Sekilas Sejarah HUT TNI


Sekilas Sejarah HUT TNI (Foto/ Istimewa)

Cahayakristus7.blogspot.com- Jakarta - Pada hari ini Tentara Nasional Indonesia merayakan hari ulang tahun. Tentu sejarah HUT TNI mempunyai sejarah panjang yang tak sedikit orang tidak tahu. Sebelum kemerdekaan banyak komponen termasuk dari satuan militer, yang ikut berjuang untuk melawan penjajah. Pada masa itu ada Koninklijke Nederlands (ch)-Indische Leger (KNIL) dan Pembela Tanah Air (PETA). Kedua satuan ini didirikan pada waktu yang berbeda dan dengan visi misi yang berbeda pula. KNIL adalah tentara kerajaan Hindia Belanda yang dibentuk pada masa perang Diponegoro. Sementara itu, PETA dibentuk pada masa pemerintahan Jepang pada tahun 1943, untuk melawan tentara sekutu. Tentara Peta yang cukup terkenal adalah Fransiskus Xaverius Soeprijadi atau dikenal dengan Soeprijadi (EYD: Supriyadi).[1] Pada 14 Februari 1945, Shodanco Supriyadi memimpin pemberontakan terhadap tentara Jepang di Blitar.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka Pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945. Secara bertahap dibentuk BKR Laut, Udara, dan Darat. Pada waktu itu Jenderal Oerip Soemohardjo menjadi pemimpin komandan militer. Kala itu BKR memiliki kepengurusan di pusat dan beberapa daerah. Akan tetapi sebagian daerah menolak pembentukan BKR dan memilih membentuk lembaga serupa, sehingga terkesan tidak ada persatuan. Maka pada 5 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat agar BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat yang di dalamnya termasuk mantan anggota PETA.
Pada 14 Oktober 1945 secara resmi, Oerip ditugaskan sebagai Kepala Staff dan Panglima sementara. Pada tanggal 20 Oktober 1945, sesuai dengan keputusan pemerintah, maka Oerip Soemohardjo menjadi bawahan dari Menteri Pertahanan, Soeljoadikoesoemo dan Panglima Angkatan Perang Fransiskus Xaverius Soeprijadi atau lebih dikenal dengan nama Shodancho Soeprijadi.[2] Pada tanggal 12 November 1945 diadakan pertemuan untuk memilih Divisi V Purwokerto. Jenderal Soedirman terpilih sebagai panglima angkatan Perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara.[3] Jenderal Soedirman mempunyai pengalaman dua tahun sebagai militer. Pada waktu pemungutan suara tahap ketiga, Oerip meraih 21 suara, sementara Soedirman lebih unggul dengan 22 suara. Komandan divisi Sumatera sepakat untuk memilih Soedirman.[4] Menurut Sadirman dalam bukunya yang berjudul Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, Oerip tidak terpilih karena ada beberapa komandan divisi mencurigai riwayat hidup dan sumpah yang pernah diucapkan ketika ia lulus dari KNIL.[5].
 Soedirman terkejut mendengar bahwa ia terpilih, sehingga ia berniat mengundurkan diri. Ia merasa tidak pantas mengemban tugas tersebut, dan lebih setuju jika Oerip yang mengemban jabatan sebagai panglima angkatan perang. Namun peserta pertemuan tidak setuju jika Soedirman mengundurkan diri. Oerip menerima keputusan yang telah diputuskan dan merasa senang atas terpilihnya Soedirman. Meskipun demikian Soedirman tetap mempertahankan Oerip, dan mengangkatnya sebagai kepala staff dengan pangkat Letnan Jenderal.[6] Namun Oerip secara de jure tetap menjadi pemimpin, sebelum pemerintah melantik Soedirman sebagai pangliman besar. Salim Said dalam bukunya yang berjudul Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics mengatakan bahwa perintah Oerip sulit dipahami karena kemampuannya berbahasa Indonesia cukup buruk, sehingga perintahnya sering ditolak kecuali melalui persetujuan Soedirman.[7]
Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember. Pada awal kepemimpinannya, ia berupaya mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang. Oerip diberikan tugas menangani masalah-masalah teknis dan organisasi.[8] Oerip memberlakukan pemakaian saragam tentara, yang dilimpahkan penanganannya kepada komandan daerah. Ia mengeluarkan perintah yang berlaku secara nasional bagi masalah-masalah penting. Salah satunya, adalah perintah agar membentuk politis militer dan mencegah pasukan penerjun payung musuh mendarat.[9] Soedirman dan Oerip berhasil mengatasi kesalahpahaman antara mantan tentara PETA dan KNIL. Kemudian pada tahun 1946 pemerintah menggganti nama angkatan perang, dari Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) hingga Tentara Republik Indonesia (TRI).

Kemudian Presiden Sukarno mengubah TRI menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947. Meskipun nama TNI baru diberikan pada 3 Juni 1947, namun HUT selalu diperingati pada 5 Oktober sesuai dengan tanggal dikeluarkannya Maklumat.



Sumber:
  • Baskara T. Wardaya, SJ. Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno. 2008. Yogyakarta: Galang Press.
  • Bernadus Barat Daya dan Silvester Detianus Gea. 2017. Mengenal Tokoh Katolik Indonesia: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara. Labuan Bajo: Yayasan Komodo Indonesia. hlm. 142. ISBN 978-602-60620-1-7
  • Sardiman, Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman. (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 132.Salim Said, Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991), hlm. 31.
  • A. H. Nasution, Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar, ed. Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Revised ed.) (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 196.
  • Amrin Imran, Urip Sumohardjo (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983), hlm. 74–79.
  • Salim Said, Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991), hlm. 50.

[2] Ibid, hlm. 142.
[3] Salim Said, Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991), hlm. 31.
[4] A. H. Nasution, Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar, ed. Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Revised ed.) (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 196.
[5] Sardiman, Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman. (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 132.
[6] Ibid, hlm. 133.
[8] Salim Said, Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991), hlm. 50.
[9] Sardiman, Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman. (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 133


EmoticonEmoticon