Selibat dan Menikah Ajaran Yesus





Selibat dan Menikah Ajaran Yesus

Serangan-serangan kaum Fundamentalis pada hidup selibat dapat dilihat dalam berbagai bentuk -- tidak semuanya selaras satu dengan yang lainnya. Hampir semua yang disampaikan penuh dengan berbagai kesimpangsiuran.

Kekeliruan pertama dan paling mendasar adalah mereka mengira bahwa selibat merupakan dogma atau doktrin -- bagian dari iman yang sentral dan tidak dapat diubah, yang dipercayai oleh umat Katolik berasal dari Yesus dan para rasul. Dengan itu sebagian kaum Fundamentalis begitu memperhatikan referensi dari Alkitab terhadap ibu-mertua Petrus (Markus 1:30), nampaknya beranggapan bahwa, bila Katolik tahu bahwa Petrus menikah, maka mereka tidak dapat menganggap dia sebagai Paus pertama. Sekali lagi, lini waktu yang dimaksud oleh kaum Fundamentalis akan "ciptaan-ciptaan Katolik" (sebuah bentuk tulisan populer) menetapkan "keharusan selibat imamat" kepada tahun ini atau itu di dalam sejarah Gereja, mengandaikan bahwa sebelum keharusan ini Gereja bukanlah Katolik.

Kaum Fundamentalis ini seringkali terkejut bila mengetahui bahwa selibat bukanlah aturan kepada semua imam Katolik. Faktanya, untuk Katolik Ritus Timur, imam yang menikah adalah hal umum, sama layaknya dengan Kristen Ortodoks dan Oriental.

Bahkan di dalam gereja-gereja Timur, sesungguhnya, selalu ada beberapa pembatasan-pembatasan akan pernikahan dan pentahbisan. Sekalipun pria yang sudah menikah bisa menjadi imam, imam yang tidak menikah tidak boleh menikah, dan imam yang sudah menikah, bila menjadi duda, tidak boleh menikah lagi. Terlebih lagi, ada disiplin Timur kuno yang memilih para uskup dari para biarawan yang selibat, jadi semua uskup-uskup mereka tidak menikah.

Tradisi dalam Gereja Barat atau Ritus Latin adalah bagi imam-imam dan para uskup untuk mengambil kaul selibat, sebuah aturan yang sudah dikukuhkan sejak awal abad pertengahan. Akan tetapi, ada beberapa pengecualian. Sebagai contoh, ada imam-imam Ritus Latin yang menikah yang adalah mereka yang pindah dari Lutheranisme dan Epikospalisme.

Beberapa variasi-variasi dan pengecualian-pengecualian ini mengindikasikan, bahwa selibat bukanlah dogma yang tidak dapat diubah tetapi hanyalah sebuah aturan (disiplin). Fakta bahwa Petrus menikah tidak bertentangan dengan iman Katolik, karena pastor dari Gereja Katolik Maronit juga menikah.

Apakah Pernikahan itu Keharusan?

Kebingungan lain dari kaum Fundamentalis yang agak berbeda adalah anggapan bahwa selibat itu tidak alkitabiah, bahkan "tidak alami." Setiap manusia, klaimnya, harus mematuhi perintah Alkitab untuk "Beranak cuculah" (Kej 1:28); dan Paulus memerintahkan supaya "setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri" (1 Kor 7:2). Bahkan diargumentasikan bahwa selibat entah bagaimana "menyebabkan", atau paling tidak mempunyai keterkaitan dengan peningkatan insiden dari perilaku seksual yang haram atau menyimpang.

Semua ini tidak benar. Sekalipun hampir semua orang pada suatu titik dalam hidup mereka dipanggil untuk menikah, panggilan selibat sudah dengan jelas dianjurkan -- dan dipraktisikan -- oleh Yesus maupun Paulus.

Jauh dari "memerintahkan" pernikahan di dalam 1 Korintus 7, pada bab yang sama tersebut Rasul Santo Paulus nyatanya mendukung selibat bagi mereka yang mampu akan itu: "Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu." (1 Kor 7:8-9).

Hanya karena "bahaya percabulan" (7:2) itulah Paulus memberikan pengajaran mengenai setiap laki-laki dan wanita memiliki seorang pasangan dan memenuhi "kewajibannya" (7:3); dia secara spesifik menjelaskan, "Hal ini kukatakan kepadamu SEBAGAI KELONGGARAN, BUKAN SEBAGAI PERINTAH. Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu." (1 Kor. 7:6-7).

Paulus melangkah lebih jauh lagi untuk berargumen mengenai selibat lebih dari pernikahan: "...Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang... orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau menghindarkan kamu dari kesusahan itu... Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya; Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya." (7:27-34)
Kesimpulan Paulus: "Jadi orang yang kawin dengan gadisnya berbuat baik, dan orang yang tidak kawin berbuat lebih baik." (7:38).

Paulus bukanlah rasul pertama yang menyimpulkan bahwa selibat, dalam beberapa artian, "lebih baik" daripada menikah. Setelah pengajaran Yesus dalam Matius 19:12 mengenai cerai dan menikah lagi, para murid berseru, "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." (Matius 19:10). Ucapan ini memulai pengajaran Yesus akan nilai-nilai selibat "demi kerajaan":

"Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." (Matius 19:11-12).

Perhatikan bahwa selibat "demi kerajaan surga" adalah sebuah karunia, sebuah panggilan yang tidak untuk semua orang, atau bahkan kebanyakan orang, tetapi dikaruniakan kepada sebagian. Orang-orang yang lain terpanggil ke dalam pernikahan. Benar pula bahwa seringkali individu-individu yang berada dalam kedua jenis panggilan tersebut gagal dari syarat-syarat yang dibutuhkan akan status mereka, tetapi hal ini tidak mengecilkan kedua panggilan tersebut, maupun itu berarti bahwa individu yang bersangkutan sebenarnya "tidak benar-benar terpanggil" untuk panggilan tersebut. Dosa seorang imam tidak membuktikan bahwa dia seharusnya tidak pernah mengambil kaul selibat, sama halnya dosa seorang laki-laki atau perempuan yang sudah menikah membuktikan bahwa dia seharusnya tidak menikah. Hal yang mungkin bagi kita untuk gagal dalam panggilan sejati kita.

Selibat sesuatu yang alami dan alkitabiah. "Beranak cuculah" tidak mengikat kepada setiap individu; melainkan, ia adalah pedoman umum bagi umat manusia. Jika tidak, setiap laki-laki maupun wanita yang sudah masuk dalam usia menikah akan berada dalam keadaan berdosa dengan tetap melajang, dan Yesus dan Paulus akan bersalah dalam menganjurkan dosa sekaligus pula melakukannya.

Suami Dari Satu Isteri

Argumen Fundamentalis lainnya, sehubungan dengan yang terakhir, adalah bahwa pernikahan itu keharusan bagi pemimpin-pemimpin Gereja. Paulus berkata bahwa seorang uskup haruslah "suami dari satu istri," dan "seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?" (1 Tim 3:2,4-5). Ini berarti, seolah-olah mereka benar bahwa hanya seorang pria yang sudah menunjukkan kekeluargaannya layak untuk mengurus Jemaat Allah; seorang yang tidak menikah, implikasinya, belum teruji dan terbukti.

Interpretasi ini menuju kepada kekonyolan yang total. Dalam satu hal, bila "suami dari satu istri" benar-benar berarti bahwa seorang uskup harus menikah, dengan logika yang sama "disegani dan dihormati oleh anak-anaknya" berarti bahwa dia harus mempunyai anak-anak. Suami-suami yang tidak beranak (atau ayah dari seorang anak saja, karena Paulus menggunakan kata jamak) tidak masuk kualifikasi.

Faktanya, mengikuti gaya interpretasi konyol tersebut, puncaknya, karena Paulus berkata uskup-uskup harus memenuhi syarat-syarat ini (bukan akan mereka telah memenuhi syarat tersebut, atau akan kandidat-kandidat uskup yang sudah memenuhinya), juga berarti bahwa uskup yang sudah ditahbiskan yang istri maupun anak-anaknya meninggal akan menjadi tidak layak untuk pelayanan! Jelas-jelas penafsiran harafiah seperti ini harus ditolak.

Teori bahwa pemimpin-pemimpin Gereja harus menikah juga berkontradiksi dengan fakta jelas bahwa Paulus sendiri, seorang pemimpin Gereja unggul, lajang dan bahagia dalam kelajangannya. Terkecuali dia seorang munafik, dia tidak dapat memaksakan persyaratan kepada para uskup dimana dia sendiri tidak memenuhinya. Pertimbangkan pula, implikasi dari sikap positif Paulus terhadap selibat dalam 1 Korintus 7: Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi dan perhatiannya terbagi-bagi, tetapi hanya mereka yang layak untuk menjadi uskup-uskup; sedangkan mereka yang tidak menikah dan memusatkan perhatiannya kepada Tuhan, ditolak dari pelayanan!

Saran bahwa laki-laki yang tidak menikah belum teruji atau terbukti jugalah konyol. Setiap panggilan mempunyai tantangannya sendiri; laki-laki selibat harus melatih "pengendalian diri" (1 Kor 7:9); suami harus mengasihi dan berkorban demi istrinya (Ef 5:25); dan seorang ayah harus membesarkan anak-anaknya dengan baik (1 Tim 3:4). Setiap laki-laki harus memenuhi standar Rasul Paulus dalam "mengurus rumah tangganya dengan baik", sekalipun "rumah tangga" ini adalah dirinya sendiri. Bila itu seorang laki-laki selibat menemui standar yang lebih tinggi dari seorang pria berkeluarga yang terhormat.

Jelasnya, maksud dari persyaratan Rasul Paulus bahwa seorang uskup "suami dari satu istri" bukanlah bahwa dia harus mempunyai satu istri, tetapi bahwa dia harus mempunyai satu istri saja. Dinyatakan sebaliknya, Paulus berkata bahwa seorang uskup harus tidak mempunyai anak-anak yang tidak bisa diatur atau tidak disiplin (bukan dia harus mempunyai anak-anak yang harus berperilaku baik), dan tidak boleh menikah lebih dari sekali (bukan dia harus menikah).

Sejatinya, secara tepat mereka yang secara unik "memusatkan perhatian akan perkara-perkara Tuhan" (1 Kor 7:32), kepada mereka yang telah diberikan untuk "membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga" (Mat 19:12), yang secara ideal cocok untuk mengikuti langkah-langkah mereka yang telah "meninggalkan segala-galanya" demi mengikuti Kristus (bdk. Mat 19:27) -- panggilan sebagai imam kaum religi yang dikonsekrasi (para biarawan dan biarawati).

Karena itu Paulus memperingatkan Timotius, seorang uskup muda, bahwa mereka yang dipanggil menjadi "prajurit" Kristus harus menghindari "hal-hal sipil": "Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus. Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya." (2 Tim 2:3-4). Dalam terang kata-kata Paulus pada 1 Korintus 7 mengenai keuntungan dari selibat, pernikahan dan keluarga jelas-jelas menonjol dalam kaitannya dengan "hal-hal sipil".

Sebuah contoh dari pelayanan selibat juga bisa dilihat pada Perjanjian Lama. Nabi Yeremia, sebagai bagian dari pelayanan nubuatannya, dilarang untuk mengambil seorang istri: "Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya: "Janganlah mengambil isteri dan janganlah mempunyai anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan di tempat ini."" (Yer 16:1-2). Tentunya, ini berbeda dengan selibat imamat Katolik, yang tidak ditahbiskan secara ilahi; tetapi preseden ilahi masih mendukung legitimasi dari institusi manusia ini.

Dilarang Untuk Menikah

Tetapi tiada satupun dari ayat-aya ini memberikan kita contoh akan selibat sebagai mandat dari manusia. Selibat Yeremia itu sebuah keharusan, tetapi itu dari Tuhan. Ucapan Paulus kepada Timotius akan "hal-hal sipil" hanyalah peringatan umum, bukan perintah spesifik; dan bahkan dalam 1 Korintus 7 Rasul Paulus menganjurkan untuk selibat dengan menambahkan: "Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan." (7:35)

Ini membawa kita kepada serangan terakhir kaum Fundamentalis: bahwa, dengan mensyaratkan sebagian dari imam dan kaum religinya untuk tidak menikah, Gereja Katolik jatuh kedalam kutukan Paulus dalam 1 Timotius 4:3 kepada para pembelot yang "melarang pernikahan".

Faktanya, Gereja Katolik tidak melarang siapa pun untuk menikah. Tidak ada yang diharuskan mengambil kaul selibat; mereka yang melakukan hal itu, melakukannya dengan sukarela. Mereka demikian "karena kemauan sendiri" (Mat 19:12); tiada yang melarang hal itu kepada mereka. Seorang Katolik yang tidak ingin mengambil kaul tersebut tidak perlu melakukannya, dan dia bebas untuk menikah dengan restu dari Gereja. Gereja secara sederhana memilih kandidat-kandidat untuk imamat (atau, pada ritus Timur, untuk episkopat) dari mereka yang secara sukarela untuk tidak menikah.

Tetapi apakah ada preseden alkitabiah akan praktisi yang membatasi keanggotaan ke dalam group hanya kepada mereka yang secara sukarela berkaul selibat? Ya. Rasul Paulus, menulis sekali lagi kepada Timotius, menyebut para janda yang bersumpah tidak menikah lagi (1 Tim 5:9-16); dengan tertentu menasihati: "Tolaklah pendaftaran janda-janda yang lebih muda. Karena apabila mereka sekali digairahkan oleh kebirahian yang menceraikan mereka dari Kristus, mereka itu ingin kawin dan dengan memungkiri kesetiaan mereka yang semula kepada-Nya, mereka mendatangkan hukuman atas dirinya." (5:11-12).

"Kesetiaan mereka yang semula" yang dipungkiri oleh pernikahan lagi tidak mungkin mengacu kepada pernikahan mereka yang pertama, karena Paulus tidak mengutuk para janda untuk menikah lagi. (cf. Rom 7:2-3). Itu hanya bisa mengacu kepada sumpah untuk tidak menikah yang diambil para janda yang masuk ke dalam grup ini. Hasilnya, mereka adalah bentuk awal dari group perempuan religi -- Biarawati Perjanjian Baru. Gereja Perjanjian Baru memiliki tatanan dengan keharusan selibat, sama halnya Gereja Katolik saat ini. Pelarang Pernikahan yang dimaksud Rasul Paulus pada saat itu adlaah sekte Gnostik. Gnostik mencela pernikahan, seks, dan menganggap tubuh itu pada hakekatnya jahat. Beberapa bidaah awal masuk ke dalam penjabaran ini, pula kaum Albigensian dan Kataris pada abad pertengahan (yang, ironisnya, dikagumi beberapa penulis anti-Katolik yang tidak kritis, nampaknya hanya karena kebetulan mereka bersikeras untuk menggunakan versi terjemahan bahasa mereka masing-masing akan Alkitab; lihat pada traktat Catholic Answer berjudul Catholic Inventions).

Martabat Dari Selibat dan Pernikahan

Kebanyakan umat Katolik menikah, dan semua umat Katolik diajarkan untuk menghormati pernikahan sebagai institusi kudus -- sebuah sakramen, tindakan Allah akan jiwa kita; salah satu dari hal-hal terkudus yang kita alami dalam hidup ini.

Faktanya, justru karena kesucian pernikahanlah membuat selibat itu berharga; hanya karena apa yang baik dan kudus dalam sendirinya itu bisa diserahkan kepada Allah sebagai persembahan. Sama layaknya puasa mengandaikan kebaikan dari makanan, selibat juga mengandaikan kebaikan dari pernikahan. Dengan memandang rendah selibat, maka dari itu, sama dengan memandang rendah pernikahan itu sendiri -- seperti yang ditunjukkan oleh Bapa-bapa Gereja.

Selibat juga sebuah institusi penegasan kehidupan. Dalam Perjanjian Lama, dimana selibat hampir tidak diketahui, yang tidak beranak seringkali dicela oleh orang-orang lain dan oleh diri mereka sendiri; hanya melalui anak-anak, dirasakan, seseorang mempunyai nilai. Dengan menolak pernikahan, sang selibat menegaskan nilai hakiki dari setiap hidup manusia dalam kesendiriannya, terlepas dari keturunan.

Pada akhirnya, selibat adalah pertanda eskatologi akan Gereja, sebuah tanda kehidupan saat ini akan selibat universal dari sorga: "Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga." (Mat 22:30)

NIHIL OBSTAT: I have concluded that the materials
presented in this work are free of doctrinal or moral errors.
Bernadeane Carr, STL, Censor Librorum, August 10, 2004
IMPRIMATUR: In accord with 1983 CIC 827
permission to publish this work is hereby granted.
+Robert H. Brom, Bishop of San Diego, August 10, 2004

CATATAN KAKI:
Sumber asal: http://www.catholic.com/tracts/celibacy-and-the-priesthood
Diterjemahkan oleh Maximinus

Mengenal 7 Malaikat Pelayan Allah


(Foto/Pixabay).

Mengenal 7 Malaikat Pelayan Allah

Gereja Katolik mengakui dan mengimani keberadaan makhluk rohani tanpa badan yang disebut Malaikat. Keberadaan malaikat merupakan kebenaran iman, kesaksian Kitab Suci dan kesepakatan tradisi. “Bahwa ada makhluk rohani tanpa badan, yang oleh Kitab Suci biasanya dinamakan ‘malaikat’, adalah satu kebenaran iman. Kesaksian Kitab Suci dan kesepakatan tradisi tentang itu bersifat sama jelas” (KGK 328). Santo Agustinus mengatakan: “Malaikat menunjukkan jabatan, bukan kodrat. Kalau engkau menanyakan kodratnya, maka ia adalah roh; kalau engkau menanyakan jabatannya, maka ia adalah malaikat” (Psal. 103,1,15). Oleh sebab itu dalam keadaannya malaikat adalah pelayan dan pesuruh Allah (Mat. 18:10, Mzm. 103:20 (Bdk. KGK 329). Mereka adalah makhluk rohani murni yang mempunyai akal budi dan kehendak; mereka adalah wujud pribadi (bdk. Pius XII: DS 3891. Dan tidak dapat mati (bdk. Luk 20:36)….Mereka adalah makhluk yang melampaui makhluk yang lain dalam kesempurnaan (bdk. KGK 330).

Kitab Suci memberikan informasi tentang keberadaan ketujuh malaikat."...Maka datanglah seorang dari ketujuh malaikat yang memegang ketujuh cawan,....(Wahyu 21:9, 17:1, 15:6). Meskipun demikian hanya tiga Malaikat Agung yang sering dibahas yaitu Gabriel, Mikhael dan Rafael. Oleh sebab itu, kisah tentang ketiga malaikat tersebut tidak asing lagi bagi sebagian umat. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajarkan bahwa ‘Sejak masa anak-anak (bdk. Mat. 18:10) sampai kematiannya (bdk. Luk. 16:22) malaikat-malaikat mengelilingi kehidupan manusia dengan perlindungan (bdk. Mzm 34:8; 91:10-13) dan doa permohonan (bdk. Ayb 33:23-24; Za 1:12; Tob. 12:12). “Seorang malaikat mendampingi setiap orang beriman sebagai pelindung dan gembala, supaya menghantarnya kepada kehidupan” (Basilius, Eun. III, 1). Sejak di dunia ini, dalam iman, kehidupan Kristen mengambil bagian di dalam kebahagiaan persekutuan para malaikata dan manusia yang bersatu dalam Allah [KGK 336]. Selain itu, Litani Malaikat Agung St. Rafael menyebutkan bahwa ada tujuh malaikat yang melayani Allah dan berada dihadit-Nya. Siapakah mereka itu? Pada kesempatan ini tim JalaPress menjelaskan secara singkat tentang ketujuh malaikat yang disebutkan dalam Kitab Suci, dan doa Malaikat Agung St. Rafael.

Pertama, Malaikat Agung Santo Gabriel

Gabriel artinya ‘kekuatan Allah’. Kisah malaikat Gabriel dapat kita temukan dalam berbagai ayat Kitab Suci. Kisah malaikat Gabriel dapat kita temukan dalam Injil Lukas. Malaikat Gabriel bertindak sebagai pembawa kabar gembira tentang kelahiran Yesus. Malaikat Gabriel masuk ke rumah Bunda Maria dan memberi salam (bdk. Luk. 1:26-38).

Kedua, Malaikat Agung Santo Mikhael

Mikhael artinya ‘Siapakah seperti Tuhan’. Malaikat Mikhael disebut sebagai penghulu Malaikat. Kitab Daniel menyebutkan bahwa Dia akan muncul pada akhir zaman sebagai pemimpin besar (bdk. Daniel 12:1). Selain itu, ia juga disebutkan dalam suatu perselisihan dengan iblis mengenai mayat Musa. Mikhael tidak berani menghardik iblis, namun ia mengatakan ‘kiranya Tuhan menghardik engkau! (Yud. 1:9).’

Ketiga, Malaikat Agung Santo Rafael

Rafael artinya Tuhan yang menyembuhkan. Kisah malaikat Rafael dapat ditemukan dalam Kitab Deuterokanonika Tobit  (Tobit 3:17, 12:15). Ia menyebut diri sebagai salah seorang dari ketujuh malaikat yang melayani Allah (bdk. Wahyu 21:9, Tobit 12:15). Malaikat berperan dalam penyembuhan mata Tobit yang buta dan menjadi pelindung bagi Tobias dalam upaya mencari obat untuk menyembuhkan ayahnya, Tobit. Selain itu, ia melepaskan Tobias dari pengaruh setan Asmodeus (bdk. Tobit 3:17). 

Dalam Konsili Roma pada tahun 745 di bawah pemerintahan Paus Saint Zachary, Gereja Katolik secara resmi hanya mengakui nama tiga dari tujuh Malaikat: St. Michael, St. Gabriel, dan St. Raphael. Meskipun Gereja mengakui bahwa ada tujuh Malaikat menurut Kitab Suci dan Tradisi Suci, karena ketiga Malaikat ini adalah satu-satunya malaikat yang disebutkan dalam Kitab Suci, tiga malaikat tersebut secara resmi diakui sebagai nama malaikat dalam doktrin Katolik. Empat nama malaikat yang tidak masuk secara resmi dalam doktrin Gereja Katolik adalah St. Uriel, St. Yehudiel, St. Barachiel, St. Sealtiel.

Catatan Kaki:

Baca Dokumen Konsili Roma pada tahun 745; https://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf214.viii.vii.iii.xl.html?fbclid=IwAR1P62zCN1en0KJrCqOCll1D7E5TGhgYMLL3nnjqwDKeM04dKPGWdkfOwZM

Arti singkatan RD dan RP untuk Pastor atau Imam





Arti singkatan RD dan RP untuk Pastor atau Imam

RD = Reverendus Dominus

RD adalah singkatan dari Bahasa Latin dari kata Reverendus Dominus yang artinya Bapak atau Tuan yang terhormat. Ini singkatan yang sudah lama dipakai dalam Gereja Katolik untuk menunjuk imam sekular atau Imam Diosesan. Dengan menggunakan RD didepan nama seorang Imam Diosesan maka selanjutnya tidak lagi menggunakan Pr dibelakang nama dari Imam itu. Contoh: Markus Boby Pr. Maka akan menjadi RD. Markus Boby.

Lalu apa sebenarnya pemahaman mengenai Imam Diosesan? Imam Diosesan adalah Imam Paroki. 'Diosesan' berasal dari kata Yunani yang berarti 'menata rumah' dan kata Yunani 'paroki' yang berarti 'tinggal dekat'. Seorang imam diosesan adalah seorang imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia 'tinggal dekat mereka' dalam segala hal dan membantu uskup setempat untuk 'menata rumah' dalam keluarga Allah, entah sebagai seorang pastor pembantu atau sebagai pastor kepala paroki dan kadang kala dalam pelayanan-pelayanan seperti pengajaran, atau melayani sebagai pastor mahasiswa, atau pastor di rumah sakit, di pangkalan militer, atau di penjara. Seorang pastor paroki bertanggung jawab atas segala pelayanan yang diselenggarakan oleh paroki dan atas administrasi paroki.

Sebagian besar imam di seluruh dunia adalah imam diosesan. Mereka ditahbiskan untuk berkarya di suatu diosis (keuskupan) atau di suatu arki-diosis (keuskupan agung) tertentu. Seorang imam diosesan merupakan bagian dari satu presbiterium (dewan imam) yang beranggotakan para imam dari suatu diosis atau arki-diosis yang sama dan karenanya berada di bawah kepemimpinan uskup yang sama. Jadi dapat dikatakan Imam Diosesan berkarya hanya pada satu keuskupan dan dapat berpindah-pindah dari satu paroki ke paroki lain tetapi dalam keusukupan yang sama.

RP = Raverendus Pater

RP adalah singkatan dari Bahasa Latin dari kata Reverendus Pater yang artinya Ayah yang terhormat atau Tuan Pastor. Sebutan ini diberikan kepada Imam Religius atau yang terikat dalam suatu Ordo atau lembaga Religius. Perbedaannya dengan RD untuk imam religius didepannya namanya menggunakan RP dan dibelakang namanya ditambahkan nama Ordo atau konggregasinya. Contoh: RP. Markus Boby OFM.

Suatu ordo atau lembaga religius adalah suatu serikat yang dibentuk Gereja guna mempromosikan suatu gaya hidup atau suatu spiritualitas tertentu atau untuk melaksanakan suatu karya tertentu. Sebagian besar anggota komunitas religius berkarya di lebih dari satu keuskupan dan banyak lainnya berkarya lintas negara. Setiap komunitas religius memiliki konstitusinya sendiri dan para anggotanya hidup menurut suatu peraturan hidup yang ditetapkan. Sebagian anggota komunitas religius berkarya di paroki-paroki, sedangkan yang lainnya tidak. Para imam religius berkarya sebagai pastor rumah sakit, memberikan retret, mengajar, pembicara, pastor paroki, misionaris dan di berbagai macam bidang lainnya. Setiap komunitas religius memiliki karisma atau karunia Roh Kudus. Para imam yang adalah anggota suatu komunitas religius membawa karisma itu ke dalam karya mereka.

Oh ya, saya tahu pendapat saya ini tak mungkin sempurna karena saya ini cuma remah-remah di kaleng kosong. Semoga bermanfaat, Tuhan beserta kita." (bil/dari berbagai sumber)

MENEMUKAN GEREJA KATOLIK MELALUI SEJARAH



(Dr. David Anders, Ph.D.)

MENEMUKAN GEREJA KATOLIK MELALUI SEJARAH
Kisah Dr. David Anders, Ph.D.

Saya tumbuh sebagai seorang Kristen Protestan Injili di Birmingham, Alabama. Kedua orang tua saya itu penuh kasih dan pengabdian, tulus dalam iman, dan sangat terlibat dalam gereja kami.

Dalam diri saya, mereka menanamkan penghormatan terhadap Alkitab sebagai Firman Allah, dan menginginkan saya supaya hidup dalam iman akan Kristus.

Para misionaris (penginjil Protestan –red.) sering mengunjungi rumah kami dan mereka membawa antusiasme untuk pekerjaan mereka. Rak-rak buku di rumah kami dipenuhi dengan buku teologi dan apologetika.

Sejak usia dini, saya meresapkan keinginan bahwa panggilan hidup tertinggi saya adalah mengajarkan iman Kristen. Saya kira tidak mengherankan jika saya kemudian menjadi seorang sejarawan Gereja, tapi saya tidak mengira menjadi seorang Katolik.

Gereja keluarga saya secara istilah adalah Presbiterian, tapi perbedaan denominasi tidak begitu penting bagi kami. Saya sering mendengar tentang perbedaan pendapat mengenai Pembaptisan, Perjamuan Tuhan, atau kepemimpinan dalam gereja, semuanya tidak penting selama seseorang percaya akan Injil.

Dengan ini, kami bermaksud bahwa seseorang harus “dilahirkan kembali,” keselamatan hanyalah oleh iman semata, dan Alkitab adalah satu-satunya otoritas dalam iman Kristen.

Gereja kami mendukung pelayanan dalam berbagai macam denominasi Protestan, tapi satu-satunya kelompok yang tentu saja kami tentang adalah Gereja Katolik.

Mitos tentang “pemulihan” Protestan akan Injil begitu kuat dalam gereja kami. Sejak awal saya belajar untuk mengidolakan para reformis Protestan yaitu Martin Luther dan John Calvin, karena mereka diduga telah menyelamatkan Kekristenan dari kegelapan agama Katolik pada abad pertengahan.

Orang Katolik itu adalah mereka yang percaya dalam “perbuatan baik” untuk membawa mereka ke Surga, mereka yang tunduk terhadap tradisi Gereja dari pada Kitab Suci, mereka yang menyembah Maria dan para kudus daripada Allah sendiri.

Obesesi mereka dengan sakramen-sakramen juga menciptakan rintangan besar kepada iman yang sejati dan hubungan pribadi dengan Yesus. Tidak diragukan lagi, orang Katolik bukan orang Kristen sejati.

Gereja kami bercirikan dengan semacam intelektualitas yang penuh keyakinan. Presbiterian cenderung untuk lebih berpikiran teologis, maka yang sering menjadi pembicara dalam konferensi kami adalah para profesor, apologis, ilmuwan, dan filsuf.

Suasana intelektual itulah yang menarik ayah saya kepada gereja itu, dan rak-rak bukunya dipenuhi dengan karya-karya para reformis seperti John Calvin, Johathan Edwards seorang teolog Puritan, serta penulis-penulis yang lebih baru lainnya seperti B. B. Warfield, A. A. Hodge, C. S. Lewis, dan Francis Schaeffer. Sebagai bagian dari budaya akademis ini, kami menerima begitu saja bahwa penyelidikan yang jujur akan membawa siapa saya ke dalam iman Kristen versi kami.

Semua pengaruh ini meninggalkan kesan yang jelas bagi diri saya sebagai seorang anak. Saya mulai melihat Kekristenan sebagai sesuatu yang mirip dengan ilmu fisika Newton. Iman Kristen terdiri dari hukum-hukum tertentu yang sangat masuk akal dan tidak dapat diubah, maka Anda dijamin akan memperoleh kehidupan kekal asalkan Anda membangun hidup Anda dengan prinsip-prinsip tersebut.

Saya juga berpikir bahwa inilah pesan yang jelas sekali dijabarkan dalam buku resmi teologi Kristen, yaitu Alkitab. Hanya orang yang tidak memiliki akal sehat yang percaya akan tradisi manusia atau orang yang bersikap masa bodoh yang akan merusak moral. Sikap-sikap yang bisa menggambarkan kegagalan seseorang untuk memahami kebenaran yang sederhana ini.

Namun dalam suasana yang sangat religius dan teologis ini, ada satu ironi yang aneh. Kami menekankan bahwa imanlah yang menyelamatkan, bukan perbuatan. Kami juga mengakui kepercayaan Protestan klasik yang mempercayai bahwa semua orang itu “benar-benar rusak,” yang berarti bahwa upaya moral terbaik yang dilakukan pada hakekatnya adalah kebencian kepada Allah dan tidak bisa mendapatkan apa-apa.

Pada saat saya berada di SMA, saya mengumpulkan kepingan-kepingan ini dan menyimpulkan bahwa praktik hidup beragama dan perjuangan moral itu kurang lebih tidak relevan dengan kehidupan saya.

Saya sudah menerima Kristus sebagai Juruselamat dan sudah “dilahirkan kembali.” Saya percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Saya juga percaya bahwa perbuatan menurut agama atau perbuatan menurut moral itu tidak memiliki nilai. Jadi saya berhenti menjalankan agama dan moral.

Untungnya, ketidakpedulian saya hanya bertahan beberapa tahun saja, dan di perguruan tinggi saya mengalami suatu perubahan keyakinan kepada iman yang begitu tulus.

Saya menemukan bahwa kebutuhan saya akan Allah begitu dalam dari pada sekadar “asuransi kebakaran.” Saya juga bertemu dengan seorang gadis cantik yang kemudian, bersama dengan dia, kami memulai pelayanan di gereja Protestan. Jill secara formalitas tumbuh sebagai seorang Katolik, namun gagal mempertahankan imannya setelah menerima Sakramen Peneguhan.

Bersama-sama, kami bertumbuh lebih dalam lagi di iman Protestan kami, dan setelah beberapa bulan, kami berdua merasa kecewa dengan suasana duniawi di New Orleans University. Kami menyimpulkan bahwa Midwestern and Evangelical Wheaton College bisa menyediakan lingkungan yang lebih spiritual, dan kita berdua dipindahkan di tengah tahun kedua kami belajar (Januari 1991).

Wheaton College adalah mercusuar bagi orang Kristen Injili yang tulus hati dari berbagai latar belakang. Orang-orang Protestan dari berbagai denominasi ada di sana, mereka dipersatukan dalam komitmen mereka kepada Kristus dan Alkitab.

Masa kecil saya telah mengajarkan bahwa teologi, apologetika, dan penginjilan adalah panggilan hidup tertinggi sebagai seorang Kristen, dan saya menemukan semuanya itu begitu melimpah di Wheaton. Di sanalah saya pertama kali berpikir untuk membaktikan diri saya untuk belajar teologi. Di Wheaton juga, saya dan Jill bertunangan.

Setelah lulus, saya dan Jill menikah dan akhirnya menemukan jalan kami ke Trinity Evangelical Divinity School di Chicago. Tujuan saya di sana adalah untuk mendapatkan pendidikan seminari, dan juga untuk menyelesaikan gelar Ph.D saya. Saya ingin menjadi salah seorang profesor teologi yang sangat dikagumi di gereja sewaktu saya masih muda.

Saya menenggelamkan diri sepenuhnya ke seminari. Saya sangat menyukai mata kuliah teologi, Kitab Suci, dan sejarah Gereja, dan saya bertumbuh dalam iman, kepercayaan diri, dan rasa akan misi yang melingkupi sekolah saya itu. Saya juga menyerap lingkungannya yang anti-Katolik.

Saya berada di sana pada tahun 1994 ketika dokumen “Evangelicals and Catholics Together[1]” dipublikasikan untuk pertama kalinya, dan hampir semua fakultas sepakat untuk menentangnya. Mereka melihat adanya kompromi dengan orang Katolik yang berarti pengkhianatan terhadap Reformasi. Orang Katolik itu sama sekali bukan saudara di dalam Tuhan. Mereka adalah orang-orang murtad.

Saya menerima sikap anti-Katolik dari profesor seminari saya, jadi ketika tiba saatnya saya untuk melanjutkan studi, saya memutuskan untuk fokus pada studi sejarah Reformasi.

Saya pikir tidak ada persiapan yang lebih baik untuk menyerang Gereja Katolik dan memenangkan jiwa-jiwa selain dari memahami sepenuhnya pemikiran pemimpin besar iman kita, yaitu Martin Luther dan John Calvin.

Saya juga ingin memahami sejarah Kekristenan secara menyeluruh, sehingga saya bisa menempatkan Reformasi dalam konteks itu. Saya ingin menunjukkan bahwa gereja pada abad pertengahan telah meninggalkan iman yang sejati dan bagaimana para Reformis memulihkannya.

Untuk tujuan ini, saya memulai studi Ph.D. dalam bidang teologi historis di University of Iowa. Saya tidak pernah membayangkan bahwa sejarah Gereja Reformasi akan membawa saya kepada Gereja Katolik.

Sebelum saya memulai studi di Iowa, saya dan Jill menyaksikan kelahiran anak pertama kali, dia seorang anak laki-laki. Adik laki-lakinya lahir dalam waktu kurang dari dua tahun kemudian, dan adik perempuannya lahir sebelum kita meninggalkan Iowa (sekarang kami memiliki lima orang anak – artikel ini ditulis tahun 2012).

Istri saya sangat sibuk dalam merawat anak-anak kami ini, sementara itu saya berkomitmen hampir sepenuhnya untuk studi saya.

Saya sekarang menyadari bahwa waktu itu saya terlalu banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, dan sedikit waktu dengan istri, kedua putra saya yang masih bayi, dan putri saya. Saya pikir bahwa saya telah membenarkan sikap pengabaian terhadap mereka dengan mengandalkan rasa akan misi saya.

Saya memiliki panggilan hidup yang tinggi untuk menjadi saksi iman melalui studi teologi dan melihat dari sudut pandang seorang intelektual terhadap iman Kristen dan tugas saya sebagai seorang Kristen.

Bagi umat Kristen Injili, apa yang seseorang yakini itu lebih penting daripada bagaimana seseorang itu hidup. Pada waktu itu, saya belajar bagaimana mempertahankan dan mempromosikan kepercayaan itu. Mana yang lebih penting?

Saya memulai studi Ph.D. saya pada bulan September 1995. Saya mengambil kuliah sejarah awal mula Kekristenan, abad pertengahan dan Reformasi Gereja. Saya membaca tulisan para Bapa Gereja, para teolog Skolastik, dan Pencetus Reformasi Protestan.

Pada setiap tahap itu, saya berusaha untuk menghubungkan para teolog yang ada kemudian dengan para teolog sebelum mereka, dan juga menghubungkan semua teolog itu dengan Kitab Suci.

Saya bertujuan untuk membenarkan Reformasi, dan ini berarti intinya untuk menyelidiki doktrin “dibenarkan hanya oleh karena iman / sola fide.” Bagi umat Protestan, hal ini menjadi salah satu doktrin yang terpenting yang “dipulihkan” oleh Reformasi.

Para Reformis bersikeras bahwa mereka mengikuti Gereja kuno dalam ajaran “hanya iman,” dan mereka membuktikan dengan menunjuk tulisan Bapa Gereja Agustinus dari Hippo (354-430).

Para profesor seminari saya juga menunjuk Agustinus sebagai mata air asli teologi Protestan. Alasannya karena Agustinus menaruh minat yang dalam terhadap doktrin dosa asal, rahmat, dan dasar kebenaran.

Beliau merupakan Bapa Gereja pertama yang berusaha menjelaskan secara sistematik pembahasan-pembahasan bertema Pauline[2]. Beliau juga menarik suatu perbedaan yang jelas antara “perbuatan” dan “iman” (lihat dalam “On the Spirit and the Letter” / Tentang Roh dan Surat, 412 M).

Ironisnya, penyelidikan terhadap doktrin ini dan tentang St. Agustinus yang memulai perjalanan saya menuju Gereja Katolik.

Kesulitan pertama yang muncul ketika saya mulai memahami apa yang sebenarnya Agustinus ajarkan tentang keselamatan. Singkatnya, Agustinus menolak pemahaman “hanya iman.”

Memang benar beliau sangat menghargai iman dan rahmat, namun beliau melihat bahwa keduanya itu terutama sebagai sumber dari perbuatan kita. Agustinus mengajarkan bahwa kita secara harafiah “layak” untuk hidup kekal ketika hidup kita diubah oleh kasih karunia. Hal ini sangat berbeda dengan sudut pandang Protestan.

Implikasi dari penemuan saya sangat mendalam. Sewaktu kuliah dan di seminari, saya cukup tahu pemahaman bahwa Agustinus itu mengajarkan tidak lebih dari doktrin Katolik Roma tentang dasar kebenaran. Kemudian saya memutuskan untuk pindah ke Bapa Gereja sebelumnya untuk mencari “iman yang murni” pada zaman Kekristenan kuno. Sayangnya, para Bapa Gereja sebelumnya tidak seberapa membantu seperti Agustinus.

Agustinus berasal dari Afrika Utara yang berbahasa Latin. Para Bapa Gereja lainnya berasal dari Asia Kecil, Palestina, Suriah, Roma, Gaul, Galia, dan Mesir. Mereka mewakili berbagai macam budaya, berbicara bahasa yang berbeda, dan berkaitan dengan Rasul yang berbeda pula.

Saya berpikir mungkin saja beberapa dari mereka telah salah memahami Injil, tetapi sepertinya tidak mungkin mereka semua keliru. Iman yang benar harus dinyatakan di suatu tempat di dunia zaman kuno.

Satu-satunya masalahnya adalah saya tidak bisa menemukannya. Ke mana pun saya mencarinya, di belahan benua mana pun, pada abad berapa pun, Para Bapa Gereja sepakat: keselamatan itu ada melalui perubahan kehidupan moral dan bukan hanya dengan iman.

Mereka juga mengajarkan bahwa perubahan itu dimulai dan dipelihara dalam sakramen, dan bukan melalui pengalaman pertobatan individu.

Pada tahap perjalanan iman saya ini, saya masih ingin tetap menjadi seorang Protestan. Seluruh hidup, perkawinan, keluarga, dan karir saya terikat dalam Protestanisme.

Pencarian saya dalam sejarah Gereja adalah ancaman besar bagi identitas saya itu, jadi saya pindah jurusan ke studi Alkitab untuk mencari kenyamanan dan bantuan peneguhan.

Saya berpikir bahwa jika saya sangat yakin akan sikap protes para Reformis terhadap Kitab Suci, maka pada dasarnya saya dapat mengabaikan sejarah Kekristenan selama seribu lima ratus tahun.

Saya menghindari berbagai hal berbau Katolik yang bisa melemahkan iman saya, seperti bidang ilmu ataupun buku-bukunya.

Yang saya lakukan adalah fokus tentang tujuan, sejarah, dan karya-karya Protestan dalam studi Alkitab saya. Pada saat itu saya sedang mencari bukti yang kuat bahwa para Reformis itu benar dalam pemahaman mereka akan Paulus. Apa yang saya tidak tahu adalah pengajaran terbaik Protestan pada abad ke-20 telah menolak ajaran Luther tentang membaca Alkitab.

Luther telah mendasarkan seluruh penolakannya terhadap Gereja berdasarkan perkataan Paulus, “Bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Roma 3:28).

Luther berasumsi bahwa perbedaan antara “iman” dan “perbuatan” berarti tidak adanya peran moralitas dalam proses keselamatan (berdasarkan pandangan Protestan tradisional, perilaku moral adalah tanggapan terhadap keselamatan, tapi bukan faktor yang berkontribusi terhadap keselamatan).

Saya telah mempelajari bahwa para Bapa Gereja mula-mula sudah menolak pandangan seperti itu. Sekarang saya menemukan seluruh jajaran pemikir Protestan juga bersedia untuk memberikan kesaksian bahwa bukan ajaran seperti itu yang dimaksudkan oleh Paulus.

Para Bapa Gereja pada abad ke-2 percaya bahwa Paulus telah menolak perlunya hanya hukum Taurat untuk keselamatan (“melakukan hukum Taurat” = Hukum Musa). Mereka melihat iman sebagai pintu masuk menuju kehidupan Gereja, sakramen, dan Roh.

Iman membenarkan kita sebagai sarana rahmat, tapi iman itu bukan pijakan yang cukup untuk keselamatan.

Apa yang saya lihat dari para pemikir Protestan ternama dan terbaru, mereka memiliki cara pandang yang sama akan hal ini. Dari sepertiga pemikir Protestan abad ke-20 seperti E. P. Sanders, Krister Stendhal, James Dunn, dan N. T. Wright, mereka berpendapat bahwa Protestanisme tradisional telah salah membaca maksud Paulus.

Berdasarkan Stendhal dan para pemikir lainnya, dibenarkan oleh iman terutama karena hubungan antara orang Yahudi dan orang bukan Yahudi, bukan tentang peran moralitas sebagai syarat kehidupan kekal. Bersama-sama, karya para pemikir itu disebut sebagai “Perspektif Baru tentang Paulus.”

Penemuan saya tentang “Perspektif Baru” ini merupakan titik awal pemahaman saya tentang Kitab Suci. Pertama kali, saya melihat bahwa “Perspektif Baru” adalah “Perspektif Lama” dari para Bapa Gereja mula-mula.

Saya mulai mengujinya terhadap penafsiran saya sendiri tentang tulisan Paulus dan saya menemukan bahwa hal itu masuk akal. Hal itu juga yang mengatasi pergumulan yang sudah lama saya rasakan antara Paulus dengan seluruh isi Alkitab.

Bahkan Luther sendiri mengalami kesulitan dalam menyambungkan penafsirannya terhadap Paulus dengan Khotbah di Bukit, Surat St. Yakobus, dan Perjanjian Lama. Setelah saya mencobanya dengan “Perspektif Baru,” pergumulan ini sirna. Dengan berat hati, saya harus mengakui bahwa para Reformis itu salah tentang dasar kebenaran.

Penemuan-penemuan dalam karya akademis saya ini sejalan dengan penemuan-penemuan dalam kehidupan pribadi saya.

Teologi Protestan sangat membedakan antara kepercayaan dan perilaku, dan saya mulai melihat bagimana hal ini mempengaruhi saya.

Sejak saya masih kecil, saya selalu menentukan bahwa teologi, apologetika, dan penginjilan adalah panggilan tertinggi dalam kehidupan seorang Kristen, sementara itu kebajikan hanyalah buah dari iman yang benar.

Sayangnya, saya merasa bahwa dalam hidup saya kurang berbuah, namun sebenarnya teologi saya berkontribusi terhadap sifat-sifat buruk saya.

Teologi itu telah membuat saya mencari-cari kesalahan, sombong, dan suka melakukan perdebatan. Saya juga menyadari bahwa karena teologi pula saya telah melakukan hal yang sama terhadap para pahlawan saya (para Reformis Protestan–red.).

Semakin saya mempelajari para Reformis Protestan, semakin saya tidak menyukai mereka secara pribadi.

Sangat berbeda dengan apa yang saya pelajari tentang para teolog Katolik. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kudus, yang berarti mereka telah menghidupi kehidupan amal kasih yang heroik dan penyangkalan diri.

Bahkan yang ternama dari orang-orang kudus itu, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas juga mengakui bahwa mereka tidak memiliki otoritas pribadi untuk menentukan dogma Gereja.

Dilihat dari luar, saya masih anti-Katolik. Saya melanjutkan untuk terus menyerang Gereja dan membela Reformasi, namun di dalam hati saya ada pergumulan psikologis dan spiritual. Saya menemukan bahwa teologi saya dan karya hidup saya didasarkan pada sebuah kebohongan, dan saya merasa bahwa kehidupan etis, moral, dan spiritual saya sangat kurang.

Saya dengan cepat kehilangan motivasi untuk menyangkal agama Katolik, dan sebaliknya saya hanya ingin mempelajari kebenaran. Para Reformis Protestan telah membenarkan pemberontakan mereka dengan seruan “hanya Kitab Suci.”

Studi saya mengenai doktrin pembenaran telah menunjukkan kepada saya sendiri bahwa Kitab Suci bukanlah penduan yang jelas sebagaimana yang ditunjukkan para Reformis.

Bagaimana jika semua sikap protes mereka akan Kitab Suci itu salah kaprah? Pada akhirnya, mengapa saya memperlakukan Kitab Suci sebagai otoritas yang menentukan?

Ketika saya mempertanyakan hal ini kepada diri saya sendiri, saya menyadari bahwa saya tidak punya jawaban yang memadai.

Alasan sebenarnya yang saya minta terhadap ajaran “hanya Kitab Suci” bahwa inilah yang telah diajarkan kepada saya.

Ketika saya memperlajari masalah ini, saya menemukan bahwa tidak seorang Protestan pun yang memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan ini.

Para Reformis tidak benar-benar membela doktrin “hanya Kitab Suci.” Mereka hanya menegaskannya.

Lebih parah lagi, saya mempelajari bahwa para teolog Protestan modern yang berusaha mempertahankan “hanya Kitab Suci” dengan menentang tradisi Gereja. Inilah yang menurut saya tidak masuk akal.

Akhirnya, saya menyadari bahwa “hanya Kitab Suci” tidak ada dalam Kitab Suci.

Doktrin itu justru menyangkal dirinya sendiri. Saya juga melihat bahwa umat Kristen perdana tidak mengenal banyak tentang “hanya Kitab Suci,” dibandingkan apa yang mereka tahu tentang “hanya iman.”

Tentang masalah “bagaimana kita diselamatkan” dan “bagaimana kita merumuskan iman,” umat Kristen perdana menemukan pusatnya dalam Gereja. Gereja itu sendiri adalah keduanya, sebagai otoritas dalam doktrin Kristen dan juga sarana keselamatan.

Gereja menjadi isu yang membuat saya ingin terus kembali mendalaminya. Kaum Injili cenderung melihat Gereja hanya sebagai persekutuan orang-orang yang percaya dan satu pemikiran.

Bahkan para Reformis, Luther dan Calvin memiliki pandangan yang lebih kuat tentang Gereja daripada yang kaum Injili definisikan, tapi umat Kristen kuno memiliki doktrin paling luhur tentang Gereja dari semuanya itu.

Saya pernah melihat penekanan mereka tentang Gereja yang tidak Alkitabiah, bertentangan dengan “hanya iman,” namun saya mulai menyadari bahwa tradisi Injili saya yang tidak alkitabiah.

Kitab Suci mengajarkan bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus (Efesus 4:12). Kaum Injili cenderung menganggap hal ini sebagai kiasan belaka, namun umat Kristen kuno mengganggapnya secara literal, meskipun secara mistik itu benar.

St. Gregorius dari Nyssa berkata, “Seseorang yang melihat Gereja maka dia benar-benar melihat Kristus.” Ketika saya memikirkan hal ini, saya menyadari bahwa apa yang diucapkan itu mengarah kepada kebenaran yang mendalam tentang makna keselamatan.

St. Paulus mengajarkan bahwa mereka yang dibaptis itu telah dipersatukan dengan Kristus dalam kematian-Nya, sehingga mereka juga dipersatukan dengan Dia dalam kebangkitan (Roma 6:3-6).

Persatuan ini secara literal menjadikan orang Kristen sebagai bagian dalam kodrat Ilahi (2 Petrus 1:4). Bahkan St. Athanasius berkata, “Karena Dia telah menjadi manusia, maka kita dimungkinkan menjadi Allah” (De incarnatione, 54.3).

Sekarang, doktrin kuno tentang Gereja itu menjadi masuk akal bagi saya karena saya melihat bahwa keselamatan itu sendiri tidak lain adalah persatuan dengan Kristus dan terus menerus bertumbuh dalam kodrat-Nya.

Gereja bukan sekedar persekutuan dari orang-orang yang sepikiran. Tetapi suatu realitas adikodrati karena Gereja itu mengambil bagian dalam kehidupan dan pelayanan Kristus.

Pernyataan ini juga masuk akal dengan doktrin sakramental Gereja. Ketika Gereja membaptis, mengampuni dosa, ataupun yang utama yaitu mempersembahkan Kurban Kudus Misa, maka sungguh Kristus yang membaptis, mengampuni dosa, dan mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya sendiri. Sakramen itu tidak mengurangi Kristus itu sendiri. Sakramen itu menghadirkan Dia.

Kitab Suci cukup jelas mengenai sakramen. Jika Anda memahaminya sebagaimana yang tertulis, Anda harus menyimpulkan bahwa Pembaptisan adalah “permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Titus 3:5).

Yesus dengan sungguh-sungguh ketika Dia berkata, “Sebab daging-Ku benar-benar makanan dan darah-Ku benar-benar minuman (Yohanes 6:55). Dan tentu saja Yesus tidak berbohong ketika Dia berjanji, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni” (Yohanes 20:23).

Inilah yang sebenarnya yang dimengerti oleh umat Kristen kuno mengenai sakramen. Saya tidak bisa lagi menuduh umat Kristen kuno itu tidak alkitabiah. Atas dasar apa saya menolak pemahaman-pemahaman itu semua?

Doktrin orang Kristen kuno mengenai Gereja tentang penghormatan para kudus dan para martir juga masuk akal. Saya mempelajari bahwa doktrin Katolik tentang para kudus hanyalah pengembangan dari doktrin alkitabiah tentang Tubuh Kristus.

Umat Katolik tidak menyembah para kudus. Mereka menghormati Kristus dalam anggota-anggota-Nya. Dengan memohon perantaraan mereka, umat Katolik hanya menyatakan bahwa Kristus itu hadir dan bekerja dalam Gereja-Nya di Surga.

Umat Protestan seringkali keberatan bahwa penghormatan para kudus yang dilakukan oleh umat Katolik itu mengurangi pelayanan Kristus. Saya sekarang mengerti bahwa yang kebalikannya itu justru yang sebenarnya.

Orang Protestanlah yang membatasi jangkauan karya keselamatan Kristus dengan menolak implikasinya terhadap doktrin mengenai Gereja.

Studi saya menunjukkan bahwa teologi ini bertumbuh dalam devosi yang dilakukan Gereja kuno. Ketika saya melanjutkan penelitian yang saya lakukan tentang Agustinus, saya mempelajari bahwa “Pahlawan Protestan” ini benar-benar menganut ajaran penghormatan para kudus.

Seorang ahli tentang Agustinus yaitu Peter Brown (lahir 1935) juga mengajari saya bahwa ajaran tentang para kudus itu tidak secara kebetulan ada dalam Kekristenan kuno. Dia berpendapat bahwa Anda tidak dapat memisahkan Kekristenan kuno dengan devosi kepada para kudus, dan dia menempatkan Agustinus secara adil (tidak berat sebelah dan sesuai dengan kenyataan) dalam tradisi ini.

Brown menunjukkan bahwa ini bukan sekedar ajaran impor dari agama pagan kepada Kekristenan, namun lebih berkaitan erat dengan gagasan Kristen tentang keselamatan (lihat dalam Cult of Saints: Its Rise and Function in Latin Christianity tahun 1981).

Begitu saya memahami posisi ajaran Katolik tentang keselamatan, Gereja, dan para kudus maka dogma tentang Maria dengan sendirinya menjadi masuk akal.

Jika pusat iman Kristen itu adalah persatuan Allah dengan kemanusiaan kita, sang Bunda yang bersifat manusia memiliki peran yang penting dan unik dalam segala sejarah. Inilah sebabnya para Bapa Gereja selalu merayakan Maria sebagai Hawa yang kedua.

Jawaban “Ya” kepada Allah ketika pemberitaan kabar sukacita Inkarnasi membalikan kondisi Ketidakadaan Hawa di taman Eden.

Jika pantas untuk menghormati para kudus dan martir Gereja, seberapa lebih pantas pula untuk memuliakan dan menghormati kepada sang Bunda yang oleh karena dia penebusan kita bisa terjadi?

Pada saat saya menyelesaikan studi Ph.D. saya, saya sudah sepenuhnya meninjau ulang pemahaman saya terhadap Gereja Katolik.

Saya melihat bahwa doktrin sakramental Gereja, pandangan Gereja tentang keselamatan, penghormatan Gereja kepada Maria dan para kudus, pengakuan Gereja tentang otoritas, semua hal itu berdasarkan kepada Kitab Suci, dalam tradisi yang paling tua, dan dalam ajaran yang sederhana tentang Kristus dan Para Rasul.

Saya juga menyadari bahwa Protestanisme merupakan sekumpulan ketidak-konsistenan dan pemelintiran logika.

Bukan hanya bahwa dokrin Protestan itu tidak benar, namun juga menimbulkan pertentangan, dan ajarannya selalu berubah-ubah. Semakin saya belajar, semakin saya menyadari bahwa warisan ajaran Injili saya sudah menyimpang jauh bukan hanya dari Kekristenan kuno, bahkan dari ajaran para pendiri aliran Protestan sendiri.

Para kaum Injili Amerika modern mengajarkan bahwa kehidupan Kristiani dimulai ketika Anda “mengundang Yesus ke dalam hati Anda.” Pertobatan pribadi (yang mereka sebut “dilahirkan kembali”) dipandang sebagai hal pokok dan permulaan identitas seorang Kristen.

Saya tahu dari apa yang saya baca, bahwa hal seperti ini bukanlah ajaran Gereja perdana. Saya juga mempelajari para Reformis, bahkan hal ini bukan ajaran Protestan mula-mula.

Calvin dan Luther sama-sama dengan jelas menyatakan bahwa Pembaptisan adalah permulaan kehidupan Kristiani. Sambil merasa sia-sia saya melihat karya mereka untuk mencari suatu keharusan untuk “dilahirkan kembali.

”Saya juga mempelajari bahwa mereka tidak menganggap bahwa Ekaristi sebagai hal yang tidak penting, seperti yang telah saya lakukan.

Sementara itu, mereka menolak teologi Katolik tentang sakramen, kedua tokoh itu terus bersikeras bahwa Kristus benar-benar hadir dalam Ekaristi. Bahkan pada tahun 1541, Calvin mengajarkan bahwa pemahaman yang tepat tentang Ekaristi adalah “perlu untuk keselamatan.”

Calvin tidak tahu apapun tentang pemahaman Kekristenan yang dilahirkan kembali secara individualistis, yang mana saya tumbuh dalam pemahaman itu.

Saya menyelesaikan kuliah saya pada bulan Desember 2002. Beberapa tahun terakhir dalam studi saya merupakan saat-saat yang cukup gelap bagi saya.

Terlebih lagi, sepertinya rencana saya berantakan, dan masa depan saya tidak jelas. Kepercayaan diri saya sangat terguncang, dan saya sebenarnya merasa ragu untuk percaya atau tidak.

Agama Katolik mulai tampak yang paling masuk akal dalam menafsrikan iman Kristen, namun kehilangan iman yang saya hidupi sejak kecil membuat saya hancur.

Saya berdoa memohon bimbingan. Dan pada akhirnya, saya percaya bahwa rahmatlah yang telah menyelamatkan saya.

Pada saat itu, saya memiliki seorang istri dengan empat orang anak, dan akhirnya Allah menunjukkan saya bahwa yang saya butuhkan dalam hidup saya bukan hanya sekedar buku saja.

Sejujurnya, saya juga membutuhkan lebih dari sekedar “hanya iman.” Saya membutuhkan pertolongan nyata dalam hidup saya dan berperang melawan dosa-dosa saya. Saya menemukannya dalam sakramen-sakramen Gereja.

Di samping “hanya Kitab Suci,” saya membutuhkan bimbingan yang nyata dari seorang guru yang memiliki otoritas. Saya menemukannya dalam Magisterium Gereja.

Saya menemukan bahwa saya membutuhkan persekutuan para kudus di surga, bukan haya buku-buku mereka di dunia. Singkatnya, saya menemukan bahwa Gereja Katolik dibentuk dengan ideal untuk memenuhi kebutuhan spiritual saya.

Selain kebenaran itu sendiri, saya menemukan Yesus dalam Gereja-Nya, melalui Bunda-Nya dalam persekutuan para kudus-Nya. Saya masuk ke dalam Gereja Katolik pada tanggal 6 November 2003.

Istri saya juga mengalami titik baliknya sendiri untuk mendalami Gereja, dan sekarang keluarga saya adalah keluarga Katolik yang bahagia dan antusias.

Saya berterima kasih kepada orang tua saya karena telah mengarahkan saya kepada Kristus dan Kitab Suci. Saya berterima kasih kepada St. Agustinus karena telah mengarahkan saya kepada Gereja.

Catatan kaki:

[1] Dokumen ekumenis yang ditandatangani oleh para tokoh ternama baik dari Protestan Injili dan Gereja Katolik di Amerika Serikat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang sama dari kedua pihak dalam kesamaan tantangan dunia modern saat itu.

[2] Teologi yang berhubungan dengan kepercayaan dan doktrin yang didukung oleh St. Paulus melalui tulisan-tulisannya.

Sumber: “A Protestant Historian Discovers the Catholic Church”
terangiman.com
@dm1rbs
@fbRaphael Benedict