Kitab Suci Dasar Iman Katolik





Kita sering mendengar bahwa Kitab Suci adalah “Wahyu Allah”, atau pernyataan Allah tentang diri-Nya yang nyata dalam diri manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26). Tuhan memberi wahyu secara khusus untuk menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya bagi umat manusia untuk mencapai tujuan akhir, yakni keselamatan. Tawaran keselamatan ini berpuncak di dalam diri Yesus Kristus, yang kemudian dilanjutkan oleh para rasul.

Gereja Katolik percaya bahwa Kitab Suci, Tradisi Suci (lisan) dan Magisterium adalah Wahyu umum. Berikut ini adalah penjelasannya :

1. Kitab Suci (Alkitab) adalah wahyu ilahi yang disampaikan secara tertulis di bawah inspirasi Roh Kudus.

2. Tradisi Suci adalah wahyu Ilahi yang tidak tertulis, namun yang diturunkan oleh para rasul sejak awal oleh inspirasi Roh Kudus, sesuai dari yang mereka terima dari Yesus dan kemudian diteruskan oleh para penerus merek.

3. Magisterium adalah pihak yang berwenang (kuasa mengajar Gereja) menafsirkan Kitab Suci dan Tradisi Suci.

Ketiga hal ini adalah pilar iman, yang ditunjukan untuk menjaga dan mengartikan wahyu publik dari Allah di dalam kemurniannya.

KITAB SUCI TERDIRI DARI PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU

Untuk memahami Kitab Suci, setiap orang perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan firman Allah itu. “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru”. Sama seperti sebuah kisah tidak akan lengkap jika hanya dibaca awalnya saja, atau akhirnya saja, tanpa memperhatikan kaitannya. Demikian juga Kitab Suci hanya bisa dipahami secara menyeluruh dalam kesatuan antara PL dan PB, dan dalam kaitan satu ayat dengan ayat lainnya.

PENULISAN KITAB SUCI MELIBATKAN AKAL BUDI PARA PENULISNYA

Kitab Suci merupakan Firman Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh-Nya. Namun demikian, ini melibatkan juga kemampuan sang penulis tersebut dalam hal gaya bahasa, cara penyusunan, latar belakang budaya, dst. Maka jika ingin memahami Kitab Suci, setiap orang perlu mengetahui makna yang disampaikan oleh para penulis kitab dan apakah yang ingin disampaikan Allah melalui tulisan itu. Karena Kitab Suci bersumber pada Allah yang satu, maka setiap orang harus melihat keseluruhan Kitab Suci dan menjadikannya sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar dalam memperdalam tentang Kitab Suci, karena demikianlah dahulu jemaat perdana mengartikan Kitab Suci.

KITAB SUCI DIBERIKAN KEPADA GEREJA SEBAGAI PEDOMAN

Rasul Paulus memberikan alasan kepada kita untuk mempelajari Kitab Suci, yakni, “segala tulisan yang diilhamikan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim. 3:16) agar setiap umat diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Dengan demikian, Kitab Suci mendapat tempat yang begitu tinggi di dalam Gereja Katolik, yang dapat dilihat dari dokumen-dokumen Gereja yang senantiasa bersumber dari Kitab Suci, tradisi suci dan dalam liturgi Gereja.

PRINSIP UMUM YANG HARUS DIPEGANG

1. Gereja ada terlebih dahulu sebelum Kitab Suci

Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa Tradisi Suci sudah ada terlebih dahulu daripada pengajaran yang tertulis. Demikian pula, Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak membentuk Kitab Suci, namun Yesus membentuk Gereja, yang Ia dirikan di atas Rasul Petrus (Lih. Mat. 16:18). Gereja pulalah yang menentukan Kanon seluruh Kitab Suci, baik PL maupun PB.

2. Kitab Suci memberitahukan Tradisi Suci, sebab tidak semua ajaran Yesus Kristus terekam dalam Kitab Suci.

Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran Rasul-rasul..” (Kis. 2:42, lih. 2 Tim. 1:14), dan ini sudah terjadi sebelu Perjanjian Baru ditulis, berabad-abad sebelum Kanon Perjanjian Baru ditetapkan di akhir abad ke IV. Kitab Suci juga mengajarkan bahwa pengajaran Para Rasul disampaikan secara lisan, “ apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim. 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis (2 Tes. 2:15; lih. ‘ ajaran yang diteruskan melalui pembicaraan oleh para rasul ini Tradisi Suci (1 Kor. 11:2, 23; 2 Yoh. 12, 3 Yoh. 13), “ Masih banyak hal-hal lain yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua Kitab yang harus ditulis itu”. (Yoh. 21:25). Kitab Perjanjian Baru mengaju kepada Tradisi Suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis. 20:35, di mana Rasul Paulus meneruskan perkataan Yesus “ adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima”; yaitu perkataan Yesus yang tidak tertulis dalam Injil.

3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa perlu otoritas untuk menginterpretasikan.
Rasul Petrus mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Kitab Suci yang sulit dicerna (Lih. Kis. 8:30-31; 2 Ptr. 1:20-21; 2 Ptr. 3:15-16), dan ketidak hati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan kesalahan yang fatal. Berapa banyak kita mendengar dari agama lain, yang menggunakan Kitab Suci untuk menyanggah kebenaran iman, seperti tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus atau Yesus adalah sungguh Allah. Mereka salah memahami apa yang mereka kutip.

4. Yesus Kristus memberikan otoritas kepada Gereja untuk mengajar dalam Nama-Nya.
Gereja bertahan sampai akhir zaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat. 16:18;18:18; 28:19-20; Luk. 10:16; Yoh. 14:16). Karena itu, Kristus memberi kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium mengajar hanya untuk melayani sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya. Prinsip fungsi Magisterium ini hanya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola: ia tidak mengatasi peraturan, tetapi hanya menjaga agar peraturan dijalankan dengan semestinya.

Paus Benediktus XVI dalam pengajaran Apostoliknya, Verbum Domini, menegaskan bahwa apa yang tertulis dalam Kitab Suci bukanlah sesuatu yang dapat diinterpretasikan oleh masing-masing individu dengan bebas tanpa melihat apa yang menjadi pandangan Gereja. Karena Sabda Allah bersumber dari Roh Kudus yang diberikan kepada Gereja. Oleh Roh Kudus menjadi jiwa dari Gereja, Gereja menentukan buku-buku yang masuk dalam Kanon Kitab Suci. Dengan demikian,Gereja mempunyai otoritas untuk menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Roh Kudus.

Sejarah menunjukkan bahwa Kitab Suci yang ada pada kita sekarang terbentuk pertama kali menurut Kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus pada tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthago (397) dan Kalsedon (451) yang kemudian diteguhkan oleh Konsili Trente (1545-1563). Maka Gerejalah atas ilham Roh Kudus, yang menentukan Kitab Suci mana saja yang diinspirasi oleh Roh Kudus, sehingga termasuk dalam Kanon. Sebelum Kitab Suci ditulis, Gereja mengandalkan Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul. Jadi mengatakan bahwa Kitab Suci saja “cukup” atau “Sola Scriptura” sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Gereja, yang dipimpin oleh Magisterium.

5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalh dalam jemaat.

Ketika terjadi krisis dalam jemaat di sekitar tahun 40 Masehi, Kitab Perjanjian Baru belum dibukukan, dan Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan secara eksplisit tentang sunat. Namun atas inspirasi Roh Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem menetapkan bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi pengikut Kristus (Kis. 15). Konsili inilah yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci Perjanjian Lama yang mengharuskan sunat (lih. Kej. 17, Kel. 12:48) dengan terang Roh Kudus dan penggenapannya oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, sehingga ketentuan sunat tidak lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja; para rasul dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa Sabda Tuhan, yang tertulis atau yang tidak tertulis dan membuat suatu pengajaran Apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.

6. Bukan Kitab Suci saja “tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Tim. 3:15)
Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya menulis Kitab Suci, maksudnya, bahwa Gerejalah yang dipercaya oleh Kristus untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.

7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah “ satu-satunya sumber Firman Tuhan.
Kristus itu sendiri adalah Firman (lih. Yoh. 1:1; 14; 1 Tes. 2:13) Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan Firman Allah dan pemberitaan Firman Allah (melalui pendengaran) yang disampaikan oleh para rasul adalah Tradisi Suci.


Silvester Detianus Gea
Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi (sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memposting tulisan yang sama di website :https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/apakah-kitab-suci-itu/

1 comments:

Hubungan kitab suci dan ilham


EmoticonEmoticon