Gereja pernah berpandangan bahwa Allah mendiktekan sabda-Nya
kepada para penulis suci. Seolah-olah penulis itu mendengarkan Allah
berbicara lalu menulisnya huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat
demi kalimat. Dengan demikian, Kitab Suci tidak dapat salah dilihat dari
sudut dan segi mana pun. Pandangan semacam ini tidak dapat diterima
karena Kitab Suci tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan kebenaran
ilmiah, tetapi untuk mengungkapkan kebenaran iman. Allah menyatakan
diri dan kehendak-Nya melalui orang-orang tertentu, alam dan peristiwa
sejarah. Orang-orang yang terpilih itu kemudian mengungkapkan
kebenaran-kebenaran mengenai Allah dan kehendak-Nya itu dengan
sarana-sarana yang sangat manusiawi. Mereka mengambil berbagai unsure
pengetahuan, cerita rakyat, bahkan legenda, yang berkembang pada
zamannya. Selain itu, bakat dan kemampuan para penulis itu juga sangat
mempengaruhi bagaimana mereka mengungkapkan kebenaran-kebenaran iman.
Kebenaran-kebenaran iman yang menyangkut kebenaran mengenai Allah dan
kehendak-Nya itulah yang sesungguhnya hendak disampaikan oleh para
penulis. Sedangkan, unsur-unsur pengetahuan dan budaya itu hanyalah
sarana penyampaian. Karena itu, orang tidak perlu terjebak dalam
persoalan ini. Kitab Suci tidak dimaksudkan sebagai buku ilmu
pengetahuan mengenai alam, masyarakat, matematik, sejarah dll, tetapi
sebagai buku iman. Ketidaksesuaian Kitab Suci dengan ilmu pengetahuan
berkaitan dengan persoalan alam dan sejarah tidak perlu membuat bingung
karena ilmu yang dipergunakan masih primitif.
Manusia zaman itu yakin
bahwa langit itu berbentuk kubah yang menahan air yang ada di atasnya
(Kej. 1). Bukan persoalan ilmu alam seperti ini yang diwahyukan Allah,
melainkan segala sesuatu diciptakan oleh Allah. Demikian juga, bila
orang membaca Kitab Keluaran, bukan kebenaran-kebenaran sejarah yang
hendak diwahyukan melainkan Allah menaruh perhatian kepada orang-orang
tertindas, membebaskan mereka, dan memilih mereka menjadi umat-Nya.
Keselamatan manusia tidak akan terpengaruh oleh kenyataan bahwa ada
unsure pengetahuan dan sejarah dalam Kitab Suci yang tidak sesuai dengan
ilmu pengetahuan. TERIKAT TEMPAT DAN WAKTU Tempat dan waktu menentukan
budaya, serta cara berpikir dan mengungkapkan buah pikiran. Ketika
membaca Kitab Suci, orang perlu menyadari hal ini dan berusaha
memahaminya dengan memperhatikan pengaruh dari kedua aspek tersebut.
Tempat. Tempat menentukan segala aspek kehidupan manusia yang tinggal di
dalamnya, baik cara hidup, cara berinteraksi satu dengan yang lain,
bahkan kehidupan religius mereka. Menusia yang hidup di pantai memiliki
cara hidup yang berbeda dari cara hidup orang yang tinggal di padang
gurun, dataran rendah, pegunungan, atau hutan. Seorang yang hidup di
pantai mencari penghidupannya dengan mencari ikan di laut. Pengalamannya
dengan laut terungkap dalam kosakata yang mereka gunakan, dalam cerita
yang mereka sampaikan, dalam lagu yang mereka nyanyikan, dan tarian yang
mereka miliki. Hal yang sama terjadi dalam masyarakat petani yang
tinggal di dataran rendah, dalam masyarakat yang tinggal di hutan atau
padang gurun. Kitab Suci lahir dari masyarakat Yahudi yang tinggal di Timur Tengah. Mereka pernah menjadi bangsa pengembara yang tinggal di
padang gurun sebelum tinggal sebagai petani di Tanah Kanaan. Mereka pun
pernah tinggal di tanah pembuangan Babilonia. Pengaruh tempat hidup
Bangsa Israel ini sangat terasa kalau orang membaca Perjanjian Lama.
Banyak kata, istilah, ungkapan, dan kebiasaan yang menunjukkan bahwa
semua itu berasal dari masyarakat gembala dan petani. Banyak lagu
kiasan, gambaran, dan lambang yang diambil dari hidup kegembalaan dan
pertanian. Sistem penggembalaan dan pertanian yang mereka lakukan
berbeda dari yang dilakukan di tempat lain. Mereka menanam jelai dan
gandum, bukan padi. Mereka menanam anggur dan ara, bukan pepaya atau
rambutan. Mereka memelihara ternak dalam jumlah besar sehingga
binatang-binatang itu dijaga dan digembalakan di padang. Waktu. Waktu
juga mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam perjalanan waktu teknologi
kehidupan dan kebudayaan manusia berkembang. Cara berpikir dan berbicara
pun berubah. Misalnya, di zaman modern ilmu pengetahuan berkembang
pesat. Banyak hal yang ada dalam dunia ini dipelajari dan dijelaskan
secara ilmiah.
Di masa lampau penjelasan ilmiah belum ada dan
pengetahuan manusia sangat terbatas karena semata-mata bergantung pada
indera. Banyak hal yang mereka persoalkan dijawab dengan mempergunakan
mitologi atau legenda. Masyarakat Sunda kuno menjelaskan mengapa ada
gunung yang berbentuk seperti perahu terbalik dengan cerita rakyat,
sedangkan para ahli modern menjelaskannya dengan sejarah aktivitas vulkanik gunung itu. Ini terjadi karena masyarakat kuno belum mengenal
vulkanologi atau geologi. Kitab suci mulai ditulis sekita tahun 1000
Sebelum Masehi dan bagian-bagian tertentu Perjanjian Baru ditulis
menjelang tahun 100 Masehi. Bahan-bahan yang tertulis dalamnya
menyangkut juga zaman yang jauh lebih kuno. Cara berpikir dan cara
berbicara masyarakat kuno pun banyak terungkap dalam Kitab Suci. Banyak
kosakata yang tidak lagi dipergunakan karena pengalaman hidup mereka
juga berkembang. Bahkan pemahaman mereka tentang kehidupan masyarakat
manusia dan tentang Allah pun banyak mengalami perubahan. Contoh: 1.
Cara mendidik anak. Dahulu dipergunakan cara keras untuk membuat anak
disiplin (Ams. 23:13-14;13:24;20:30). Cara itu tidak dapat dipergunakan
untuk mendidik anak zaman sekarang. 2. Pemahaman tentang keadilan Allah. Dahulu manusia belum sampai pada keyakinan akan kebangkitan badan
dan kehidupan kekal. Allah memberi ganjaran dan hukuman kepada manusia
di dunia ini. Menjelang akhir masa Perjanjian Lama pandangan tentang hal
ini telah mengalami perubahan. Manusia sudah yakin akan kebangkitan
badan dan kehidupan kekal.
Penulis telah menyelesaikan Strata I di Universitas Atma Jaya-Jakarta, pada Program Ilmu Pendidikan Teologi (sekarang Pendidikan Keagamaan Katolik). Penulis pernah memosting tulisan yang sama di website: https://mengenalimankatolik.wordpress.com/2014/07/27/kebenaran-iman-vs-ilmiah/
EmoticonEmoticon