Melania Trump Seorang Katolik Sejati


 
Melania Trump
Melania Trump lahir pada 26 April 1970 di Novo Mesto, Slovenia. Ia dibaptis dengan nama Melania Knavs. Ayahnya bernama Viktor Knavs dan ibunya bernama Amalija. Ia lahir dalam keluarga penganut agama Katolik. Meskipun demikian, ayahnya melarang Melani dan adeknya, Ines menerima Sakramen Baptis dan Komuni Pertama. Hal itu dilakukan oleh ayahnya karena masih memegang prinsip ateisme Marixs-Leninis. Tindakan sang ayah tentu saja mendapat pertentangan dari keluarga besarnya.


Meskipun banyak tantangan, Wanita 47 tahun ini tetap dibaptis sebagai seorang Katolik. Sesaat sebelum menikah di Gereja Episcopal Church of Bethesda by the Sea, ia menerima komuni pertama, tepat pada perayaan malam Natal. Melania menikah dengan Donald Trump dan dikaruniai seorang putra bernama Barron, yang juga mengikuti ibunya sebagai seorang Katolik. 


Seperti diketahui, kabar tentang agama Melania menjadi sorotan media, terutama saat masa kampanye pemilihan presiden tahun lalu. Pada bulan Februari 2017, Melania berpidato di depan banyak orang di Melbourne, Florida. Banyak orang terkejut karena ia memperkenalkan suaminya sambil mengucapkan doa Bapa Kami versi Katolik. Padahal, Donald Trump seorang penganut Protestan Presbiterian. Meskipun demikian dalam berbagai wawancara  Donald Trump mengaku sebagai seorang Kristen sejati. Hal ini mengonfirmasi tentang agama Melania Trump terutama menjawab pertanyaan warga Amerika. Selain itu, Melani memberi warna baru di Gedung Putih, Amerika. Ia menjadi wanita Katolik kedua yang menghuni Gedung Putih setelah setelah JacquelineKennedy Onassis, istri dari mantan Presiden John F. Kennedy. John F. Kennedy merupakan presiden pertama Amerika Serikat yang beragama Katolik. Presiden dengan inisial JFK tersebut meninggal secara tragis pada bulan November 1963.









Melania Trump, dikenal sebagai ibu negara yang selalu menghindar dari sorotan media. Seperti diketahui, belum lama ini, Melania melakukan perjalanan ke Afrika. Ia mengunjungi Afrika untuk kampanye “#BeBest”, untuk mempromosikan keamanan dan kemakmuran ekonomi di negara- negara Afrika. Selain itu, ia berbicara tentang pendidikan ketika mengunjungi Ghana, Malawi, Kenya, dan Mesir.
 
Referensi
2.      http://www.hidupkatolik.com/2018/11/30/29576/melania-trump-setia-katolik/?fbclid=IwAR2VUPIuh3z5Y5IRBx4g2_PO4yg-EZJBg634TYG-gB4Pdn7adYAgTbMHSpg

Benarkah Gereja Katolik Mengubah 10 Perintah Allah?


Benarkah Gereja Katolik Mengubah 10 Perintah Allah?

Bagi Gereja Katolik penghinaan, fitnah dan tuduhan tidak benar sudah menjadi hal biasa. Sejak abad pertama, Gereja Katolik telah menjadi bulan-bulanan para bidat. Meskipun Gereja Katolik menghadapi tuduhan bertubi-tubi namun tetap kokoh hingga abad ke 21 ini. Salah satu tuduhan konyol dan tidak berdasar aliran dan sekte non-Katolik adalah Gereja  Katolik mengubah sepuluh perintah Allah. Bagaimana kita menjawab tuduhan konyol dan dangkal tersebut? Berikut tim jalapress menjelaskan secara sederhana.
Pertama, Ayat dan Bab dalam Alkitab diberikan kemudian oleh Bapa Gereja dan Para Uskup. Demikian pula penomoran 10 perintah Allah tidak ada dalam Alkitab. Penomoran yang dipakai saat ini berasal dari dua orang Bapa Gereja yaitu St. Agustinus dan Origen. Secara sederhana kita mengetahui bahwa penomoran Kitab Suci baru ada pada abad pertengahan. Oleh sebab itu Gereja Katolik mengikuti salah satu pengelompokkan atau penomoran dari St. Agustinus. Tidak ada satupun ayat yagn dihilangkan oleh Gereja Katolik.
Kedua, St. Agustinus dikenal sebagai Doctor of the Church atau Pujangga Gereja. Gereja Katolik mengikuti pengelompokkan atau penomoran sepuluh perintah Allah menurut St. Agustinus. Berikut sepuluh perintah Allah menurut pengelompokkan St. Agustinus:
  1. Akulah Tuhan, Allahmu: Jangan ada allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit dan di bumi, dan jangan sujud menyembah kepadanya (ay. 2, 3, 4, 5)
  2. Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat (ay.7)
  3. Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat/ hari Tuhan (ay.8)
  4. Hormatilah ayahmu dan ibumu (ay.12)
  5. Jangan membunuh (ay.13)
  6. Jangan berzinah (ay.14)
  7. Jangan mencuri (ay.15)
  8. Jangan mengungkapkan saksi dusta tentang sesamamu (ay.16)
  9. Jangan mengingini isteri sesamamu (ay.17 a)
  10. Jangan mengingini hak milik sesamamu (ay. 17 b)
St. Agustinus memisahkan mengingini isteri sesame dan hak milik karena berpandangan bahwa manusia atau perempuan lebih berharga daripada harta milik/hak milik. Perempuan atau isteri perlu diperlakukan sebagai citra Allah yang dihormati sebagai manusia sama dengan laki-laki.
Ketiga, sepuluh perintah Allah dalam Puji Syukur.[1]
    1. Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepadaKu saja, dan cintailah Aku lebih dari segala Sesuatu
    2. Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat
    3. Kuduskanlah hari Tuhan
    4. Hormatilah ibu-bapamu
    5. Jangan membunuh
    6. Jangan berzinah
    7. Jangan mencuri
    8. Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu
    9. Jangan mengingini istri sesamamu
    10. Jangan mengingini milik sesamu secara tidak adil
Sekilas sepuluh perintah Allah dalam Puji Syukur berbeda dengan point pertama. Namun perlu kita ketahui bahwa Kitab Suci juga perlu ditafsirkan. Puji Syukur menafsirkan isi dari ayat yang ada pada poin pertama dan memperluas makna dari berhala. Karena berhala bukan hanya patung yang dituhankan melainkan juga hal-hal duniawi yang mengikat manusia seperti uang, nafsu dan lain sebagainya. Oleh sebab itu tidak ada perbedaan makna antara sepuluh perintah Allah pada poin pertama dengan sepuluh perintah Allah dalam Puji Syukur.
Keempat, Origen dikenal sebagai Bapa Gereja yang pada suatu waktu pernah mengajarkan doktrin yang tidak sesuai dengan Kitab Suci. Salah satunya ia mengajarkan bahwa jiwa-jiwa yang berada di nearakan pada akhirnya masuk surga. Berikut pengelompokkan sepuluh perintah Allah menurut Origen:
  1. Akulah Tuhan, Allahmu yang membawa engkau keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan (ay. 2,3)
  2. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit, di bumi dan di dalam bumi. (ay. 4)
  3. Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan (ay.7)
  4. Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat/ hari Tuhan (ay.8)
  5. Hormatilah ayahmu dan ibumu (ay.12)
  6. Jangan membunuh (ay.13)
  7. Jangan berzinah (ay.14)
  8. Jangan mencuri (ay.15)
  9. Jangan mengungkapkan saksi dusta tentang sesamamu (ay.16)
  10. Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini isterinya, atau apapun yang menjadi milik sesamamu (ay. 17).
Keempat, Dengan demikian kita mengetahui bahwa Gereja Katolik megnikuti pengelompokkan yang diajarkan oleh St. Agustinus, sementara Gereja-gereja Timur dan Protestan mengikuti pengelompokkan Origen. 

Penulis: Silvester Detianus Gea







[1] Sumber : Puji Syukur no 1
Nihil Obstat : Dr. A.M Sutrisnaatmaka, M.S.F
Imprimatur : BI Pujaraharja

Resensi Buku: Mengenal Budaya dan Kearifan Lokal Suku Nias


Buku dengan judul “Mengenal Budaya dan Kearifan Lokal Suku Nias” mengangkat banyak hal tentang budaya dan kearifan lokal suku Nias.  Pada bagian pertama buku ini, memuat gambaran umum tentang Kepulauan Nias, secuil tentang keberadaan suku Nias, cerita tentang asal-muasal nenek moyang suku Nias, juga tentang pandangan dari para Arkeolog dan Antropolog. Pada bagian kedua buku ini, lebih menggambarkan mengenai kearifan lokal masyakat suku Nias, seperti tentang tata cara pernikahan suku Nias, mulai dari mencari jodoh, pertunangan, penentuan jujuran, hingga legenda penciptaan manusia (Fomböi Böröta Niha) dan lain sebagainya. Semua itu tentu diulas dalam perspektif adat istiadat masyarakat suku Nias. Pada bagian ini ada klarifikasi atau bantahan terhadap tuduhan orang-orang tidak bertanggungjawab tentang adat istiadat pernikahan suku Nias. Pada bagian ketiga, memuat berbagai pepatah, baik ‘pepatah besar’ (Sebua) yang jumlahnya kurang lebih sebanyak 256 pepatah, maupun ‘pepatah kecil’ (Side’ide) yang jumlahnya mencapai 64 pepatah. Selain itu, juga dtampilkan berbagai informasi terkait obyek wisata, menu makanan dan minuman khas Nias, berbagai jenis perabotan rumah tangga tradisional, lengkap dengan gambar-gambar yang dicantumkan dalam galeri foto pada bagian akhir buku ini.

Buku ini digarap oleh Silvester Detianus Gea dan H. Lisman B.S. Zebua. Kata sambutan: Bruno A. Richard Telaumbanua, ST. Editor dan Kata Pengantar: Dr. Bernadus Barat Daya, S.H., M.H. Desain Cover: Edizaro Waruwu. Diterbitkan oleh Penerbit YAKOMINDO. Copyright©2018, dengan ISBN dari Perpustakaan Nasional RI Nomor: 978-602-60620-4-8. Jumlah halaman: 187 (15 x 23 cm). Buku ini layak dibaca oleh khalayak, terutama bagi warga masyarakat suku Nias. Keterpanggilan untuk mengenal budaya dan kearifan-kearifan lokal suku Nias, tentu perlu menjadi ‘kebutuhan’ dan keniscayaan bagi warga suku Nias. Demikian pula, berusaha mengenal adat istiadat suku Nias, sama dengan perwujudan rasa cinta akan diri sendiri, leluhur dan moyang serta tanö niha. Ya'ahowu!



RESENSI BUKU: “Mengenal Tokoh Katolik Indonesia: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional, Hingga Pejabat Negara”

RESENSI BUKU: “Mengenal Tokoh Katolik Indonesia: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional, Hingga Pejabat Negara” (Foto/cahayakristus7)
Dalam catatan sejarah perjuangan bangsa, banyak tokoh yang (beragama Katolik) terlibat aktif dalam memperjuangkan lahirnya negara bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh Katolik yang terlibat itu, tersebar di berbagai wilayah nusantara seperti, di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Timor, Flores, dan sebagaianya. Sebagian dari mereka telah “diakui” oleh Negara dengan memberikan gelar tanda ‘Pahlawan’, tetapi sebagian besar lainnya belum dan bahkan telah dilupakan.
Setelah RI merdeka, ada pula tokoh-tokoh Katolik yang dipercayakan mengurus Negara dalam Kabinet. Baik pada zaman presiden Soekarno, Soeharto, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo B Yudoyono hingga Joko Widodo. Total jumlah posisi menteri babinet dari era Soekarno hingga era Joko Widodo dalam kurun waktu 72 tahun (1945-2017) berjumlah 1.434 posisi jabatan di kabinet. Dari jumlah tersebut, ada 58 posisi jabatan yang diduduki oleh tokoh Katolik. Ke-58 posisi jabatan itu ditempati (dijabat) oleh 25 orang (1,82%) tokoh Katolik. Dengan rincian; zaman Soekarno (10 orang), zaman Soeharto (6 orang), zaman Habibie (nol), zaman Abdurahman Wahid (1 orang), zaman Megawati Soekarnoputri (2 orang), zaman Susilo B Yudoyono (3 orang) dan zaman Joko Widodo (3 orang).
Kami sengaja membuat buku ini dengan banyak pertimbangan, diantaranya; bahwa kenyataan hingga saat ini, belum ada buku khusus yang menghimpun profil para tokoh Katolik dalam satu buku. Kalaupun ada sejumlah buku biografi dan otobiografi para tokoh yang pernah ditulis sebelumnya, namun buku-buku tersebut memuat secara detail tentang satu tokoh saja dan bukan merupakan kumpulan (antologi) riwayat dari banyak tokoh dalam satu buku.
Buku dengan judul “MENGENAL TOKOH KATOLIK INDONESIA: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional, Hingga Pejabat Negara” yang kami tulis ini, merupakan analékta atau semacam bunga-rampai beberapa profil dari sejumlah tokoh tsb, baik para tokoh yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, maupun para tokoh yang pernah duduk sebagai pejabat negara dalam pemerintahan RI.
Saripati yang menjadi latar penulisan buku ini ialah untuk memperkenalkan riwayat hidup singkat dan rekam jejak dari para tokoh tsb, kepada masyarakat publik secara lebih luas. Selain itu, buku ini juga dapat dijadikan referensi bagi siapa saja untuk mengenal lebih jelas tentang peran dan kedudukan para tokoh tersebut pada zamannya masing-masing. Dalam buku ini mengulas juga rekam jejak para tokoh seperti; Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata, Marsekal Muda (Anumerta), Agustinus Adisucipto, Wage Rudolf Soepratman, Marsekal Pertama TNI (Anumerta) Tjilik Riwut, Laksamana Muda (Anumerta), Yosaphat Sudarso, Robert Wolter Monginsidi, Ignasius Slamet Riyadi, Karel Sadsuitubun, Franciscus Georgius Josephus Van Lith, SJ.
Selain itu, beberapa tokoh yang pernah menjabat sebagai menteri kabinet RI mulai dari era Soekarno (1945-1967), seperti; F.X. Soeprijadi, Mr. Ignasius Joseph Kasimo Hendrowahyono, Ir. M.J. Suwarto, F. S. Haryadi, Prof. Mr. A. Suhardi, A. B. de Rozari, Drs. Franciscus Xaverius Seda, Prof. Dr. Ir. Kanjeng Pangeran Haryo P.K. Haryasudirja, Prof. Dr. Mr. Munajadjat Danusaputro dan Mr. Oei Tjoe Tat, SH. Era Soeharto (12 Maret 1967-21 Mei 1998), seperti; Drs. Franciscus Xaverius Seda, Dr. Cosmas Batubara, Prof. Dr. BS. Mulyana, Jenderal TNI (Pur) Leonardus Benyamin Moerdani, Prof. Dr. Johannes Baptista Sumarlin dan Prof. Dr. J. Soedrajad Djiwandono. Dilanjutkan dengan pd era Reformasi seperti; Dr. Alexander Sonny Keraf, Yakob Nuwa Wea, Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro, M.A., M.Sc, Dr. Mari Elka Pangestu, Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, Ignasius Djonan, Franciscus M Agustinus Sibarani, dan Dr. Thomas Trikasih Lembong. Selain para tokoh itu, juga diperkenalkan beberapa organisasi (Parpol dan Ormas) yang berbasis Katolik seperti; Partai Katolik, PMKRI, Pemuda Katolik, WKRI dan ISKA.
Buku ini digarap oleh Bernadus Barat Daya & Silvester Detianus Gea dengan tim editor: Ign. Kikin P Tarigan & Cheluz Pahun. Sambutan pengantar, ditulis oleh Dirjen Bimas Katolik RI. Sedangkan Kata Pengantar dibuat oleh Dr. J. Kristiadi (Direktur CSIS). Prolog dan Epilognya ditulis oleh Sekretaris Eksekutif Komisi HAK-KWI dan Ketua PP-PMKRI. Diterbitkan oleh Penerbit:YAKOMINDO Copyright©2017, dengan ISBN dari Perpustakaan Nasional RI Nomor: 978-602-60620-1-7. Jumlah halaman: 362 (15 x 23 cm).
Apa yang ditulis dalam buku ini, memang bukanlah sebuah rekam jejak lengkap dan sempurna dari para tokoh, tetapi penggalan penting yang layak diketahui pembaca. Dengan menerbitkan buku ini, rujukan publik atas diri masing-masing tokoh akan melengkapi khazanah perbendaharaan sumber-sumber data tentang para tokoh bersangkutan. Upaya ‘menuliskan’ sejarah pada umumnya atau profil pelaku sejarah itu pada khusunya, bukan saja sekadar untuk mendokumentasikannya, tetapi lebih dari itu sebagai salah satu cara ‘pelurusan’ dari upaya orang-orang tertentu yang entah sengaja atau tidak, telah menulisnya secara salah dan serampangan terhadap fakta atau pun identitas pelaku sejarah itu.
Menimba dan mempelajari contoh hidup dan kearifan tokoh masa silam, juga sama dengan kita belajar untuk mempersiapkan diri dalam kiprah kehidupan berbangsa di masa datang. Terutama bagaimana meneruskan gelora semangat Katolik 100% dan Indonesia 100%.
“Pro Ecclesia Et Patria”




Mengapa umat Kristen non-Katolik tidak boleh menerima komuni dalam Ekaristi?

Mengapa umat Kristen non-Katolik tidak boleh menerima komuni dalam Ekaristi?. (Foto/Pixabay.com).

Tidak asing bagi orang Katolik bahwa syarat seseorang agar boleh menerima komuni harus dibaptis secara Katolik dan telah menerima komuni pertama. Tidak dapat dipungkiri ada perayaan-perayaan tertentu yang juga dihadiri oleh umat non-Katolik. Namun mereka tidak boleh menerima komuni pada perayaan Ekaristi. Mengapa?. Selain alasan baptisan dan telah menerima komuni pertama, masih ada alasan-alasan lain mengapa Kristen non-Katolik tidak boleh menerima komuni pada perayaan Ekaristi.


Kedua, Ketika Kristen non-Katolik memisahkan diri dari Gereja Katolik, maka Sakramen Tahbisan atau Imamat tercabut dari padanya. Dengan demikian persekutuan-persekutuan Gereja Reformasi telah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan penuh (bdk. KGK, 1400, UR 22). Walaupun Kristen non-Katolik seringkali mengadakan perjamuan Kudus, namun makna dan nilai yang terkandung di dalamnya hanyalah lambang. Oleh sebab itu, seluruh umat beriman yang menerima Tubuh dan Darah Kristus mesti percaya dogma yang sama, yaitu kehadiran Yesus secara nyata dalam setiap perayaan Ekaristi. 

Ketiga, Gereja Katolik meyakini bahwa Sakramen Ekaristi menuntuk orang pada keselamatan. Oleh sebab itu, dalam keadaan darurat atau mendesak komuni dapat diterima oleh umat Kristen non-Katolik. Namun ia harus yakin bahwa hosti dan anggur yang telah dikonsekrir sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus. Hal itu dilakukan jika berasal dari niat mereka untuk  meminta atau memohon pastor untuk memberikan Tubuh dan darah Kristus kepada mereka (Bdk. KGK, 1401, CIC, can. 844 -4).
Keempat, Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1396. Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Karena keagungan misteri ini, santo Augustinus berseru: “O, Sakramen kasih sayang, tanda kesatuan, ikatan cinta” (ev. Jo 26,6,13) Bdk. SC 47.. Dengan demikian orang merasa lebih sedih lagi karena perpecahan Gereja yang memutuskan keikutsertaan bersama pada meja Tuhan; dengan demikian lebih mendesaklah doa-doa kepada Tuhan, supaya saat kesatuan sempurna semua orang yang percaya kepada-Nya, pulih kembali (KGK, 1398)

Kelima, Kitab Hukum Kanonik (KHK) 844 – § (artikel) 1. Para pelayan Katolik menerimakan sakramen-sakramen secara licit hanya kepada orang-orang beriman Katolik, yang memang juga hanya menerimanya secara licit dari pelayan katolik, dengan tetap berlaku ketentuan § 2, § 3 dan § 4 kanon ini dan kan. 861, § 2. § 3. Pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tobat, Ekaristi dan pengurapan orang sakit kepada anggota-anggota Gereja Timur yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, jika mereka memintanya dengan sukarela dan berdisposisi baik; hal itu berlaku juga untuk anggota Gereja-gereja lain, yang menurut penilaian Takhta Apostolik, sejauh menyangkut hal sakramen-sakramen, berada dalam kedudukan yang sama dengan Gereja-gereja Timur tersebut di atas. § 4. Jika ada bahaya mati atau menurut penilaian Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup ada keperluan berat lain yang mendesak, pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tersebut juga kepada orang-orang kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, dan tidak dapat menghadap pelayan jemaatnya sendiri serta secara sukarela memintanya, asalkan mengenai sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman Katolik dan berdisposisi baik. § 5. Untuk kasus-kasus yang disebut dalam § 2, § 3 dan § 4, Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup jangan mengeluarkan norma-norma umum, kecuali setelah mengadakan konsultasi dengan otoritas yang berwenang, sekurang-kurangnya otoritas setempat dari Gereja atau jemaat tidak Katolik yang bersangkutan.
Kiranya dengan penjelasan sederhana di atas umat beriman dapat mengerti dan memahami mengapa umat non-Katolik tidak diperkenankan menerima komuni dalam perayaan Ekaristi. 

Penulis: Silvester Detianus Gea