Nama Yesus menunjuk bahwa ia adalah anak Yusuf dan Maria. Yesus kemudian disebut “Yesus dari Nazaret” ( pengikutnya di sebut Nasrani/Kristiani ).

7. Raja Orang Israel

Gelar ini merupakan sebuah “Harapan” orang Israel akan datangnya seorang Raja (Mesias Politik) yang jaya, hal itu terlihat ketika Yesus memasuki kota Yerusalem, mereka menyambutnya sebagai raja. Dapat juga dilihat dalam Injil Sinoptik, ketika mereka hendak memaksa Yesus untuk menjadi raja atas bangsa Israel. Tetapi Yesus adalah raja yang harus menderita, wafat, dikuburkan dan bangkit pada hari yang ketiga.

Bismil’Abbi, wa-ibnu-wa Roh’ul Qudus, Allah’hu Ahad, Amin.
( Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Allah Yang Maha Esa, Amin).

“La ilaha illa’llah, wa la syai’an illa’llah wa kun Masihiyyan”
(Tidak ada ilah selain TUHAN dan tidak ada sesuatu yang lain selain Dia dan jadilah kamu seorang Kristiani).
(Kahlil Gibran-seorang Penganut Katolik Maronite)

Silvester Detianus Gea
Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi (sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memposting tulisan yang sama di website: https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/penjelasan-singkat-7-gelar-yesus-dalam-injil-yohanes/

Mengenal Yesus Kristus



1. Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini sampai selama-lamanya.

Pater Groenen ofm mengutip Surat Ibrani ( 13:8 ) yang berbunyi: “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini sampai selama-lamanya.” Menurut Groenen Surat Ibrani tersebut berisikan “pengakuan iman dari jemaat rasuli sekitar tahun 80 Masehi. Konteks pengakuan iman ( Ibr. 13:7-9 ) menekankan bahwa Yesus Kristus tidak boleh berubah dan karena itu tidak boleh diubah atau diganti. Penulis Surat Ibrani meneguhkan iman jemaat pada saat itu yang terancam meninggalkan atau mengubah Yesus seperti yang ditawarkan kepada mereka.

Mereka yang dahulu menjadi mengikuti Yesus memikirkan, merumuskan, dan mengkonsepkan Yesus, yang bertolak dari pengalaman paskah. Itulah yang kemudian hari disebut “kristologi,” sebuah cabang teologi dogmatis. Kristologi (Yunani: Khristos artinya kristus dan logos artinya pengetahuan atau ilmu) adalah logos mengenai Kristus, pemikiran mengenai Yesus Kristus, sasaran iman kepercayaan Kristen.

Sejarah Yesus Kristus dalam pemikiran orang Kristen bukanlah Yesus Kristus sendiri, melainkan masyarakat dan budaya, tempat umat Kristen mengkonsepkan dan membahasakan Yesus Kristus. Oleh karena itu dapat terjadi orang Kristen menemukan segi dan aspek tertentu yang mula-mula belum disadari dan dilihat. Yesus Kristus sangat relevan dan bermakna bagi orang Kristen karena tokoh itu menentukan eksistensi, keberadaan manusia. Oleh sebab itu Yesus tidak dapat dipisahkan dari karya, penampilan, dan keterlibatan-Nya bagi manusia. Dari alasan ini, kristologi tidak dapat dipisahkan dari soteriologi (Yunani: soter berarti penyelamat, penebus, dan logos berarti pengetahuan atau ilmu) yaitu pemikiran tentang penyelamatan, tentang relevansi Yesus Kristus, tentang karya-Nya berkenaan dengan keselamatan manusia.

2. Apa yang dipelajari dalam Kristologi?

Berkristologi berarti merefleksikan iman sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Tugas umum Kristologi adalah menyelidiki, merenungkan, merumuskan, dan menyampaikan keyakinan iman Kristen bahwa Yesus dari Nazareth adalah Kristus dan Tuhan. Dalam nama “Yesus Kristus” hanya bagian pertama merupakan nama diri yaitu “Yesus”, sedangkan bagian kedua yaitu “Kristus” bukanlah nama diri melainkan sebuah gelar. Kata “Kristus” (ejaan bahasa Indonesia ini menerjemahkan ejaan bahasa Yunani “Kristhos”) dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani “Mesias” (“Almasih”) yang berarti yang telah diurapi. Yesus telah diurapi oleh Allah menjadi Juru Selamat Dunia. Kata-kata “Yesus Kristus” yang diucapkan sebagai satu kesatuan itu merupakan juga suatupengakuan iman. Suatu pengakuan bahwa “Yesus adalah Kristus” atau “Yesus itu Kristus.” Pewartaan (Kerugma) seperti ini mudah ditemukan dalam Kitab Suci: misalnya, “Yesus itu Putra Allah” atau “Yesus adalah Tuhan” (lih. Mat. 14:33; Mrk. 15:39; Kis. 2:36; 1 Kor. 8:6). Pengakuan iman yang sama juga terungkap juga dalam sandi berupa gambar ikan pada abad-abad pertama masehi, ketika orang orang Kristen di Roma dianiaya. Dalam Katakombe mereka ikan yang merupakan sandi atau kode pengakuan iman. Kata Yunani untuk ikan adalah “IKHTUS” yang merupakan singkatan dari: Yesus Khristhos Theou Huios Soter) yang artinya: “Yesus Kristus Allah-punya-Putra Penyelamat.”

Kalau dewasa ini (abad XXI) kita berkristologi, kita selalu mengandaikan dan tetap terpengaruh kepada iman yang sudah dimiliki, pemikiran yang sudah dirumuskan pada abad-abad yang lalu. Yang mencolok adalah bahwa adanya perbedaan (diskontinuitas) antara Yesus sebagaimana hidup di Palestina pada masa itu dan Kristus iman. Perbedaan Yesus sejarah dan Kristus dari pewartaan iman tidak boleh membuat kita berpikir untuk memisah-misahkan keduanya. Yesus sejarah dan Kristus iman memang terdapat kesamaan (kontiunitas) juga. Maka tugas khusus Kristologi ialah sambil mengikuti iman tradisi Kristiani, kita mesti sampai kepada keyakinan yang sama dan menegaskan juga bahwa Yesus itu Kristus dan Kristus adalah manusia Yesus yang pernah tinggal di Nazareth.

3. Jalan atau pendekatan-pendekatan kristologi

a. Mendekat-Nya sebagai “sungguh-sungguh manusia”

Para rasul mendekati Yesus dengan cara ini, yaitu mulai dengan melihat Yesus sebagai manusia. Yesus seorang manusia biasa sebagaimana orang sejamannya menjumpai. Pendekatan ini berusaha mengenal, mencintai, dan mengikutiNya secara sungguh-sungguh.

b. Mendengarkan dan menghubungi-Nya melalui kerugma/kesaksian jemaat awal
Untuk mendapat pengertian tentang Yesus, kita harus merenungkan dan menyelidiki pewartaan jemaat awal tentang diri Yesus. Dengan merenugkan amanat dalam kerygma dan kesaksian iman para Rasul dan segenap umat purba, Yesus Kristus akan semakin hidup bagi kita.

c. Melalui kesaksian iman kita menggali historis

Keharusan membaca Injil bukan hanya mau merenungkan kerugma yang disampaikan melainkan juga menembusi kesaksian iman itu untuk melihat apa yang ada di belakang semua kesaksian para rasul dan murid Yesus. Dengan memahami Yesus sebagai manusia, kita dapat bertemu dengan Kristus, yang sungguh Allah dan sungguh manusia.

d. Mendekati Yesus sebagai Allah dari Allah: Kristologi dari Atas

Pewahyuan diri Allah Bapa dalam Yesus, hanya mungkin karena adanya kesatuan Yesus dengan Bapa dalam Roh Kudus, yang sekaligus Roh Allah Bapa dan Roh Yesus. (trinitaris dan pneumatis).

Sumber: 
Mateus Beny mite, Pengalaman Akan Yesus Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi, 2008, hlm. 1-2.
Mateus Beny mite, Pengalaman Akan Yesus Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi, 2008, hlm. 3-6.

Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi (sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memposting tulisan yang sama di website: 

Kitab Suci Dasar Iman Katolik





Kita sering mendengar bahwa Kitab Suci adalah “Wahyu Allah”, atau pernyataan Allah tentang diri-Nya yang nyata dalam diri manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26). Tuhan memberi wahyu secara khusus untuk menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya bagi umat manusia untuk mencapai tujuan akhir, yakni keselamatan. Tawaran keselamatan ini berpuncak di dalam diri Yesus Kristus, yang kemudian dilanjutkan oleh para rasul.

Gereja Katolik percaya bahwa Kitab Suci, Tradisi Suci (lisan) dan Magisterium adalah Wahyu umum. Berikut ini adalah penjelasannya :

1. Kitab Suci (Alkitab) adalah wahyu ilahi yang disampaikan secara tertulis di bawah inspirasi Roh Kudus.

2. Tradisi Suci adalah wahyu Ilahi yang tidak tertulis, namun yang diturunkan oleh para rasul sejak awal oleh inspirasi Roh Kudus, sesuai dari yang mereka terima dari Yesus dan kemudian diteruskan oleh para penerus merek.

3. Magisterium adalah pihak yang berwenang (kuasa mengajar Gereja) menafsirkan Kitab Suci dan Tradisi Suci.

Ketiga hal ini adalah pilar iman, yang ditunjukan untuk menjaga dan mengartikan wahyu publik dari Allah di dalam kemurniannya.

KITAB SUCI TERDIRI DARI PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU

Untuk memahami Kitab Suci, setiap orang perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan firman Allah itu. “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru”. Sama seperti sebuah kisah tidak akan lengkap jika hanya dibaca awalnya saja, atau akhirnya saja, tanpa memperhatikan kaitannya. Demikian juga Kitab Suci hanya bisa dipahami secara menyeluruh dalam kesatuan antara PL dan PB, dan dalam kaitan satu ayat dengan ayat lainnya.

PENULISAN KITAB SUCI MELIBATKAN AKAL BUDI PARA PENULISNYA

Kitab Suci merupakan Firman Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh-Nya. Namun demikian, ini melibatkan juga kemampuan sang penulis tersebut dalam hal gaya bahasa, cara penyusunan, latar belakang budaya, dst. Maka jika ingin memahami Kitab Suci, setiap orang perlu mengetahui makna yang disampaikan oleh para penulis kitab dan apakah yang ingin disampaikan Allah melalui tulisan itu. Karena Kitab Suci bersumber pada Allah yang satu, maka setiap orang harus melihat keseluruhan Kitab Suci dan menjadikannya sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar dalam memperdalam tentang Kitab Suci, karena demikianlah dahulu jemaat perdana mengartikan Kitab Suci.

KITAB SUCI DIBERIKAN KEPADA GEREJA SEBAGAI PEDOMAN

Rasul Paulus memberikan alasan kepada kita untuk mempelajari Kitab Suci, yakni, “segala tulisan yang diilhamikan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim. 3:16) agar setiap umat diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Dengan demikian, Kitab Suci mendapat tempat yang begitu tinggi di dalam Gereja Katolik, yang dapat dilihat dari dokumen-dokumen Gereja yang senantiasa bersumber dari Kitab Suci, tradisi suci dan dalam liturgi Gereja.

PRINSIP UMUM YANG HARUS DIPEGANG

1. Gereja ada terlebih dahulu sebelum Kitab Suci

Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa Tradisi Suci sudah ada terlebih dahulu daripada pengajaran yang tertulis. Demikian pula, Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak membentuk Kitab Suci, namun Yesus membentuk Gereja, yang Ia dirikan di atas Rasul Petrus (Lih. Mat. 16:18). Gereja pulalah yang menentukan Kanon seluruh Kitab Suci, baik PL maupun PB.

2. Kitab Suci memberitahukan Tradisi Suci, sebab tidak semua ajaran Yesus Kristus terekam dalam Kitab Suci.

Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran Rasul-rasul..” (Kis. 2:42, lih. 2 Tim. 1:14), dan ini sudah terjadi sebelu Perjanjian Baru ditulis, berabad-abad sebelum Kanon Perjanjian Baru ditetapkan di akhir abad ke IV. Kitab Suci juga mengajarkan bahwa pengajaran Para Rasul disampaikan secara lisan, “ apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim. 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis (2 Tes. 2:15; lih. ‘ ajaran yang diteruskan melalui pembicaraan oleh para rasul ini Tradisi Suci (1 Kor. 11:2, 23; 2 Yoh. 12, 3 Yoh. 13), “ Masih banyak hal-hal lain yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua Kitab yang harus ditulis itu”. (Yoh. 21:25). Kitab Perjanjian Baru mengaju kepada Tradisi Suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis. 20:35, di mana Rasul Paulus meneruskan perkataan Yesus “ adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima”; yaitu perkataan Yesus yang tidak tertulis dalam Injil.

3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa perlu otoritas untuk menginterpretasikan.
Rasul Petrus mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Kitab Suci yang sulit dicerna (Lih. Kis. 8:30-31; 2 Ptr. 1:20-21; 2 Ptr. 3:15-16), dan ketidak hati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan kesalahan yang fatal. Berapa banyak kita mendengar dari agama lain, yang menggunakan Kitab Suci untuk menyanggah kebenaran iman, seperti tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus atau Yesus adalah sungguh Allah. Mereka salah memahami apa yang mereka kutip.

4. Yesus Kristus memberikan otoritas kepada Gereja untuk mengajar dalam Nama-Nya.
Gereja bertahan sampai akhir zaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat. 16:18;18:18; 28:19-20; Luk. 10:16; Yoh. 14:16). Karena itu, Kristus memberi kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium mengajar hanya untuk melayani sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya. Prinsip fungsi Magisterium ini hanya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola: ia tidak mengatasi peraturan, tetapi hanya menjaga agar peraturan dijalankan dengan semestinya.

Paus Benediktus XVI dalam pengajaran Apostoliknya, Verbum Domini, menegaskan bahwa apa yang tertulis dalam Kitab Suci bukanlah sesuatu yang dapat diinterpretasikan oleh masing-masing individu dengan bebas tanpa melihat apa yang menjadi pandangan Gereja. Karena Sabda Allah bersumber dari Roh Kudus yang diberikan kepada Gereja. Oleh Roh Kudus menjadi jiwa dari Gereja, Gereja menentukan buku-buku yang masuk dalam Kanon Kitab Suci. Dengan demikian,Gereja mempunyai otoritas untuk menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Roh Kudus.

Sejarah menunjukkan bahwa Kitab Suci yang ada pada kita sekarang terbentuk pertama kali menurut Kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus pada tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthago (397) dan Kalsedon (451) yang kemudian diteguhkan oleh Konsili Trente (1545-1563). Maka Gerejalah atas ilham Roh Kudus, yang menentukan Kitab Suci mana saja yang diinspirasi oleh Roh Kudus, sehingga termasuk dalam Kanon. Sebelum Kitab Suci ditulis, Gereja mengandalkan Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul. Jadi mengatakan bahwa Kitab Suci saja “cukup” atau “Sola Scriptura” sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Gereja, yang dipimpin oleh Magisterium.

5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalh dalam jemaat.

Ketika terjadi krisis dalam jemaat di sekitar tahun 40 Masehi, Kitab Perjanjian Baru belum dibukukan, dan Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan secara eksplisit tentang sunat. Namun atas inspirasi Roh Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem menetapkan bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi pengikut Kristus (Kis. 15). Konsili inilah yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci Perjanjian Lama yang mengharuskan sunat (lih. Kej. 17, Kel. 12:48) dengan terang Roh Kudus dan penggenapannya oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, sehingga ketentuan sunat tidak lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja; para rasul dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa Sabda Tuhan, yang tertulis atau yang tidak tertulis dan membuat suatu pengajaran Apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.

6. Bukan Kitab Suci saja “tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Tim. 3:15)
Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya menulis Kitab Suci, maksudnya, bahwa Gerejalah yang dipercaya oleh Kristus untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.

7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah “ satu-satunya sumber Firman Tuhan.
Kristus itu sendiri adalah Firman (lih. Yoh. 1:1; 14; 1 Tes. 2:13) Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan Firman Allah dan pemberitaan Firman Allah (melalui pendengaran) yang disampaikan oleh para rasul adalah Tradisi Suci.


Silvester Detianus Gea
Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi (sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memposting tulisan yang sama di website :https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/apakah-kitab-suci-itu/

Kanon dan Non Kanon





Kata “Kanon” dalam bahasa Yunani berarti Tongkat atau Buluh, yang dipakai untuk menugukur panjangnya suatu benda. Karena itu, kata “Kanon” berarti “ Ukuran atau Patokan”. Ketika dipakai dalam bahasa Kitab Suci, Kanon berarti ukuran yang dipergunakan untuk menentukan apakah tulisan-tulisan tertentu termasuk dalam Kitab Suci atau tidak. Kata itu berarti daftar Kitab yang diterima sebagai kitab yang ditulis dengan ilham Roh Kudus dan menjadi bagian dalam Kitab Suci. Dengan ditetapkannya Kanon Kitab Suci menjadi jelas kitab-kitab mana saja yang oleh Gereja diterima sebagai Kitab Suci, sumber dan pedoman iman Kristiani.

Kanon Kitab Suci sudah ditetapkan dan tidak dapat diubah lagi. Tulisan-tulisan yang termasuk dalam Kanon itu disebut Kitab Kanonik. Artinya, asal-usul dan wibawa ilahinya sebagai tulisan yang diilhami oleh Roh Kudus, membuat Kitab-Kitab itu diakui oleh Gereja dan diterima sebagai pedoman iman. Allah sendiri yang sebenarnya bekerja ketika para penulis suci menuliskan karyanya sehingga tulisan tersebut memuat Sabda Allah di dalamnya. Yohanes Kalvin menentukan Kanon Kitab Suci berdasarkan kesaksian batiniah Roh Kudus dan Martin Luther menentukannya berdasarkan kecocokkan kitab tertentu dengan ajaran mengenai pembenaran oleh iman.

Dalam Gereja Katolik diakui bahwa penentuan Kanon Kitab Suci dilakukan oleh seluruh warga Gereja di bawah bimbingan para pemimpinnya. Dikatakan demikian karena criteria penting dalam penentuan daftar ini adalah penggunaannya dalam liturgi Gereja yang melibatkan seluruh warga Gereja. 

Dalam proses pembentukan Kanon Kitab Suci itu rupanya criteria yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

1. Apakah isi Kitab itu benar-benar mengungkapkan iman Gereja, dan tidak sekedar perasaan atau iman seseorang.

2. Apakah kitab tersebut diterima sebagai Kitab Suci oleh seluruh Gereja.

3. Apakah kitab tersebut dari awal diterima sebagai Kitab Suci oleh seluruh Gereja.

Ada banyak kitab lain yang ditulis dan beredar tetapi tidak diterima sebagai tulisan yang diilhami oleh Roh Kudus. Di antara tulisan-tulisan itu terdapat berbagai tulisan yang dimaksud untuk menyampaikan atau mengisahkan hal-hal yang tidak ditulis dalam kitab-kitab Kanonik untuk menanggapi keingintahuan umat. Misalnya Injil Thomas ( Nama Bohongan: yang menggambarkan kehidupan Yesus sebagai seorang anak yang mempunyai kekuatan supranatural ) yang mirip dengan ayat Al-quran Surah Ali Imran: “Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung..( QS. Ali Imran )”; “Pada suatu kali Yesus membuat mainan berbentuk burung dari tanah liat kemudian menghembusnya sehingga menjadi burung yang hidup ( Injil Thomas )”. Pada kesempatan lain Yesus mengutuk seorang anak yang melemparkan batu kepada-Nya sehingga anak itu mati.

Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi (sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memposting tulisan yang sama di website: https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/kanon-dan-non-kanon/

Deuterokanonika



Kalau orang memperhatikan Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan, tampak ada perbedaan yang mencolok, yakni adanya kitab-kitab yang disebut Deuterokanonika. Mengapa ada perbedaan ini? ada yang menuduh orang Katolik telah menambah jumlah Kitab Suci sendiri. Tetapi, tuduhan ini sama sekali tidak benar dan bahkan tuduhan seperti itu menunjukkan bahwa orang yang menyampaikannya tidak mengetahui sejarah terbentuknya Kitab Suci. Perbedaan ini sebenarnya memiliki latar belakang dalam sejarah Agama Yahudi.

Perlu diingat bahwa sejak zaman pembungan Babilonia (abad VI sebelum Masehi) tidak semua orang Yahudi tinggal di tanah Palestina, namun diberbagai tempat seperti di Mesir, Yunani, Roma, Babilonia, dan sebagainya. Orang Yahudi di Palestina memiliki daftar Kitab Suci sendiri dan orang Yahudi di luar Palestina memiliki daftar sendiri. Pada tahun 100 Masehi orang Yahudi yang tinggal di Palestina menetapkan daftar kitab-kitab yang diterima sebagai kitab suci. Daftar ini mulanya hanya berlaku di Palestina dan baru kemudian diterima oleh semua orang Yahudi.

Daftar Kitab Suci yang dipakai oleh orang Yahudi di luar Palestina lebih luas daripada yang dipakai di dalam negeri Palestina, karena mencakup juga kitab-kitab yang sekarang digolongkan sebagai kitab-kitab Deuterokanonika. Umat Kristiani mengikuti daftar Kitab Suci yang berlaku di antara orang Yahudi di luar Palestina. Karena itu, orang-orang Kristiani tetap mengakui kitab-kitab yang tidak diterima oleh orang-orang Yahudi.

Mengenai Perjanjian Lama, Gereja-gereja Protestan yang memisahkan diri dari Gereja Katolik, menyesuaikan diri dengan daftar Kitab Suci Yahudi, sehingga muncul perbedaan.

Kanon Perjanjian Lama

Kanon Yahudi / 24 Kitab

Torah

1. Kejadian
2. Keluaran
3. Imamat
4. Bilangan
5. Ulangan

Nebi’im (Para Nabi)

6. Yosua
7. Hakim-hakim
8. Samuel (1 dan 2)
9. Raja-raja (1 dan 2)
10. Yesaya
11. Yeremia
12. Yehezkiel
13. 12 Nabi Keci
– Hosea
– Yoel
– Amos
– Obaja
– Yunus
– Mikha
– Nahum
– Habakuk
– Zefanya
– Hagai
– Zakharia
– Maleakhi

Ketubim (Tulisan-tulisan)

14. Mazmur
15. Amsal
16. Ayub
17. Kidung Agung
18. Rut
19. Ratapan
20. Pengkhotbah
21. Ester (17-21:5 gulungan)
22. Daniel
23. Ezra
24. Nehemia
25. Tawarikh (1 dan 2)

Kanon Protestan/39 Kitab

Pentateukh

1. Kejadian
2. Keluaran
3. Imamat
4. Bilangan
5. Ulangan

Kitab-kitab Sejarah

6. Yosua
7. Hakim-hakim
8. Rut
9. 1 Samuel
10. 2 Samuel
11. 1 Raja-raja
12. 2 Raja-raja
13. 1 Tawarikh
14. 2 Tawarikh
15. Ezra
16. Nehemia
17. Ester

Kebijaksanaan dan Nyanyian

18. Ayub
19. Mazmur
20. Amsal
21. Pengkhotbah
22. Kidung Agung
Kitab Para Nabi
23. Yesaya
24. Yeremia
25. Ratapan
26. Yehezkiel
27. Daniel
28. Hosea
29. Yoel
30. Amos
31. Obaja
32. Yunus
33. Mikha
34. Nahum
35. Habakuk
36. Zefanya
37. Hagai
38. Zakharia
39. maleakhi

Kanon Katolik/ 46 Kitab

Pentateukh

1. Kejadian
2. Keluaran
3. Imamat
4. Bilangan
5. Ulangan

Kitab-kitab Sejarah

6. Yosua
7. Hakim-hakim
8. Rut
9. 1 Samuel
10. 2 Samuel
11. 1 Raja-raja
12. 2 Raja-raja
13. 1 Tawarikh
14. 2 Tawarikh
15. Ezra
16. Nehemia
17. Tobit
18. Yudit
19. Ester + Tambahan
20. 1 Makabe
21. 2 Makabe

Kebijaksanaan dan Nyanyian

22. Ayub
23. Mazmur
24. Amsal
25. Pengkhotbah
26. Kidung Agung
27. Kebijaksanaan Salomo
28. Sirakh

Kitab Para Nabi

29. Yesaya
30. Yeremia
31. Ratapan
32. Barukh (surat Yeremia=6)
33. Yehezkiel
34. Daniel +(3:24-90,13;14)
35. Hosea
36. Yoel
37. Amos
38. Obaja
39. Yunus
40. Mikha
41. Nahum
42. Habakuk
43. Zefanya
44. Hagai
45. Zakharia
46. Maleakhi
  Ortodoks: 3, 4 Makabe dan Mzm 151.


Silvester Detianus Gea
Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi. Penulis pernah memposting tulisan yang sama dalam website:  https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/deuterokanonika/

Mengenal Bentuk Sastra Dalam Alkitab



Semua yang diwahyukan oleh Allah dan tertulis dalam Kitab Suci dikarang oleh Allah dan ditulis dengan ilham Roh Kudus. Dalam mengarang Kitab-Kitab dalam Kitab Suci, Allah telah memilih para penulis suci (dalam bahasa Yunani : hagiograf) dan Ia bekerja di dalam dan melalui mereka. Dalam bekerja, para hagiograf mempergunakan kecakapan dan kemampuan mereka untuk menuliskan hanya yang dikehendaki oleh Allah. Mereka berbicara pada orang Israel yang tinggal di Timur Tengah, pada zaman tertentu sehingga tidak luput dari pengaruh zaman dan tempat mereka hidup.
Mereka pun mempergunakan cara-cara yang biasa dipergunakan oleh manusia pada zamannya untuk berbicara dan berkomunikasi dengan sesama. Cara berbicara dan berkomunikasi meliputi berbagai jenis sastra yang dipergunakan oleh manusia zaman itu. Jenis-jenis sastra ini dipakai untuk mengemas pesan dan kebenaran yang hendak disampaikan oleh para penulis. Karena itu, setiap tulisan dalam Kitab Suci harus dibaca menurut jenis sastra yang digunakan. Jenis sastra menjadi sebuah petunjuk bagaimana sebuah tulisan harus dibaca dan dipahami/ditafsir. Orang harus memperhatikan jenis sastra yang digunakan lalu menyelidiki apa yang disampaikan oleh para Hagiograf dan apa yang disampaikan Allah dengan kata-kata mereka. Kalau tidak, orang akan mengambil kesimpulan yang salah.

Sebuah peribahasa haruslah dibaca sebagai peribahasa, untuk dapat memahami pesan yang disampaikan. Contoh : “Karena nila setitik, rusak susu sebelangan”. Orang akan mengetahui bahwa kalimat itu sebuah peribahasa, yang dipakai untuk mengungkapkan rusaknya nama kelompok karena perilaku buruk satu orang. Demikian juga, kalau orang membaca Midrash atau cerita yang dianggap bermakna sebagai sejarah, kesimpulan yang diambil pasti akan salah.
Dalam Gereja Kitab Suci dibacakan di hadapan umat dan untuk umat, supaya umat dapat memahami pesan yang disampaikan di dalamnya. Firman itu harus dibacakan dengan baik dan benar supaya umat dapat mengerti. Sebuah kutipan Kitab Suci haruslah dibaca menurut jenis sastranya. Jika kutipan itu berupa perumpamaan bacalah sebagai perumpamaan; bila berupa surat, bacalah sebagai surat; bila sebagai puisi, bacalah sebagai puisi.

JENIS – JENIS SASTRA KITAB SUCI

1. SEJARAH

Sejarah ditulis untuk menyampaikan peristiwa- peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dalam pengertian modern sejarah yang ditulis harus berbicara tentang peristiwa itu sedekat mungkin dengan kejadian sesungguhnya. Karena itu, seorang sejarawan harus bisa menunjukkan bukti-bukti kebenaran dari sejarah yang ditulis. Dengan demikian tulisan seorang sejarawan adalah hasil dari sebuah penyelidikan ilmiah dan jauh dari kecenderungan subjektif.
Ketika orang membaca Kitab Suci, sejarah dalam pengertian seperti itu tidak dapat ditemukan. Hal-hal yang dianggap penting dalam sejarah modern, seperti nama tokoh yang berperan dan tahun terjadinya peristiwa, seringkali tidak ditulis. Siapa nama Firaun yang berkuasa di Mesir ketika orang Ibrani tinggal di negeri itu sebagai budak? Tahun berapa perbudakan itu terjadi dan tahun berapa mereka melarikan diri dari negeri itu?

Sejarah Alkitabiah ditulis untuk menunjukkan bagaimana Allah berperan dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang dialami oleh orang Israel. Para penulis Kitab Suci tidak bingung mencari bukti-bukti untuk menunjukkan bagaimana sejarah yang ditulisnya itu sungguh terjadi. Sejarah alkitabiah memang berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau yang dialami oleh Bangsa Israel. Tetapi, ditulis sedemikian rupa sehingga menjadi jelas bagaimana Allah berkarya dalam peristiwa tersebut.

2. NOVEL RELIGIUS

Ada empat Kitab dalam kelompok Kitab Sejarah yang berupa Novel, yakni Rut, Tobit, Yudit dan Ester. Dalam empat Kitab ini penulis menggunakan jenis sastra Novel religius untuk menyampaikan ajaran dan pendidikan iman. Para penulis Kitab-Kitab ini memang tidak bermaksud menyusun laporan historis, tetapi menyampaikan ajaran iman dalam kemasan cerita. Barangkali memang ada singgungan sejarah, tetapi rupanya nama raja, kota, dll, dipergunakan oleh penulis agar kisahnya menjadi lebih hidup dan menarik.

3. EPOS

Epos adalah kisah mengenai tokoh yang sungguh hidup di masa lampau, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur imajinatif mengenai tokoh tersebut. Unsur-unsur tersebut ditambahkan untuk menunjukkan kehebatan sang tokoh dan untuk mengungkapkan kekaguman terhadapnya, walaupun tidak jelas siapa yang menambahkannya. Epos diceritakan secara lisan di kalangan rakyat, sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa rakyat.
Dalam Perjanjian Lama dapat ditemukan banyak epos. Misalnya: Musa, dan Keluaran dari Mesir, Yosua, Hakim-hakim, Elia, dan Elisa. Tokoh-tokoh ini hidup di masa lampau. Cerita tentang tokoh-tokoh tersebut dalam Kitab Suci penuh dengan mukjizat. Hal ini menunjukkan jika mereka adalah pilihan Allah dan Allah bekerja melalui mereka. Epos diceritakan kepada orang-orang Israel supaya mereka tetap percaya pada Tuhan.

4. PUISI ATAU SYAIR

Dalam Kitab Kebijaksanaan, Kitab Para Nabi, dan Mazmur banyak menggunakan puisi sebagai jenis sastra. Dalam Perjanjian Lama tampak bahwa puisi merupakan ungkapan hati yang secara spontan lahir dalam berbagai kesempatan (berkabung, pesta, dsb) dan diungkapkan dalam kata. Sebagaimana layaknya puisi, puisi dalam Kitab Suci menggunakan banyak kiasan atau perbandingan yang diambil dari dunia dan zaman di mana puisi itu lahir.

5. HUKUM

Hukum-hukumyang ada dalam Kitab Suci semuanya terdapat dalam Kitab Taurat. Hukum dalam Taurat dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni kalimat-kalimat pendek, tegas, dan resmi yang disertai dengan ancaman hukuman terhadap mereka yang melanggar dan perintah atau anjuran untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Silvester Detianus Gea
Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi (Sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik).
Tulisan yang sama pernah diposting oleh penulis di website https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/mempergunakan-bentuk-sastra-dalam-kitab-suci/