Jendral Oerip Soemohardjo, Tokoh Katolik

Jendral Oerip Soemohardjo
Jenderal TNI (Anumerta) Oerip Soemohardjo lahir dengan nama Muhammad Sidik (“Muhammad Kecil”) [1] pada tanggal 22 Februari 1893. Ia adalah seorang mantan Tentara KNIL yang beragama Kristen Katolik.[2] Ia anak pertama pasangan Soemohardjo dan seorang perempuan dari Putri Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, bupati Trenggalek.[3] Sidik memiliki dua orang adik lima orang. Adik laki-lakinya bernama Iskandar dan Soekirno.[4] Sidik termasuk anak yang nakal, namun kenakalan itu ditunjukkan melalui kemampuannya memimpin sejak kecil. Sidik sering memimpin kelompok anak-anak dikampungnya ketika pergi memancing dan bermain sepak bola. Sidik sekolah di sekolah khusus untuk orang jawa yang dikepalai oleh Ayahnya sendiri. Pada tahun kedua Sidik masuk sekolah, ia terjatuh dari pohon sehingga kehilangan kesadaran.[5] Setelah kejadian itu ibunya mengirim surat kepada Widjojokoesoemo yang menjelaskan bahwa nama Sidik sebagai penyebab perilaku buruknya.[6] Widjojokoesoemo pun membalas dengan memberikan saran agar nama Sidik diganti dengan Oerip. Oerip dalam bahasa Jawa berarti Selamat.[7]

Orangtua Oerip menginginkan agar dia mengikuti jejak kakeknya menjadi seorang bupati. Oerip kemudian dimasukkan ke Sekolah Putri Belanda (ELM=Europese Lagere Meisjesschool), ia dikirim ke sekolah tersebut karena sekolah untuk putra telah penuh. Orangtua Oerip berharap agar ia mampu meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Belanda. Setelah melewati satu tahun disekolah ELM, ia pindah ke sekolah Belanda untuk putra.[8] Pada waktu itu nilai-nilai Oerip agak kurang bagus.[9] Oerip sering mengunjungi teman ayahnya seorang mantan tentara yang ada di Aceh. Tujuan Oerip mengunjungi teman ayahnya adalah untuk mendengarkan cerita-cerita. Ia mendapatkan inspirasi dari cerita-cerita teman ayahnya sehingga Oerip memutuskan untuk bergabung dengan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[10]

Pada tahun 1908 Oerip pindah ke Magelang setelah lulus ujian calon pegawai negeri dan hendak melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (Opleidingsschool Voor Inlandse Ambtenaren/OSVIA).[11] Pada tahun 1909 adik-adik Oerip menyusul untuk sekolah di OSVIA. Pada tahun yang sama ibunya meninggal dunia dan membuat dia depresi. Setelah lulus dari OSVIA, Oerip mendaftarkan diri ke Akademi Militer di Meester Cornelis, Batavia (Jatinegara-Jakarta). Oerip berangkat dari Magelang dengan pamit kepada adik-adiknya.[12] Sebenarnya ayahnya tidak menginginkan dia untuk masuk ke dalam dunia kemiliteran. Orangtua Oerip menginginkan agar dia mengikuti jejak kakeknya menjadi seorang bupati.[13] Soemohardjo berusaha membujuk agar Oerip kembali ke OSVIA dengan memberikan uang 1.000 gulden. Oerip tetap pada pilihannya, sehingga Ayahnya terpaksa menyetujui pilihannya.[14] Pada tahun 1914 Oerip lulus dengan pangkat Letnan KNIL.[15]

Setelah lulus dari KNIL Oerip mengunjungi ayahnya yang ada di Purworejo, kemudian kembali lagi ke Meester Cornelis (Jatinegara). Oerip menjabat Batalion XII di Meester Cornelis, walaupun ia satu-satunya pribumi.[16] Setelah satu setengah tahun menjadi Batalion XII di Meester Cornelis, Oerip ditugaskan ke Banjarmasin. Oerip melewati masa-masa patrol di hutan belantara Puruk Cahu dan Muara Tewe. Setelah itu Oerip di tugaskan di Tanah Grogot dan selanjutnya ke Balikpapan. Ketika ditempatkan di Balikpapan, Oerip dipromosikan menjadi Letnan satu, tetapi ia menghadapi diskriminasi dari tentara Belanda karena ia berasal dari kalangan pribumi. Ketika Oerip di Banjarmasih, ia meyakinkan komandannya agar mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan perwira pribumi bergabung dengan tim sepak bola. Pada tahun 1917 Oerip menerima status hukum yang sama dengan tentara Belanda. Setelah selesai bertugas di Balikpapan, ia ditugaskan di Samarinda, Tarakan dan Malinau.[17] Ketika di Malinau, Oerip melakukan patrol di perbatasan Kerajaan Sarawak yang dikuasai oleh Hindia Belanda dan Inggris. Oerip bertugas untuk mencegah konflik dan pengayauan antara Suku Dayak. Oerip mengalami pengalaman yang kurang baik setelah tujuh tahun bertugas di Borneo. Pada suatu hari setelah selesai patrol, Oerip menemukan rumahnya di bakar. Berdasarkan rekomendasi seorang dokter, Oerip kembali ke Jawa. Oerip akhirnya mengistirahatkan diri selama beberapa bulan di Cimahi. Pada tahun 1923 Oerip dapat pulih total dan ditempatkan di Purworejo. Pada bulan September 1925 Oerip ditugaskan di Marechaussee te Voet, sebuah unit militer bentukan KNIL yang ada di Semarang. Di sinilah Oerip berkenal dengan Rohmah Soebroto, putri dari Soebroto seorang guru bahasa Jawa dan Melayu yang merupakan kerabat jauh R. A. Kartini.

Pada tanggal 7 Mei 1926 mereka melangsungkan pertunangan. Mereka kemudian melangsungkan pernikahan pada tanggal 30 Juni 1926 di Magelang.[18] Latar belakang penggunaan nama Soemohardjo adalah syarat dari pihak belanda, jika Oerip mengurus sesuatu yang berkaitan dengan Belanda. Maka pada akhirnya Oerip menyebut nama lengkapnya sebagai Oerip Soemohardjo.[19] Pada tahun pertama pernikahannya, Oerip menetap di Ambarawa bersama dengan isterinya. Oerip menjalankan tugas untuk membangun kembali Unit KNIL yang telah dibubarkan.[20] Oerip juga menjadi pelatih Prajurit Lokal mengambil alih tugas komandan Belanda yang masih belum tiba. Berkat segala aktivitas yang dilakukan oleh Oerip, ia pun dipromosikan menjadi Kapten.[21] Pada tahun 1928 Komanda Belanda tiba di Ambarawa dan Oerip mendapatkan cuti selama satu tahun untuk jalan-jalan ke Eropa bersama dengan isterinya. Ketika kembali dari jalan-jalan bersama isterinya, Oerip ditempatkan di Meester Cornelis (Jatinegara-Jakarta). Ketika berada di Meester Cornelis, Oerip mulai mengikuti latihan Militer. Ketika sedang sedang mengikuti pelatihan di Meester Cornelis, Ayahnya meninggal dunia. [22] Pada tahun 1933 Oerip ditugaskan di Padang Panjang untuk menangani kerusuhan yang menewaskan beberapa perwira Belanda. Ketika berada di Padang Panjang, Oerip menjalani tugasnya dengan penuh ketenangan. Pada bulan Juli tahun 1935 Oerip sekali lagi diberikan cuti untuk jalan-jalan ke Eropa.[23] Berkat semua keuletan Oerip, ia pun dipromosikan menjadi Mayor. Oerip menjadi perwira pribumi dengan pangkat yang tertinggi di KNIL.[24] Pada tahun 1936 Oerip ditugaskan di Purworejo.[25] Pada pertengahan tahun 1938, Oerip dipindahkan ke Gombong. Oerip menolak dan kemudian keluar dari KNIL dan pindah ke rumah mertuanya di Yogyakarta.[26]

Ketika berada di rumah mertunya, Oerip menghabiskan waktu dengan berkebun Anggrek. Isterinya juga membeli sebuah Vila di Gentan yang terletak di sebelah utara kota. Di Vila itulah pasangan tersebut memanfaatkan lahan seluas 2 hektar/Hectare untuk berkebun Anggrek. Biaya hidup mereka diperoleh dari hasil pensiun Oerip di KNIL.[27] Vila Oerip diberi nama KEM (Klaarheid en Moed, yang artinya Kemurnian dan Keberanian). Oerip seringkali menerima tamu di vilanya mulai dari kalangan Militer hingga warga Sipil. Melalui tamu-tamu yang datang ke vilanya, ia mengetahui situasi yang terjadi dan memberikan saran mengenai masalah-masalah militer dan politik.[28] Pada tahun 1940, mereka mengadopsi seorang gadis Belanda berusia empat tahun bernama Abby dari sebuah panti asuhan yang ada di Semarang.[29] Pada tanggal 10 Mei 1940 ketika Jerman Nazi menginvasi Belanda, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Tiga hari setelah melapor kepada Kolonel Pik di Magelang, ia berangkat ke markas KNIL di Bandung. Oerip menjadi perwira pensiunan pertama yang melapor. Keluarga Oerip akhirnya pindah ke Cimahi, ia diberikan tugas untuk membangun depo batalion baru. Pada tahun 1941 beberapa perwira pribumi ditempatkan di bagian utara Hindia untuk berjaga-jaga terhadap kekaisaran Jepang yang suatu saat bisa menyerang. Oerip tetap berada di Cimahi bersama keluarga.[30] Pada tahun 1942 Oerip ditangkap dan dijebloskan dalam Kamp penahanan tawanan perang di Cimahi. Oerip ditahan selama tiga setengah bulan. Kemudian Oerip dianjurkan untuk membentuk pasukan kepolisian baru yang didukung oleh Jepang, namun Oerip menolak. Oerip kembali Ke KEM dan bersama isterinya menyewa sawah dan menggarapnya. Merka juga melanjutkan untuk berkebun.[31] Demi menjaga keamanan lahannya, ia membuat pagar bambu yang tinggi di sekeliling rumahnya.[32] Oerip tetap menerima tamu dari mantan anggota KNIL di vilanya termasuk Abdul Haris Nasution dan Sunarmo, yang membawa kabar-kabar mengenai situasi di luar desa. Oerip dan isteri terus melanjutkan aktivitas sebagai warga sipil, yang sering diawasi oleh orang Jepang dan orang Indonesia yang pro-Jepang, sampai terjadinya peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Oerip dan keluarga meninggalkan KEM menuju rumah orangtua Rohmah di Yogyakarta.[33] Pada tanggal 23 Agustus Badan Keamanan Rakyat (BKR) didirikan, Oerip kembali memimpin kelompok komandan militer untuk mengajukan petisi pembentukan formasi militer Nasional. Oto Iskandar Dinata memimpin kelompok terpisah dan menginginkan agar BKR menjadi organisasi kepolisian. Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta melakukan rapat dengan BKR yang hasilnya menetapkan BKR sebagai organisasi kepolisian, meskipun sebagian besar anggotanya pernah bertugas di militer, baik PETA (Pembela Tanah Air) maupun Heihō.[34]

Sembilan hari setelah Tentara Keamanan Rakyat didirikan (pada tanggal 14 Oktober 1945) secara resmi, Oerip ditugaskan sebagai Kepala Staff dan Panglima sementara, kemudian ia berangkat ke Jakarta. Dalam sebuah rapat kabinet yang dilakukan pada keesokan harinya, Oerip diperintahkan untuk membentuk angkatan perang nasional yang bermarkas di Yogyakarta.[35] Angkatan Perang Nasional ini didirikan untuk mengantisipasi serangan yang bisa saja dilancarkan oleh pasukan Belanda yang kembali merebut Hindia (Indonesia).[36] Pada tanggal 16 Oktober Oerip berangkat ke Yogyakarta dan tiba pada tanggal 17 Oktober. Oerip untuk pertama kalinya mendirikan markas di sebuah kamar di Hotel Merdeka yang digunakannya, sehingga Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono IX menyumbangkan sebidang tanah dan bangunan untuk digunakan oleh para tentara.[37] Ketika BKR tersebar di bawah pimpinan para komandan independen di seluruh negeri, maka angkatan perang yang baru dibentuk (TKR-Tentara Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi TNI) berusaha untuk merangkul perwira pribumi yang berasal dari mantan anggotan KNIL Tetapi perwira yang bergabung di TKRI dicurigai karena mereka bertugas diangkatan Perang Belanda. Banyak anggota TKR yang berasal dari mantan tentara PETA, Para Pemuda, dan BKR.[38] Oerip berhasil memusatkan komando, namun pada kenyataannya angkatan perang sangat bergantung pada kekuatan unit daerah.[39] Pada tanggal 20 Oktober sesuai dengan keputusan pemerintah, Oerip menjadi bawahan dari Menteri Pertahanan Soeljoadikoesoemo dan Panglima Angkatan Perang Fransiskus Xaverius Soeprijadi atau lebih dikenal dengan nama Soeprijadi. Ketika itu Soeprijadi tidak muncul untuk mengemban dan menjalankan tugas-tugasnya sebagai Menteri Pertahanan. FX. Soeprijadi diyakini telah tewas dalam pemberontakan yang dilakukannya di Blitar. Dia adalah seorang tentara PETA yang memimpin pemberontakan terhadap pasukan Jepang pada bulan Februari 1945. Posisi Soeljohadikoesoemo juga tidak tidak terisi, sehingga pemimpin gerilya Moestopo menyatakan diri sebagai Menteri Pertahanan.

Ketika Moestopo menjadi Menteri Pertahanan, Oerip merasa cukup diawasi dan ditekan agar segera membentuk struktur militer yang stabil.[40] Pada tanggal 2 Oktober 1945 Oerip menunjuk komandan untuk menangani operasi militer di berbagai daerah di Indonesia. Oerip menempatkan Didi Kartasasmita di Jawab Barat, Soeratman di Jawa Tengah, Muhammad di Jawa Timur, dan Soehardjo Hardjowardojo di Sumatera, mereka semua memiliki pangkat Mayor Jenderal.[41] Oerip mulai menyalurkan senjata ke berbagai unit TKR. Ia mengambil alih senjata yang pernah disita oleh Jepang dan mendistribusikannya sesuai dengan kebutuhan.[42] Tetapi yang terjadi sebaliknya justeru tidak sesuai yang diharapkan. PETA telah berpusat kepada kedaerahan sejak jaman Jepang, sehingga anggotanya tidak mau menerima kepemimpinan pusat.[43] Pada tanggal 12 November 1945 Jenderal Soedirman terpilih sebagai pimpinan TKR, sehngga ia menjadikan Oerip sebagai kepala staff. Pada tanggal 12 November 1945 diadakan pertemuan untuk memilih Divisi V Purwokerto. Jenderal Soedirman terpilih sebagai panglima angkatan Perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu.[44] Jenderal Soedirman hanya memiliki pengalaman dua tahanu sebagai militer, ia 23 tahun lebih muda dari Oerip. Ketika tahap ketiga, Oerip meraih 21 suara, sementara Soedirman lebih unggul dengan 22 suara. Komanda divisi Sumatera sepakat untuk memilih Soedirman.[45] Oerip tidak terpilih karena ada beberapa komanda divisi mencurigai riwayat hidup dan sumpah yang ia ucapkan kepada Belanda ketika lulus dari KNIL.[46]

Soedirman sendiri terkejut mendengar hasil pemilihan, sehingga ia meminta untuk mengudurkan diri dari posisi tersebut. Soedirman lebih memilih Oerip untuk menduduki jabatan tersebut, tetapi para peserta pertemuan tidak mengizinkan. Oerip sendiri merasa lega dan senang karena tidak memiliki tanggung jawab atas angkatan perang. Soedirman tetap mempertahankan Oerip dan mengangkatnya sebagai kepala staff dengan pangkat Letnan Jendral.[47] Oerip secara de jure tetap menjadi pemimpin, sebelum pemerintah melantik Soedirman sebagai pangliman besar. Salim Said menulis bahwa perintah Oerip sulit dipahami karena kemampuannya berbahasa Indonesia cukup buruk, sehingga perintahnya sering ditolak kecuali melalui persetujuan Soedirman.[48] Pada tanggal 18 Desember setelah Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR, ia mulai berupaya mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang. Oerip ditugaskan untuk menangani masalah-masalah teknis dan organisasi.[49] Banyak hal yang dibuat oleh Oerip antara lain memberlakukan pemakaian saragam tentara yang dilimpahkan penanganannya kepada komandan daerah. Bagi masalah-masalah penting, Oerip mengeluarkan perintah yang berlaku secara nasional, misalnya perintah agar membentuk politis militer dan mencegah pasukan penerjun payung musuh mendarat.[50]

Soedirman dan Oerip secara bersama-sama berhasil mengatasi kesalahpahaman antara mantan tentara PETA dan KNIL. Pada tahun 1946 pemerintah mengganti nama angkatan perang sebanyak dua kali yakni Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) dan Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada tanggal 23 Februari, Oerip ditunjuk untuk mengepalai Panitia Besar Reorganisasi Tentara, yang dibentuk melalui keputusan Presiden. Setelah berunding selama empat bulan, pada 17 Mei panitia menyerahkan rekomendasi kepada Presiden Soekarno. Oerip diberikan tugas untuk menangani proses perampingan angkatan perang, sementara Menteri Pertahanan diberikan kekuasaan birokrasi yang lebih besar. Soedirman tetap dipertahankan sebagai panglima angkatan perang.[51] Setelah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin mulai membentuk kelompok-kelompok pro-kiri dalam tubuh militer, Oerip mulai curiga. Oerip mengecam upaya pemerintah yang memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Oerip dan Soedirman terus berupaya memastikan bahwa pasukan paramiliter (lascar), yang muncul di tengah masyarakat adalah bagian dari militer. Pada tanggal 3 Juni 1947 upaya Oerip dan Soedirman membuahkan hasil, ketika pemerintah mengumumkan untuk mempersatukan lascar dan TRI menjadi organisasi militer baru bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tahun yang sama, Oerip mendirikan sebuah Akademi Militer di Yogyakarta.[52] Oerip menjawab ancaman Belanda dengan menyusun kekuatan, namun rencananya gagal oleh upaya pemerintah dalam diplomasi. Oerip sangat menyukai taktik gerilya ketimbang konflik militer resmi. Oerip pernah bercerita kepada bawahannya bahwa serangan terbaik bisa dilakukan dengan seratus penembak jitu yang bersembunyi di belakang garis musuh.[53] Oerip dengan lantang menentang hasil Perjanjian Renville, menurutnya perjanjian yang disahkan pada 17 Januari 1948 sebagai taktik mengulur-ulur waktu yang memberi kesempatan kepada Belanda untuk memperkuat pasukannya.[54] Perjanjian Renvville mengebabkan ditariknya 35. 000 Tentara Indonesia dari Jawa Barat dan diresmikannya Garis Van Mook, yang memisahkan wilayah kekuasaan Belanda dan Indonesia.[55] Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri-mulai merekrut tentara yang berhaluan kiri.[56] Oerip akhirnya mengajukan pengunduran dirinya, karena muak dengan sikap pemerintah yang kurang percaya pada militer. Meskipun demikian, Oerip tetap bertugas sebagai penasehat Menteri Pertahanan sekaligus Wakil Presiden, Muhammad Hatta.[57]

Pada tanggal 17 November 1948, Oerip wafat di Yogyakarta akibat serangan Jantung, setelah beberapa bulan berada dalam kondisi lemah dan menjalani perawatan dari Dr. Sim Ki Ay.[58] Setelah disemayamkan selama semalam, ia dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Semaki dan secara anumerta dipromosikan sebagai Jenderal. Pada tahun 1949 Soedirman mengancam akan mengundurkan diri karena pemerintah tidak konsisten selama masa revolusi sehingga mengakibatkan Oerip wafat dan juga akibat dari TBC yang diidapnya.[59] Oerip meninggalkan seorang Isteri dan puteri angkatnya bernama Abby. Abby puteri angkat mereka meninggal pada bulan Januari 1951[60] dan Rohmah isteri Oerip meninggal pada tanggal 29 Oktober di Semarang dan dimakamkan di Ungaran.[61]

Atas jasanya, Oerip menerima sejumlah penghargaan dan tanda kehormatan dari pemerintah secara anumerta, termasuk Bintang Sakti (1959),[62] Bintang Mahaputra (1960),[63] Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967),[64] dan Bintang Kartika Eka Pakci Utama (1968).[65] Pada tanggal 10 Desember 1964, Oerip ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 tahun 1964. Soedirman juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama. Pada tanggal 22 Februari 1964, Akademi Militer Indonesia di Magelang mendedikasikan sebuah tugu untuk Oerip yang menggambarkan dirinya sebagai “seorang Putera Indonesia yang mengagungkan karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta.” Gereja Katolik di Akademi yang sama juga mempersembahkan sebuah dedikasi untuk Oerip sejak tahun 1965, yang berawal dari perbincangan antara Rohmah dan teman Misionarisnya. Ada beberapa jalan juga dinamakan untuk menghormati Oerip, termasuk di kampung halamannya Purworejo, di Yogyakarta dan di ibu kota Jakarta.


DAFTAR PUSTAKA

· Adi, A. Kresna (2011). Soedirman: Bapak Tentara Indonesia. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo. ISBN 978-602-95337-1-2.
· Andayani, Ria (2006). Adaptasi Budaya Masyarakat Lampung. Bandung: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. ISBN 978-979-1142-03-8.
· Anderson, Benedict Richard O'Gorman (2005). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Jakarta: Equinox. ISBN 978-979-3780-14-6.
· "Bintang Republik Indonesia Adipurna". Penghargaan di Republik Indonesia. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Diakses tanggal 9 Mei 2012.
· Imran, Amrin (1980). Panglima Besar Jenderal Soedirman. Jakarta: Mutiara. OCLC 220643587.
· Imran, Amrin (1983). Urip Sumohardjo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 10945069.
· "Let. Djen. Urip Meninggal". Kedaulatan Rakjat. 18 November 1948.
· McGregor, Katharine E (2007). History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past. Honolulu: University of Honolulu Press. ISBN 978-9971-69-360-2.
· "Meninggal Dunia". Tempo. 12 November 1977. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Mei 2012. Diakses tanggal 10 Mei 2012.
· Nasution, A. H. (2011) [1982]. Roem, Mohamad; Lubis, Mochtar; Mochtar, Kustiniyati et al., ed. Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Revised ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-6767-9.
· "Oerip Soemohardjo". Encyclopedia of Jakarta. Pemerintah Kota Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2012. Diakses tanggal 9 Mei 2012.
· Pour, Julius (2008). Ign. Slamet Rijadi. Jakarta: Gramedia. ISBN 978-979-22-3850-1.
· Said, Salim (1991). Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-3035-90-4.
· Saragih, Bagus BT (13 Agustus 2012). "SBY bestows honors to late Cabinet members". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Agustus 2012. Diakses tanggal 26 Agustus 2012.
· Sardiman (2008). Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman. Yogyakarta: Ombak. ISBN 978-979-3472-92-8.
· Soemohardjo-Soebroto, Rohmah (1973). Oerip Soemohardjo : Letnen Jenderal TNI (22 Februari 1893 – 17 November 1948). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 13266021.
· Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Jakarta: Government of Indonesia. 18 Juni 2009.
· Zoetmulder, P. J.; Robson, S. O.; Darusupapta; Supriyitna, Sumarti (2006). Kamus Jawa Kuno Indonesia. Jakarta: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies working with Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-605-347-6.

SUMBER DARI WEBSITE:
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Oerip_Soemohardjo
2. http://wartakota.tribunnews.com/2012/11/13/jenderal-urip-sumoharjo-kreator-angkatan-bersenjata-ri
3. http://muhishaqramli.blogspot.co.id/2016/01/jendral-urip-sumoharjo.html
4. https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/01/biografi-oerip-soemohardjo.html
5.https://www.merdeka.com/peristiwa/mengenal-jenderal-oerip-soemohardjo-pendiri-akmil-di-yogyakarta.html
6. http://www.biografiku.com/2015/12/biografi-urip-sumoharjo-pahlawan-indonesia.html
7. http://rubrikkristen.com/20-pahlawan-indonesia-beragama-kristen-terpopuler/==MENGATAKAN
8.http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2014/01/05/28486/rehabilitasi-kartosuwiryo-kahar-muzakar-para-pejuang-islam/

CATATAN KAKI
[1] Zoetmulder et al. 2006, hlm. 1085.
[2] http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2014/01/05/28486/rehabilitasi-kartosuwiryo-kahar-muzakar-para-pejuang-islam/
[3] Imran 1983, hlm. 2
[4] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 13–15
[5] Ibid, hlmn. 7
[6] Masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa sebuah nama jika menunjukkan harapan yang terlalu tinggi bisa menimbulkan dampak negatif pada anak, secara umum dipercayai akan membuat anak sakit-sakitan, Lihat Andayani 2006, hlm. 169.
[7] Pour 2008, hlmn. 15–16.
[8] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 20.
[9] Imran 1983, hlm. 16.
[10] Ibid, hlmn. 23–25.
[11] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 23–26.
[12] Ibid, hlm. 27.
[13] Imran 1983, hlm. 14.
[14] Ibid, hlm. 21.
[15] Ibid, hlm. 26
[16] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 39–43
[17] Ibid, hlm. 44–47.
[18] Ibid, hlmn. 47-58.
[19] Nama keluarga disyaratkan oleh Belanda untuk urusan-urusan seperti pembelian tanah.
[20] Imran 1983, hlm. 35.
[21] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 59.
[22] Imran 1983, hlm. 36.
[23] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 60–62.
[24] Ibid, hlm. 63–67.
[25] Anderson 2005, hlm. 233–234.
[26] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 69.
[27] Ibid, hlm. 72-75
[28] Imran 1983, hlm. 47.
[29] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 76–77.
[30] Ibid, hlm. 78-81
[31] Imran 1983, hlm. 53-55.
[32] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 84–87.
[33] Batavia berganti nama menjadi Jakarta setelah invasi Jepang.
[34] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 89.
[35] Imran 1983, hlm. 63.
[36] Said 1991, hlm. 28.
[37] Anderson 2005, hlmn. 232–234.
[38] Imran 1983, hlmn. 67–68.
[39] Anderson 2005, hlmn. 235–237.
[40] Anderson 2005, hlm. 240.
[41] Imran 1983, hlmn. 71–72.
[42] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 101.
[43] Sardiman 2008, hlm. 126.
[44] Said 1991, hlm. 31.
[45] Nasution 2011, hlm. 196.
[46] Sardiman 2008, hlm. 132.
[47] Ibid, hlm. 133.
[48] Imran 1983, hlmn. 74–79.
[49] Said 1991, hlm. 50.
[50] Sardiman 2008, hlm. 133
[51] Anderson 2005, hlm. 245-373.
[52] Imran 1983, hlm. 80-84.
[53] Said 1991, hlm. 46.
[54] Adi 2011, hlm. 79–80.
[55] Imran 1983, hlm. 85.
[56] Sjariffudin dipaksa mengundurkan diri karena ketidaksetujuan publik atas hasil Perjanjian Renville. Lih. Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 104.
[57] Imran 1980, hlmn. 42–45, 87.
[58] KR 1948, Let. Djen. Urip Meninggal.
[59] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 108–111.
[60] McGregor 2007, hlm. 129.
[61] Soemohardjo-Soebroto 1973, hlmn. 57–58.
[62] Bintang Sakti adalah tanda kehormatan militer tingkat tinggi bagi yang menunjukkan keberanian melampaui panggilan tugas
[63] Bintang Mahaputra adalah tanda kehormatan tingkat tinggi bagi orang-orang yang telah membantu pembangunan Indonesia, menjadi ahli dalam bidang tertentu, atau secara luas diakui atas pengorbanan mereka bagi negara
[64] Bintang Republik Indonesia adalah tanda kehormatan tertinggi yang diberikan bagi warga sipil; hanya delapan tokoh yang telah menerima kelas Adipurna
[65] Bintang Kartika Eka Pakçi Utama adalah tanda kehormatan militer tingkat rendah yang dianugerahkan kepada orang-orang yang telah membantu pembangunan tentara melampaui panggilan tugas. Utama adalah kelas tertinggi


EmoticonEmoticon