Merah Putih di Altar



Pada Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia, apakah pemasangan bendera Merah Putih di panti imam, tidak bertentangan dengan sifat Gereja yang universal? Bagaimana jika bendera Merah Putih dipajang di altar untuk seterusnya demi menekankan moto 100 persen Katolik 100 persen Indonesia? Bolehkah disertai dengan bendera Vatikan? Bagaimana jika bendera Vatikan (Kuning Putih) yang terus menerus dipajang di panti imam?

Stefanus Hari Widjaja, Malang.


Pertama, Gereja kita adalah Katolik, artinya bahwa Gereja tidak terikat pada satu budaya, tetapi bisa masuk dan diungkapkan dengan setiap budaya yang ada di seluruh dunia. Iman Kristiani bisa meresapi bukan hanya budaya, tetapi juga setiap negara. Karena itu, pada kesempatan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sungguh sangat cocok menempatkan bendera Merah Putih di panti imam sebagai ungkapan sifat universal dari Gereja. Jadi, hal ini justru harus dilihat sebagai ungkapan konkret yang sesuai, dan bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan sifat Universal (Katolik) Gereja..

Perlu diperhatikan, bahwa penempatan bendera Merah Putih itu hanya terjadi pada perayaan Kemerdekaan 17 Agustus dan bukan sepanjang tahun. Seandainya pada hari itu ada orang-orang asing (bukan WNI) yang ikut serta dalam perayaan Ekaristi itu, kiranya mereka akan bisa mengerti dan sama sekali tidak akan berkeberatan. Juga, tidak ada peraturan liturgis yang dilanggar oleh penempatan Bendera Merah Putih di panti imam, pada perayaan Kemerdekaan seperti itu.

Kedua, penempatan bendera Merah Putih pada perayaan Kemerdekaan, bisa dibandingkan dengan Misa inkulturasi dengan gaya budaya-budaya di Indonesia. Misalnya, Misa inkulturasi Jawa, Bali, Batak, Sunda, Madura, Tionghoa, dll. Demikian pula, pada perayaan Kemerdekaan itu, hiasan dan pakaian bisa menggunakan ungkapan kekayaan budaya Indonesia yang ada.

Ketiga, masalahnya menjadi berbeda jika bendera Merah Putih diletakkan di panti imam terus-menerus sepanjang tahun (permanen). Moto 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia harus diakui kebenarannya, tetapi hal ini tidak boleh melukai umat yang bukan WNI yang kebetulan mengikuti perayaan Ekaristi. Jadi, sifat particular (Indonesia) bisa dibenarkan tetapi sifat universal (Katolik) juga harus tetapi dijaga. Pada umumnya di seluruh Gereja Katolik di seluruh dunia, bendera negara tidak ditempatkan terus-menerus di panti imam, termasuk juga bendera Vatikan (Kuning Putih). Perayaan Ekaristi tidak mengenal atau terkait dengan negara tertentu dan tidak mengenal batas politis. Dari sudut ajarannya, perayaan Ekaristi tidak terkait dengan negara Vatikan. Maka, tidak perlu secara permanen memasang baik bendera Merah Putih maupun bendera Kuning Putih di panti imam pada perayaan Ekaristi.

Keempat, Penempatan bendera Merah Putih tidak perlu ditemani dengan bendera Vatikan, karena yang dirayakan ialah Kemerdekaan Republik Indonesia yang tidak terkait dengan negara Vatikan. Bapa Suci adalah kepala negara Vatikan. Memang dia juga adalah pemimpin iman kita. Tetapi kita bukanlah warga negara Vatikan. Menjadi Katolik tidak secara otomatis membuat kita menjadi warga negara Vatikan. Bagi negara Vatikan kita warga negara Indonesia adalah orang asing. Perlu paspor dan visa untuk masuk ke dalam Vatikan. Bendera Vatikan Kuning Putih bisa dipasang ketika kita menyambut kedatangan Bapa Suci sebagai tamu negara.

Kelima, Pedoman Umum Misa Romawi tidak memasukkan bendera atau simbol nasional lainnya sebagai barang yang harus dipasang di altar pada saat perayaan Ekaristi. Uskup setempat bisa memberikan tuntunan pastoral tentang kapan dan bagaimana simbol-simbol nasional boleh dipasang dalam perayaan Ekaristi, yang dibaktikan khusus untuk negara. Pemasangan secara permanen simbol nasional, regional atau budaya tentu dirasa tidak cocok.

Konsultasi Iman “Majalah Hidup-Mingguan Katolik, 35 tahun ke- 71, 27 Agustus 2017” hlm. 18, oleh Petrus Maria Handoko CM, Imam Kongregasi Misi, Doktor Teologi Dogmatik Universitas Gregoriana Roma.


EmoticonEmoticon