Benarkah Konsili Nicea Mengangkat Yesus Sebagai Tuhan ?

Sumber: https://pixabay.com


Benarkah Konsili Nicea Mengangkat Yesus Sebagai Tuhan ?

Perdebatan tentang ‘Yesus Kristus” agaknya tidak pernah usai, mungkin sampai ia datang kembali. Adapun yang sering diperdebatkan adalah seputar ‘ketuhanan’ atau ‘keilahian Yesus’. Apakah Yesus sungguh-sungguh Ilahi/Tuhan atau Yesus pernah diangkat menjadi Tuhan dalam konsili?. Tidak dapat dipungkiri banyak pendapat yang ‘menuduh’ bahwa Yesus diangkat menjadi Tuhan dalam Konsili Nicea (325). Namun secara historis ‘tuduhan’ tersebut tidak benar dan tidak pernah terjadi. Konsili Ekumenis di Nicea tahun 325 diadakan oleh Gereja universal untuk menanggapi ajaran sesat Arius, seorang pastor dari Gereja Alexandria, Mesir (319). Arius berupaya merasionalisasikan misteri tentang Allah Tritunggal. Arius tidak dapat menerima bahwa Kristus, Sang Putra Allah berasal dari Allah Bapa, dan sehakekat dengan Bapa. Oleh sebab itu, ia mengajarkan bahwa karena Yesus ‘berasal’ dari Bapa, maka Yesus adalah ciptaan yang paling tinggi. Arius tidak mengerti bahwa Pribadi Yesus terdiri dari dua kodrat, yakni kodrat Allah dan kodrat manusia.

Adapun ajaran-ajaran Arius antara lain jiwa dari Kristus yang sudah ada sebelumnya (super archangel) mengambil tempat jiwa manusia dalam kemanusiaan Yesus, Kristus tidak dapat memahami Allah Bapa, Tuhan bukan Trinitas secara kodrat, Kristus tidak sama-sama kekal seperti Bapa melainkan mempunyai awal, Kristus bukan Putera Allah secara kodrati, melainkan Putera angkat, Kristus tidak sehakekat dengan Bapa, Kristus adalah ciptaan, yang diciptakan dari sesuatu yang tidak ada, berupa kodrat malaikat (super archangel), yang tidak sehakekat dengan Bapa, Kristus tidak tanpa cela, tetapi dapat secara kodrati berdosa, Allah Bapa secara tak terbatas lebih mulia dari pada Kristus, dan Kristus diciptakan dengan kehendak bebas Allah Bapa. Arius mengutip Yoh. 1:14 “Firman itu menjadi manusia…” untuk menyimpulkan bahwa Firman hanya menjelma menjadi daging, sementara jiwanya tidak. Oleh sebab itu Arius meyakini bahwa Kristus adalah sungguh-sungguh Allah, tetapi bukan sungguh-sungguh manusia, karena jiwanya bukan jiwa manusia. Ajaran serupa dapat ditemukan pada ajaran sesat Apollinaris (300-390).

Santo Aleksander, Patriarkh Alexandria menanggapi ajaran Arius yang memang masuk dalam wilayahnya. Santo Aleksander mengadakan Konsili Alexandria (sekitar 321) yang dihadiri oleh sekitar 100 uskup yang berasal dari Mesir, Lybia. Konsili Alexandria mengecam ajaran Arius, namun Arius mempunyai pendukung baik dadri pemerintahan maupun dari beberapa orang pejabat Gereja. Pendukung Arius yang berasal dari pejabat Gereja adalah Eusebius, Uskup Kaisarea, Palestina dan Uskup Eusebius dari Nikomedia, yang menjadi pemimpin Arian sekaligus pelindung Arius.

Arius yang telah diekskomunikasi oleh Konsili Alexandria pergi ke Palestina dan Nikomedia. Kemudian, St. Aleksander mengeluarkan surat berjudul “Epistola Encyclica”, yang ditanggapi oleh Arius sehingga menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Kegaduhan tersebut diperparah dengan pertikaian Kaisar Konstatin dan Licinius (322-323). Pada saat Kaisar Konstantin menjadi penguasa, ia menginginkan agar wilayah pemerintahannya damai. Oleh sebab itu ia menulis sepucuk surat untuk St. Aleksander dan Arius. Maksud dari surat tersebut agar St. Aleksander dan Arius secepatnya membuat persetujuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi melalui Konsili Ekumenis. Setelah itu, Kaisar Konstantin menulis surat undangan untuk para uskup supaya datang ke Nicea. Oleh sebab itu para uskup dari Mesir, Persia, Asia, Syria, Yunani, Thrace dan lain sebagainya datang menghadiri Konsili yang diadakan di Nicea. Kemungkinan secara historis Konsili tersebut diprakarsai oleh Kaisar Konstantin dan Paus Sylvester I. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya uskup yang hadir dalam konsili. Selain itu Kanon ke-20 yang membahas tentang ketentuan Gerejawi menunjukkan bahwa Kaisar Konstantin dan Paus Sylvester I bertindak dalam persetujuan tentang Konsili yang diadakan di Nicea.

Konsili Nicea dipimpin oleh pihak otoritas Gereja, yakni Hosius dari Kordova, Vitus dan Vincentius (perwakilan Paus), Patriarkh Aleksander dari Alexandria dan Eustathius dari Antiokhia. Sementara itu, Kaisar Konstantin hadir dalam setiap sesi-sesi Konsili sebagai tuan rumah Nicea. Adapun Konsili Nicea dihadiri sekitar 300 uskup untuk meluruskan ajaran sesat Arius.[1] Ajaran Arius dikecam dan dibuat pernyataan Credo untuk menegaskan kembali ajaran para rasul tentang Kristus yang ‘sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.’ Ketika penandatangan tentang ajaran ini, hampir semua uskup setuju. Hanya ada 17 orang uskup yang enggan bersuara. Meskipun demikian selain Arius, ada 2 orang uskup yang menolak untuk menandatangani teks Syahadat Nicea yakni Theonas dari Marmarica dan Secundus dari Ptolemais. Hasil Konsili Nicea mencakup pernyataan iman dari ke 318 Bapa Gereja dan ke 20 kanon yang ditetapkan. Selain itu, ada surat kepada umat di Mesir dan kecaman terhadap Arius, Theonas dari Marmarica dan Secundus dari Ptolemais

Umat non-Kristen seringkali membuat tuduhan tanpa dasar bahwa Konsili Nicea (325) ‘menobatkan atau mengangkat Yesus sebagai Tuhan.’. Salah satu contoh tuduhan tersebut dapat kita temukan dalam buku Dan Brown yang berjudul Da Vinci Code yang mengatakan bahwa sebelum Konsili Nicea Yesus dianggap sebagai nabi, dan baru diangkat menjadi ‘Putra Allah’ oleh Konsili Nicea, yang diperoleh melalui voting. Namun tuduhan tersebut tidak benar atau salah besar. Konsili Nicea sama sekali tidak menobatkan atau mengangkat Yesus sebagai Tuhan. Konsili Nicea diadakan untuk meluruskan ajaran sesat Arianism dan menegaskan iman Gereja yang telah diwariskan oleh para rasul yakni bahwa Kristus sehakekat dengan Bapa. Kini, umat mengenal iman Gereja tersebut sebagai ‘Syahadat Para Rasul’ yang mencantumkan pokok-pokok iman dari para rasul. Selain itu, ajaran tentang Trinitas telah ada sejak zaman Para Rasul, meskipun kata ‘Trinitas’ tidak ditulis secara eksplisit dalam Kitab Suci. Bahkan Bapa Gereja sebelum Konsili Nicea (325) telah mengajarkan tentang Trinitas.[2]

St. Athanasius dari Alexandria (296-373) adalah pembela ulung iman Gereja yang telah ditegaskan dalam Konsili Nicea. St. Athanasius mengajarkan tentang homoousios yang berbicara tentang substansi yang sama dan homoiousios yang berbicara tentang substansi yang serupa.[3] Salah satu ajaran St. Athanasius yang terkenal adalah ‘kalau Kristus mempunyai awal mula, maka artinya ada saat bahwa Allah Bapa bukan Allah Bapa, dan di mana Allah Bapa tidak punya Sabda ataupun Kebijaksanaan….menurutnya hal ini bertentangan dengan Wahyu Allah dan akal sehat. “Sebab jika Allah Bapa itu kekal, tak berawal dan tak berakhir maka Sabda-Nya dan Kebijaksanaan-Nya pasti juga kekal, tak berawal dan berakhir.[4] 

Berikut adalah pernyataan Iman Konsili Nicea:

Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal, yang dari Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa; segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, Ia turun dari surge dan menjelma menjadi manusia, menderita dan bangkit pada hari ketiga, Ia naik ke surga, Ia akan datang kembali untuk mengadili orang hidup dan yang mati. Dan [aku percaya akan] Roh Kudus.[5]

Dan barangsiapa yang berkata bahwa ada waktunya ketika Putera Allah tidak ada, atau sebelum Ia lahir Ia tidak ada, atau Ia diciptakan dari benda-benda yang tadinya tidak ada, atau bahwa Ia berasal dari hakikat yang berbeda dengan Bapa, atau bahwa Ia adalah makhluk ciptaan, atau Ia dapat berubah atau bertobat-semua yang serupa itu, Gereja Katolik dan Apostolik meng-anathema mereka.[6]

Referensi:
Kristiyanto, Eddy. 2003. Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.


[1] Menurut catatan St. Athanasius jumlah uskup yang hadir sekitar 300 orang. Ia menyebut 318 orang dalam suratnya Ad Afros. Sementara itu, Eusebius menyebut jumlah uskup yang hadir 250 orang yang mayoritas berasal dari wilayah timur.
[2] Baca http://www.katolisitas.org/ajaran-bapa-gereja-sebelum-abad-ke-4-tentang-trinitas/.
[3] Eddy Kristiyanto, OFM, Visi Historis Komprehensif (Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 51. 
[4] Lihat Nicene and Post Nicene Fathers [NPNF] 4:311.
[5] Lihat Puji Syukur No. 2, merupakan hasil dari Konsili Nicea (325) dan Konsili Konstantinopel (381).
[6] Anathema artinya bahwa sekelompok orang atau seseorang yang mengajarkan ajaran yang menyimpang, dinyatakan sebagai kelompok atau orang-orang yang berada di luar Gereja.

Benarkah Ajaran Tritunggal Buat oleh Konsili Nicea?

Sumber: https://pixabay.com


Benarkah Ajaran Tritunggal Buat oleh Konsili Nicea?



Banyak orang non-Kristen menuduh bahwa ajaran Trinitas dibuat atau diajarkan oleh Konsili Nicea. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa ajaran Kristiani tentang AllahTritunggal baru ada setelah Konsili Nicea (325). Namun pandangan tersebut keliru dan ahistori, karena ajaran tentang Allah Tritunggal dapat ditemukan dalam berbagai ayat Kitab Suci. Selain itu, Para Bapa Gereja sebelum Konsili Nicea (sebelum abad ke-4) juga mengajarkan tentang Allah Tritunggal. Berikut beberapa kutipan Para Bapa Gereja tentang Allah Tritunggal:

Pertama, St. Polycarpus (69-155), sebelum ia dibunuh sebagai martir, ia berkata “….Aku memuji Engkau (Allah Bapa),…aku memuliakan Engkau, melalui Imam Agung yang ilahi dan surgawi, Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih, melalui Dia dan bersama Dia, dan Roh Kudus, kemuliaan bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad, Amin.”[1]

Kedua, St. Athenagoras (133-190), “Sebab…kita mengakui satu Tuhan, dan PuteraNya yang adalah Sabda-Nya, dan Roh Kudus yang bersatu dalam satu kesatuan,-Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus.”[2]

[For, as we acknowledge a God, and a Son his Logos, and a Holy Spirit, united in essence — the Father, the Son, the Spirit, because the Son is the Intelligence, Reason, Wisdom of the Father, and the Spirit an effluence, as light from fire; so also do we apprehend the existence of other powers, which exercise dominion about matter, and by means of it, and one in particular, which is hostile to God:…]

Ketiga, St. Aristides sang filsuf (90-150 AD), “Orang-orang Kristen, adalah mereka yang, di atas segala bangsa di dunia, telah menemukan kebenaran, sebab mereka mengenali Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, di dalam Putera-Nya yang Tunggal dan di dalam Roh Kudus.”[3]

Keempat, St. Teofilus dari Antiokhia (180), “Demikianlah juga ketiga hari sebelum diciptakannya terang (pada hari ke-empat), adalah lambang dari Trinitas, Allah, dan Firman-Nya  dan kebijaksanaan-Nya.”[4]

Kelima, St. Clement dari Alexandria (150-215), “Sang Sabda, Kristus, adalah penyebab, dari asal mula kita-karena Ia ada di dalam Allah-dan penyebab dari kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda yang sama ini telah menjelma menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan manusia, dan sumber dari semua yang baik yang ada pada kita.”[5]

[The world is essentially dependent on God, and this dependence implies (1) that God is the Creator of the world — the producer of its whole substance; and (2) that its continuance in being at every moment is due to His sustaining power. The Trinity is the term employed to signify the central doctrine of the Christian religion — the truth that in the unity of the Godhead there are Three truly distinct Persons: the Father, the Son, and the Holy Spirit]
Berdasarkan data di atas, kita mengetahui bahwa ajaran Trinitas bukanlah buatan Konsili Nicea. Ajaran Trinitas berasal dari Alkitab dan ajaran yang diwariskan oleh para rasul.


[2] St. Athenagoras, A Plea for Christians, Chap. 24, lihat http://www.newadvent.org/fathers/0205.htm.
[3] Aristides, Apology 16 lihat http://www.newadvent.org/fathers/1012.htm.
[4] St. Theophilus of Antioch,  To Autolycus II lihat http://www.newadvent.org/fathers/02041.htm.
[5] St. Clement, Exhortation to the Greeks lihat http://www.newadvent.org/cathen/06608a.htm.